Published On:Jumat, 20 Juli 2012
Posted by Unknown
Siti Nurbaya: Kasih Memang Tak Mesti Sampai
Mengunjungi Kota Padang, segera teringat kisah
sedih Siti Nurbaya. Sedemikian melegenda kisah kasih itu, hingga
dibuatkan monumen berupa jembatan Siti Nurbaya. Jembatan itu biasa saja,
sederhana. Namun menyimpan gurat kesedihan yang tak terperikan. Tangis
Siti Nurbaya seakan masih terdengar menggema di telinga, saat saya
melintas di bawahnya, Sabtu 30 Juni 2012 kemarin.
Kisah kasih tak sampai, selalu menyedihkan. Marah
Rusli mampu menggambarkannya dengan sangat hidup. Buku yang sudah
berkali tamat saya baca ketika masih sekolah SD, namun ternyata tetap
menarik bagi saya untuk kembali membacanya. Barusan saya membeli buku
legenda itu lagi di Bandara Minangkabau, ketika hendak meninggalkan
Padang, Senin 2 Juli 2012. Terbitan Balai Pustaka, cetakan ke-47, tahun
2010. Cetakan pertama buku itu tahun 1922 oleh penerbit yang sama.
Agar tidak perlu repot menulis resensinya, saya ambilkan saja dari http://pelangiholiday.wordpress.com yang telah memposting ringkasan kisah Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya, antara Syamsul Bahri dan Datuk Maringgih
Adalah Syamsul Bahri, seorang lelaki berwajah
tampan dan berasal dari keturunan orang terpandang. Bapaknya adalah
seorang Penghulu yang terpandang, yakni Sutan Mahmud. Ia jatuh cinta
kepada seorang gadis jelita, Siti Nurbaya, yang berambut panjang bak
mayang terurai serta santun budinya, anak dari Baginda Sulaiman. Jalinan
cinta Siti dan Syamsul direstui oleh kedua orang tua yang masih
memiliki hubungan kekerabatan. Sutan Mahmud ayah Syamsul Bahri adalah
mamak Siti Nurbaya.
Setelah menamatkan sekolah tingkat atas, Syamsul
Bahri melanjutkan sekolah calon dokter di pulau Jawa. Tidak terperikan
betapa sedih hati Syamsul Bahri yang harus meninggalkan kekasih pujaan
hati. Air mata Siti Nurbaya berlinang membasahi pipi saat melepas
Syamsul di pelabuhan Teluk Bayur, dan berharap cepat kembali bertemu.
Saling berkirim surat cinta adalah pengobat rindu mereka berdua saat
hidup terpisah.
Tahun berlalu musim berganti, musibah datang
mendera keluarga Siti Nurbaya, usaha dagang ayahnya mengalami
kebangkrutan, hingga jatuh miskin dan Baginda Sulaiman akhirnya jatuh
sakit. Beliau meminjam uang kepada seorang rentenir yang berbadan kurus
dan beristri banyak, bernama Datuk Maringgih. Hutang Baginda Sulaiman
semakin bertumpuk dan berbunga pada Datuk Maringgih.
Suatu hari Datuk Maringgih pergi ke rumah Baginda
Sulaiman yang sedang sakit untuk menagih piutangnya. Disanalah Datuk
Maringgih terpesona melihat kecantikan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih
memaksa Baginda Sulaiman agar menikahkan Siti Nurbaya dengan dirinya
sebagai istri muda kalau tak sanggup membayar hutang.
Siti Nurbaya menolak, karena sudah punya kekasih.
Tapi Siti Nurbaya tak berdaya dan akhirnya dipersunting oleh Datuk
Maringgih yang berumur sebaya dengan ayahnya. Kabar tersebut sampai ke
telinga Syamsul Bahri, hatinya sangat sedih dan mencoba bunuh diri.
