Published On:Rabu, 26 Januari 2011
Posted by Unknown
Pelaminan Minangkabau
Masyarakat minangkabau terkenal dengan adat yang kuat, serta aturan kehidupan sosial. Adat mengatur agar keadilan dan kemakmuran merata bagi seluruh warga. Hal ini berlangsung telah lama, sebelum islam masuk sekitar abad ke 8 dan 9, sampai kini setelah berbagai unsur mempengaruhi, tetapi adat masih tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Masyarakat minangkabau, seperti juga masyarakat lain memiliki cara untuk mengajarkan ajaran menurut adatnya, yakni melalui oral dan melalui visual. Penyampaian cara lisan atau oral adalah dengan tambo, sedangkan cara visual melalui ragam hias yang banyak terdapat di sekitar mereka. Begitu pula yang terdapat pada perangkat upacara pernikahan adat minangkabau, dengan kain warna-warni yang dengan sulaman ragam hias yang sarat pesan dan harapan baik bekal untuk mempelainya.Keterikatan terhadap adat ini tak luntur walaupun mereka berada jauh dari tanah kelahirannya.
Dalam masyarakat minangkabau, budaya merantau sangat akrab sehingga komunitas masyarakat minangkabau di luar daerah asli tampak cukup menonjol jumlahnya. Bagi mereka merantau adalah suatu cara untuk memperluas wawasan, mencari penghidupan dan pendidikan, agar kelak dapat mengembangkan daerah sendiri. Pekerjaan di perantauan bermacam-macam, mulai dari kaum intelektual, pedagang, sampai dengan pengangguran asal minangkabau dapat dijumpai di luar pulau sumatera bahkan d luar negeri. Walaupun berada relatif jauh dari kampung halaman, tetapi mereka tetap menjunjung tinggi adat minangkabau dengan caranya masing-masing. Kekerabatan umumnya masih cukup kuat dan aturan adat juga tidak ditinggalkan. Kelompok sosial, budaya maupun ekonomi masyarakat minangkabau perantauan terasa kuat. Kekuatan ikatan ini memang selalu terjadi bila seseorang berada jauh dari tempat asalnya, kenangan dan kerinduan membuat jadi lebih dekat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan asalnya. Kebanggan dilahirkan sebagai orang minangkabau sangat besar atau mungkin kesadaran terhadap kebaikan nilai yang terkandung di dalamnya yang menyebabkan mereka selalu memegang teguh adat.
Kehidupan perantauan tentu tidak sama dengan kampung halaman, karena situasi pun berlainan. Tempat tinggal juga memiliki adat istiadatnya sehingga para perantau ini perlu menyesuaikan diri. Hal yang sangat dijunjung oleh falsafah mereka "dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjung”. Untuk menghargai adat istiadat setempat sebagai ungkapan keinginan membaur. Beberapa tatacara adat yang tetap dijalankan tidak selengkap di tempat asalnya, karena kendala situasional. Sebagian dari hal yang sangat prinsip, tentu tetap dipertahankan, tetapi tak sedikit yang dibuat lebih sederhana atau dipermudah. Hal ini selain ditunjang oleh situasi di perantauan, juga karena gaya hidup dan nilai lokal yang berlaku.
