Published On:Minggu, 10 Juni 2012
Posted by Unknown
Kata Yang Tidak Tumbuh Menjadi Diri
Tulisan saya ini banyak bersinggungan dengan tulisan Afrizal Malna dalam Jurnal Selarong volume 5 th 2005, yang berjudul, “Konstruksi Negatif” yang Terus Dijalankan Orang-Orang Minang dalam Sastra Indonesia”. Dalam cara yang lain saya akan melanjutkan uraian Afrizal tersebut.
Pada awal tulisannya Afrizal mengemukakan,
“Dalam tulisan ini, saya tergoda untuk menggunakan diri saya sebagai pintu masuk. Tentu saja ia menjadi sangat biografis,…”
Dengan
cara itu Afrizal kemudian melirik karya sastera orang-orang Minang
dalam kancah sastera nasional. Suatu kancah yang masih sangat biografis
pula. Afrizal menyebutnya sebagai perjalanan berbaliknya subjek rantau.
Ia menyebut beberapa nama yang cukup representatif. Seperti dalam karya
Raudal Tanjung Banua, tema tersebut mengumpul dalam kalimat seperti Kereta Itu Terus Memanjang. Raudal
bercerita bahwa siapa saja yang masuk ke dalam kereta itu, akan lenyap
dan hilang bersama kereta itu. Sementara dalam novel Abrar Yusra, Tanah Ombak, ia mengisyaratkan tentang rantau yang telah tumbuh di dalam Minang itu sendiri. Rantau itu terepresentasi lewat sebuah nightclub di kota Padang. Banyak pelacur dalam nigthclub tersebut yang berasal dari wanita-wanita Minang. Letak dan tempat nightclub
disembunyikan. Afrizal mensinyalir bahwa begitu pula orang-orang Minang
selalu menyembunyikan rantau yang sedang tumbuh di dalam dirinya
sendiri. Sedangkan si ibu pemiliknigthclub
tetap terepresentasi sebagai ibu tradisi bagi para pelacur yang
dikelolanya. Ibu itu mengurusi mulai dari urusan makan dan harian sampai
urusan mencarikan jodoh buat para pelacur itu.
Tokoh
utama dalam novel ini adalah seorang wartawan yang selalu merasa
memasuki tempat yang asing, baru, atau rantau, setiap kali memasuki nightclub
itu. Dan wartawan itu juga selalu akan merindukan pulang ke rumah
tradisi membayangkan pelukan hangat dari si isteri yang bertubuh semok
dan berwajah innocent. Sementara itu, sang wartawan telah jatuh hati pula pada seorang primadona dinightclub
dan bingung untuk mendefenitifkan hubungan yang sedang terjadi. Upaya
mendefenitifkan tersebut tidak terdapat acuannya dalam tradisi, sedang
di luar tradisi ia hanya mengalami keterasingan identitas,
termarjinalkan tanpa sebab yang dipahaminya.
Dalam Tanah Ombak,
antara rantau dan tradisi saling berjalinan membentuk suatu batasan
yang relatif baru tidak hanya dalam batas kesadaran tetapi juga dalam
batasan geografis karena nightclub itu terdapat di kota Padang yang disembunyikan.
Berbagai
struktur tragik terus bergulir dalam khasanah sastera orang-orang
Minang (AA. Navis, Gustf, Harris Efendi Thahar, dsb) dengan beragam pola
dan metode namun tetap pada tema yang sama dan kesimpulan yang relatif
sama (absurditas).
Para
pengarang itu mempersepsikan dirinya sebagai Malinkundang baru yang
secara normatif sama dengan Malinkundang yang dulu, hanya saja mengalami
berbagai perubahan dan pencanggihan dalam pola tragik yang dipakai.
Dalam keterangan Afrizal, tragik kembali berulang tanpa adanya
pertumbuhan solusi. Seakan-akan solusi adalah kemustahilan, hal inilah
yang disebut Afrizal sebagai “konstruksi negatif”.
Nalar
yang berkembang dalam sastera orang-orang Minang hanya bersibuk diri
dengan upaya-upaya pencanggihan struktur dan pemolesan bentuk secara
lebih baru. Begitu juga dari dulu hingga kini menurut Afrizal, persoalan
perantauan orang-orang Minang tidak pernah beranjak dari itu-itu jua,
sebagai si Malinkundang dalam berbagai kebaruan struktur.
Afrizal
mencatat beberapa ikon penting yang relatif muncul dalam dunia sastra
orang Minang yang suka merantau itu seperti: Bis, Truk, Kereta, Ombak.