Suatu hari Syamsul Bahri pulang ke Padang dan
bertemu dengan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih naik pitam dan meyebarkan
fitnah yang menyudutkan Syamsul Bahri. Akhirnya ia di usir oleh ayahnya
Sutan Mahmud. Syamsul Bahri kembali ke Jakarta , diam-diam ia menyamar
jadi tentara kompeni Belanda, dengan nama samaran Letnan Mas.
Datuk Maringgih menjadi benci kepada Siti Nurbaya,
puncaknya ia melampiaskan dendam dengan memberikan lemang beracun
melalui pesuruh untuk diberikan kepada Siti Nurbaya. Tragis, Siti
Nurbaya menemui ajalnya setelah memakan lemang beracun kiriman Datuk
Maringgih.
Pada saat tragedi Balesting dimana
saudagar-saudagar pribumi tidak mau membayar upeti di bawah pimpinan
Datuk Mariggih, dikirimlah Letnan Mas oleh Kompeni ke Padang untuk
menumpas para pembangkang Balesting. Terjadilah peperangan satu lawan
satu antara Letnan Mas dengan Datuk Maringgih.
Akhir cerita Letnan Mas yang tak lain adalah
Syamsul Bahri tewas di ujung pedang, bersamaan dengan Datuk Maringgih
juga roboh terkena tembakan Letnan Mas.
Andai Siti Nurbaya Hidup di Zaman Sekarang
Mengapa Siti Nurbaya mau menikah dengan Datuk
Maringgih? Bukankah ia bisa melarikan diri, toh harga pesawat ada yang
cukup murah. Ia bisa memesan jauh hari agar harga semakin murah.
Bukankah Siti Nurbaya bisa telepon atau SMS kepada Syamsul Bahri yang
masih sekolah di Jawa, janjian atau membuat kesepakatan tertentu. Kalau
ingin mendapat dukungan publik, share saja kasus itu melalui jejaring
sosial seperti facebook, twitter, atau melalui blog, web dan milis.
Syamsul harusnya bisa datang ke Padang lebih awal
setelah mendapat SMS dari Siti Nurbaya bahwa kondisinya terancam.
Syamsul bisa mengajak pengacara yang terpercaya, apalagi yang mau
gratis, untuk menyelesaikan kasus Baginda Sulaiman yang terlilit hutang
kepada Datuk Maringgih. Laporkan saja Datuk Maringgih ke Kepolisian agar
ditangkap karena ia orang jahat. Setelah itu, segera nikahi Siti
Nurbaya, dengan urusan resmi ke KUA. Tidak perlu nikah siri.
Setelah menyelesaikan urusan di Padang, segera ajak
Siti Nurbaya ke Jawa, untuk meneruskan studi lanjut. Ambil program
spesialis, atau beralih ke jalur politik, agar kelak bisa kembali ke
Ranah Minang untuk menjadi Bupati atau Gubernur. Maka berbahagialah
hidup Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya di Ranah Minang. Mereka dikaruniai
anak-anak yang lucu dan baik.
Ah, jangan berandai-andai. Kenyataannya, takdir
telah menuliskan Siti Nurbaya hidup di zamannya, untuk menjadi legenda
kepedihan hati, karena kasih tak sampai. Jangan lagi ada orang sejahat
Datuk Maringgih. Jangan ada lagi orang tua yang tega memaksa anaknya
untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Jangan lagi ada
warga yang kesulitan ekonomi sehingga terlilit hutang ke rentenir
berwatak jahat.
Siti Nurbaya adalah pengingat kepada kita semua.
Biarkan saja ia hidup di zamannya. Bahkan ternyata tetap hidup di zaman
kita, sebagai legenda yang membawa pesan-pesan mulia.
Garuda delay 40 menit.
Bandara Minangkabau, 2 Juli 2012
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/
Description: Siti Nurbaya: Kasih Memang Tak Mesti Sampai
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Siti Nurbaya: Kasih Memang Tak Mesti Sampai