(contoh pelaminan rumahan)
Perkawinan sebagai contoh salah satu bagian dari tatacara adat yang mengalami penyesuain dengan nilai baru yang berlaku. Di daerah minangkabau, saat perkawinan dilangsungkan, seluruh anggota keluarga dan kerabat berkumpul dan saling membantu. Acara perkawinan awalnya dilakukan di rumah keluarga mempelai wanita (rumah gadang), sebagai pihak yang berpesta. Perkembangan ukuran rumah tinggal menjadi lebih kecil dan terdapat kecendrungan hubungan kekelurgaan yang tidak terlalu erat lagi di jaman sekarang. Sedangkan hubungan sosial yang meluas sampai ke relasi kerja menyebabkan jumlah tamu undangan bertambah. Kecendrungan ini terutama terjadi di kota besar, sehingga kemudian muncul gagasan untuk melaksanakan pesta perkawinan di gedung pertemuan. Gagasan ini cepat sekali berkembang sebab cara ini menjadikan banyak urusan lebih sederhana (praktis) dan dapat memenuhi banyak keinginan dan kebutuhan. Bagi keluarga yang mampu secara ekonomi, hal ini sangat cocok, sebab mereka tidak ingin terlampau repot dalam mengurus keperluan ini tetapi ingin tetap melaksanakan sesuai adat istiadatnya. Acara bisa dilakukan di gedung pertemuan atau hotel maupun rumah makan yang menyediakan sarana ini. Tentu sarana juga berkembang sejalan dengan kebutuhan dan jaman, sehingga lahir penawaran untuk memenuhi keinginan pemakai, sesuai dengan kemampuan masing-masing
(contoh pelaminan rumahan)
Pernikahan secara adat masih dilakukan dan oleh masyarakat minangkabau yang merantau ke kota besar. Adat bagi orang minangkabau adalah mirip dengan adab, dan menjalankan adat akan menunjukkan bahwa ia orang beradab. Kebanggaan terhadap asal daerah dan adat diungkapkan dengan keinginan memperlihatkan identitasnya. Tatacara adat yang dilakukannnya memperlihatkan statusnya sebagai orang terhormat dan tahu adat. Kehidupan sosial yang berbeda membuka luas pergaulan di kota, sehingga memungkinkan para pemuda mendapatkan pasangan yang tidak sama suku bangsanya. Perkawinan antar suku bangsa sangat lumrah dan makin banyak terjadi. Pada umumnya kelurga yang akan menikah, memilih adat salah satu calon pengantin, dan seringkali menggunakan adat pihak mempelai wanita. Hal ini berlaku juga pada keluarga asal minangkabau, walaupun di daerah aslinya sudah ada ketentuan yang mengatur, tetapi hal ini umumnya dapat disesuaikan di perantauan.
Dalam tiap perkawinan orang selalu mengharapkan agar segala sesuatu yang baik dan membawa kebahagian terutama para pengantin. Ungkapan ini dapat muncul dalam bentuk yang bervariasi, mulai dari tata upacara sampai bentuk visual yang ditampilkan. Kelanggengan perkawinan yang bahagia merupakan impian tiap pasangan dan tiap keluarga mengharapkan kebahagianaan serta kebaikan dengan bersatunya pasangan pengantin. Ungkapan ini disampaikan melalui beberapa bahasa visual, seperti ragam hias, bentuk, warna dan lainnya. Sedangkan ungkapan lainnya adalah, upacara yang banyak menyiratkan perlambangan serta harapan demi hal yang baik. Perlengkapan upacara adat pernikahan cara minangkabau, salah satunya adalah pelaminan, menjadi sarana ungkapan kebahagiaan, petuah, doa dan harapan bagi mempelai.
Unsur dan keadaan sekitar tempat tinggalnya, membawa pengaruh pada bentuk, warna dan bahan pada pelaminan pengantinnya. Baik disadari maupun yang terjadi tanpa disengaja, tak dapat dihindari. Nilai dan budaya lokal tampak berpengaruh pada tata upacara adat mingkabau, sebagai unsur tambahan. Kebiasaan atau budaya lokal secara langsung bercampur dengan luwesnya . kehidupan kota dengan gaya hidup turut pula membentuk budaya minangkabau peratauan. Penyesuaian terhadap nilai baru yang berlaku dan nilai adat yang dianut menjadikan pembauran. Nilai-nilai baru telah mendorong lahirnya bentuk pelaminan baru yang dirasa tidak kuno, serta lebih sesuai dengan jamannnya.
Pergeseran bentuk perangkat pelaminan bisa berupa desain dan pengembangan pelaminan pengantin, komposisi warna dan ragam hias pada pelainan, ukuran dan proporsi pelaminan, baju pengantin, perangkat pendukung, punggung pelaiman.
Pelaminan minangkabau
Arti pelaminan menurut kamus umum bahasa Indonesia, pelaminan berarti tempat duduk (tidur) pengantin; naik, kawin. Lamin M, melain: menghiasi tempat tidur pengantin.
Pelaminan: tempat duduk pengantin (poerwadarminta, 1987: 557)
Tempat pengantin bersanding disebut pelaminan, adapun bentuk pelaminan ini dasarnya berupa panel dengan bagian tengah beratap terbuat dari kain bersulam emas. Di bawah bagian beratap inilah pengantin duduk bersanding. Pelaminan adat mingkabau memiliki bentuk yang sangat menarik, banyak ragam hias dan warna yang membuat penampilannnya semarak. Di masa lalu pelaminan dipergunakan oleh bangsawan dan raja-raja, tetapi kini pengantin dianggap sebagai raja sehari, sehingga mereka layak disandingkan di pelaminan.
Secara langsung, kita segera menangkap unsur luar pada pelaminan minangkabau ini, yaitu pada ragam hias, warna merah, emas, nyata sekali datang dari cina. Walaupun tak ada suatu peraturan yang menggariskan bentuk atau pakem mengenai pelaminan, namun ada bagian yang merupakan keharusan dalam suatu pelaminan minangkabau. Dengan tak adanya aturan baku dalam bentuk pelaminan, ini terdapat perbedaan bentuk secara fisik antara satu dan lainnya, baik secara nyata maupun perbedaan sekilas. Walaupun demikian, ada beberapa unsur yang tak boleh dihilangkan dalam pelaminan, hal yang esensial yang memberi ciri minangkabau pada pelaminan itu adalah:
1. Bahan-bahan yang dipergunakan baik untuk tabia maupun yang lain-lainnya ialah kain-kain bersulam benang emas atau perak dengan motif ukiran minangkabau.
2. Harus mempunyai banta-banta gadang.
3. Ada tirai (langik-langik) di atas tempat bersandingnya yang menggantungkan mainan angkin-angkin dan karamalai.
4. Ada lalansia kulambu balapih dan banta-banta kopek pada bilik utamanya.
5. Mempunyai galuang dan kain jalin dengan butun-butun pengapit biliknya.
Awalnya memang terdapat perbedaan bagi kaum bangsawan, yaitu jumlah tirai harus tujuh lapis dan banta gadang yang semakin banyak makin tinggi derajat keluarganya. Tetapi hal itu tak lagi menjadi permasalahan besar pada masa ini sebab bangsawan minangkabau tak eksis lagi. Hanya saja kini orang lebih mengembangkan bentuk yang beragam dalam desain pelaminan dan semakin semarak penampilannya.
Pada masa lalu pernikahan diadakan di rumah mempelai wanita (anak daro), pelaminan yang berupa panel dari kain bersulam dipasang di bagian tengah ruang. Pelaminan sebagai tempat bersandingnya pengantin, dalam upacara adat perkawinan minangkabau bukan merupakan bagian utama, melainkan sebagai pelengkap atau pendukung. Secara umum bentuk dasar pelaminan dari tiap daerah mempunyai kesamaan: tetapi ada sedikit perbedaan bentuk atau susunan pada pelaminan antara daerah pedalamn dan daerah pantai di minangkabau. Pelaminan yang berbentuk panel dari kain ini awalnya ditujukan untuk dipasang di rumah adat pada salah satu anjungnya. Rumah adat yang berbentuk panjang dengan anjung pada kedua ujungnya dan beberapa kamar di sepanjang dinding dan ruang kosong di bagian tengahnya untuk berbagai kegiatan sosial. Bila ada perkawinan, maka pelaminan dipasang di bagian anjung dengan tiap kamar ditandai oleh banta gadang. Bagian anjung ini pada masa lalu merupakan tempat raja bertahta, duduk bersila di atas kasur berbentuk segi empat panjang. Sedangkan kemudian hari anak daro dan marapulai dianggap sebagai raja sehari yang menempati bagian anjung ini sebagai ‘raja’
Bentuk rumah gadang yang memanjang dan kosong pada bagian tengah, ditujukan untuk tempat berkumpulnya kerabat, dan di kampung kenduri didadakan secara duduk bersila seputar ruang. Para tamu duduk bersama menghadapi sajian yang ditata di bawah (lantai). Tempat pengantin berada pada ujung (anjung) rumah gadang. Kerabat dan tamu yang datang tidak disatukan antara pria dan wanita, umumnya pria menempati bagian depan, dan wanita di belakang. Makanan baik nasi beserta lauk pauknya, maupun kue dan buah-buaha disajikan di bawah.
Menurut beberapa sumber, konon bentuk pelaminan ini berasal dari tempat tidur pengantin cina, yaitu ketika seorang raja cina mengirim seperangkat pelaminan untuk meminang bundo kanduang. Hal ini mungkin mengandung kebenaran dari bentuk yang ada pada pelaminan, dilihat dari banyaknya unsur Cina baik dari segi penggunaan warna, motif maupun hiasan lain yang terdapat pada bagian-bagian pelaminan minangkabau. Misalnya ada motif burung phoenix, singa, naga, kupu-kupu, warna merah, biru dan emas, lalu pada bentuk hiasan gantung pada langik-langik serta hiasan sunting pada anak daro. Dan unsur ini bergabung dengan unsur lainnya masih banyak dijumpai pada pelaminan yang digunakan sampai kini. Pelaminan sendiri terdiri dari beberapa unsur, sehingga amat sulit mengatakan bentuk yang asli, perubahannya cukup banyak hingga kini, dan makin mempersulit menunjukkan bentuk asli.
Pelaminan sendiri berbentuk panel kain berhias sulaman, dan dipasang menutupi dinding, dengan bagian tengah tempat duduk mempelai dilengkapi kain persegi yang digantungkan di atas, disebut langik-langik. Bentuk ini menurut cerita melambangkan keterbatasan manusia. Pada langik-langik ini digantungkan hiasan lidah-lidah berbentuk serupa dasi yang melambangkan manusia berucap bias baik bias juga buruk. Selain lidah-lidah ada pula hiasan lainnya yang digantungkan, karamalai dan angkin-angkin yang merupakan lambang rangkaian sambung menyambung. Latar belakang tempat duduk pengantin diletakkan kelambu berlapis (kulambu balapih) bisa: 3, 5, atau 7 lapis. Banta gadang dari kain bersulam sebanyak 2 buah mengapit pengantin. Di samping tempat duduk pengantin ada semacam bingkai disebut pancung atau galung (galuang): yaitu berbentuk lengkungan mirip gapura, yang menandakan perhelatan kaum bangsawan. Galuuang ini dilapisi kain jalin beberapa warna dan pada sisi-sisinya dilengkapi tonggak bamboo berlapis: kain tonggak katorok atau labu-labu atau usus-usus. Konon menurut para orang tua minangkabau, kain jalin ini melambangkan suatu ikatan atau jalinan antara kedua keluarga besar agar hubungan harmonis.
Karena bentuk pelaminan ini cukup luwes, jadi pelaminan dapat disesuaikan dengan bentuk rumah yang berhajat, karena panel yang dipasang, bisa diatur sepanjang dinding ruang, dengan tujuan memberi suasana yang lain (pesta). Kain yang dipersiapkan memiliki ukuran standar, yaitu setinggi dinding ruang dalam atau sekitar 3 meter, ukuran panjang kain dapat disambung kearah lebarnya dan tidak dibatasi, untuk keperluan menutupi panjang dinding rumah. Suasana pesta berlangsung akrab dan meriah dalam kekeluargaan yang saling mengenal antara keluarga anak daro dan marapulai. Duduk berdampingan, berbincang dan bercanda dalam hubungan yang baru dibina.
Tampak sekali di sini harapan dari perkawinan dan hubungan antar kedua keluarga dalam ikatan sosial yang akrab dan selaras, semua ungkapan dan perlambangan dari tiap bentuk dan warna yang tampil dalam wujud pelaminan. Terdapat bukti antara perlambangan dengan kenyataan yang berlangsung, bahwa unsur dalam pelaminan memang dalam kehidupan nyata diwujudkan betul dan sangat kental terasa. Pada masa sekarang ini, banyak sekali yang mengalami perubahan yang sangat sulit untuk dihindari, karena situasi juga telah berubah. Mulai dari tatanan masyarakat secara umum, situasi ekonomi, sosial bahkan sampai pada kebudayaan manusia yang mengalami perubahan bentuk. Hal ini adalah sesuatu yang wajar terjadi, dan tak mungkin dihindari sehingga apapun bentuk perubahan tersebur tentunya berdampak pula pada berbagai keadaan, termasuk dalam budaya dan adat istiadat masyarakat minangkabau.
Unsur-unsur dasar pelaminan
Dalam pelaminan unsur yang membentuknya disebut:
* Latar penutup atau tabir (tabie): tabir ini berupa panel dari kain bersulam, umumnya berwarna merah dan hitam dengan sulaman benang emas. Kain tabir ini juga bisa berwarna kuning dan biru berselang seling. Kain yang sering digunakan untuk tabir ini adalah kain satin yang memiliki kilau mirip sutera. Ragam hias yang terdapat pada tabir flora dan fauna aatau ada juga ragam geometris pada bagian tepi. Kain tabir ada yang berwarna tunggal atau terdiri dari kain aneka warna yang dijahit selang-seling. Sesuai dengan namanya, kain tabir ini menutupi sebagian besar dinding, sekaligus menjadi latar dan berfungsi memberi suasana pesta pada ruang.
* Layang-layang atau langik-Langik ada sebagian orang menyebut dengan layang-layang atau langik-langik, tapi keduanya sama. Bagian ini adalah kain yang membentang secara horizontal di atas, setinggi 2,5 meter dari lantai, membentuk mirip langit-langit rumah. Ukuran bagian ini sekitar, panjang 2,5 meter dan lebar 2 meter, juga terbuat dari kain, dan dipasang dengan cara mengantungkannya memakai tali yang dibentang. Selain dibentang, bagian ini juga dapat berdiri dengan bantuan rangka pada bagian dalam, sehingga tidak tampak tali temali pembantu. Pada bagian ini ragam hias jarang digunakan, umumnya kain berbentuk persegi dengan bagian pinggir (bingkai) terdiri dari warna lain dengan bagian tengahnya. Hiasan berupa sulam emas hanya terdapat pada tepi langik-langik, berupa border. Langik-langik ini berfungsi sebagai tempat mainan angkin bergantung, angkin adalah kain berbentuk segi lima dengan dua sisi tepi yang panjang (mirip dasi) berhias sulaman. Angkin berwarna warni dan jumlahnya banyak.
* Kelambu atau kulambu balapih; berupa kain serupa tirai yang disingkapkan pada kedua sisinya. Kelambu ini berlapis-lapis jumlahnya bervariasi antara 3,5 sampai 7 lapis, berada tepat di tengah, di bawah langik-langik. Kelambu terbuat dari kain bersulam flora dan fauna dari benang emas, warna kain beraneka ragam tiap lapis berbeda. Tiap tirai disingkapkan memakai pengait tirai (tassel) terbuat dari kain yang sama. Di latar belakang tirai ini, ditengahnya biasa ditempatkan banta kopek, yaitu bentuk bantal hias berwarna warni beberapa buah dan disusun bertumpuk. Tidak ada hiasan pad banta kopek, hanya kain polos aneka warna untuk membungkus.
* Banta gadang, berbentuk mirip rumah dari kain bersulam, memiliki rangka didalamnnya untuk menunjangnya. Tempat banta gadang adalah di sisi kiri dan kanan kursi pengantin.
* Galang dan kain jalin, galuang adalah suatu bentuk lingkungan setengah lingkaran yang berada di depan kelambu. Pada jenis lain ada galuang yang tidak berbentuk setengah lingkaran, tapi berupa dua tiang lurus saja. Pada galaugn ini dililitkan kain, dan disebut kain jalin, karena memang dijalinkan bergantian dari 3 lembar kain. Kain jalin ini ada yang memakai 3 warna atau kurang.
Berikut ini menunjukkan lebih jelas bentuk pelaminan lama yang belum banyak mengalami perubahan, baik dari bentuk dasar, warna yang dipergunakan, maupun ornament yang ditampilkan, bentuknya masih mengacu pada bentuk pelaminan yang lebih tua lagi (sekitar tahun 1960), yaitu dalam bentuk persegi dan datar. Warna yang dominan adalah merah, hitam dan kuning seperti warna pada lambing minangkabau, dengan beberapa tambahan sebagai aksen. Dan ornament yang dipakai sebagai sulaman pada tabie adalah buket flora dan fauna serta ukuran pelaminan sekitar 6×3 meter (pakem) melainkan berupa kebiasaan yang lazim digunakan.
Ketentuan yang lebih ketat mengenai penggunaan kain dan busana tertentu hanya dalam upacara pengangkatan penghulu, sedangkan untuk perkawinan tak ada ketentuan khusus. Hal ini telah memungkinkan pelaminan mengalami pengembangan bentuk yang lebih leluasa, bila dirasa perlu. Suatu ketentuan mengenai pedoman yang dapat dipegang untuk mengadakan perubahan adalah
Condong mato ka nan rancak
Condong salero ka nan lamak
Rancak di awak
Katuju di urang (basir, 1997:x)
Pengertian dari ketentuan di atas ialah bahwa mata atau penglihatan selalu melihat yang bagus, dan selera makan pasti akan memilih yang enak. Sesuatu yang baik bagi kita, tetapi juga disenangi dan cocok bagi orang lain. Cocok bagi diri sendiri dan cocok bagi orang lain. Suatu ukuran yang jelas tak ada patokan jelas seperti apakah cocok itu? berdasarkan perubahan jaman, selera dan kecendrungan orang akan merubah terus mengikuti jalannya jaman. Sejalan dengan ini perkembangan selera atau ideal artistik, yang akan berubah terus karena sifat manusia yang dinamis. Faktor luar yang mendorong lahirnya nilai ideal artistik baru jumlahnya cukup banyak dan tidak sealu sama. Hal ini yang juga menjadikan ukuran atau patokan pasti tentang selera tak dapat dibuat.
Referensi
Arleti M.Apin, Pergeseran desain pelaminan minangkabau, Program magister desain, ITB, 2002.
Sumber dan gambar : Search Google dan BERBAGAI SUMBER