Sedang menurut saya berbagai ikon tersebut selalu berdekatan dengan ikon
seperti terminal, pasar, teriakan, kebisingan, kebingungan, resiko,
panas matahari, debu, puntung rokok, pinggiran, kesunyian: yang
marjinal. Sebagai ikon, ia merupakan fundamen identitas dalam cara
beridentitas di era kontemporer saat ini. Sehingga dalam realitas
riilnya, seakan-akan orang Minang saat ini walaupun jauh dari gaya hidup
yang marjinal secara artifisial (pulang kampung pakai pesawat, merantau
sebagai mahasiswa, dosen atau pejabat tinggi, sebagai usahawan sukses,
kontrakan di apartemen, dsb), namun tidak begitu dalam perilaku
ikoniknya: tercium suatu aroma dari performa pinggiran.
Kata Tidak Berkuasa, Sudah Berubah, Juga Terbatas
Masyarakat
Minang membangun tatanan kosmosnya mengandalkan daya kata. Dalam
Gurindam edisi sebelumnya telah disebut betapa kata berkuasa
(foucaultian) di Minangkabau. Dan ketika kata merupakan transformasi
dari/untuk kuasa, maka kepentingan terhadap kata menjadi kepentingan
yang paling mendasar. Semua orang berebut kata. Semua orang memproduksi
kata sebanyak mungkin. Siapa yang paling banyak memiliki dan menggunakan
kata berkemungkinan menjadi yang serba “paling” (paling cerdas, paling
representatif, paling bijak, paling dapat diandalkan, paling legitimed,
paling sah, paling terhormat, dsb). Orang Minang kemudian menjadi gemar
berkata-kata.
Pola
demikian masih bertahan hingga hari ini. Sedangkan kosmologi kata
sesungguhnya telah berubah seiring pertumbuhan dunia global. Ia (kata)
tidak lagi mampu mempermainkan realitas, tetapi justru dipermainkan
realitas. Sehingga begitu juga, yang berpegang pada kata akan menjadi
objek permainan serta kehilangan keasikan terhadap dirinya sendiri yang
sedang ter/dipermainkan. Subjek tradisi berubah objek dalam dunia yang
berubah ini. Sebagian dari mereka yang telah menjadi objek mencoba
membangun kembali dunia tradisinya dalam berbagai cara dan polarisasi
keadaan agar dapat menjadi subjek kembali dalam dunia preferensi yang
dipahaminya (mis. Berbagai perkumpulan kepaguyuban seperti Baringin
Tuo/Mudo, IMAMI, Formisi, Forkommi, Surau Tuo, dll).
Ketika
keasikan terhadap diri semakin hilang, mentalitas menjadi minder dan
apatis. Semestinya transisi bisa berarti penyesuaian,peleburan,
adopsi, redefenisi, reposisi, dsb. Namun karena diri sudah tidak
memiliki bangunan preferen yang utuh, transisi justru menakutkan.
Ketimpanganpun terjadi, kata malah menimbulkan persoalan rujukan yang
tak lagi akurat, terombang-ambing dalam medan kompetisi kuasa yang
semakin kompleks. Kata tak lagi berkuasa. Orang-orang yang selama ini
bergantung pada kuasa kata mengalami post-power sindrom, ilusi
menggigau-gigau pada jam kerja di siang bolong: menyebut-nyebut banyak
hal yang terakumulasi menjadi istilah “mambangkik batang tarandam”.
Zaman global saat ini tidak menjanjikan apa-apa. Hanya manusia banyak berharap juga padanya. Dalam kebudayaan Minang yang post-power sindrom
itu, modernisme menjadi dasar bagi pertumbuhan formalisme beserta
feodalisme baru. Sang “Tuan” (Minang) merasa mendapatkan kesempatan lagi
untuk meraih justifikasi kuasa dengan adanya bantuan justifikatif dari
luar dirinya. Sedangkan justifikasi tersebut bergerak dalam kerangka
nalar dan moral yang membeda-bedakan antara kata “betul” dan kata
“benar”: ada kata yang bersifat “mungkin” seperti pengetahuan harian
atau pengalaman (ke”betul”an) dan ada kata yang bersifat “mesti” seperti
ilmu pengetahuan, agama, negara (ke”benar”an) dll.
Dalam
budaya feodalisme Minangkabau ini, mekanisme kuasa terjadi dengan
mensublimasi dunia kewajaran menjadi bernuansa mitis. Berbagai hal
diintrodusir menjadi mitos untuk melanggengkan legitimasi kuasa.
Mitos-mitos tersebut bermunculan sebagai mitos sekolah tinggi, mitos
rantau, mitos uang, mitos jabatan, mitos dialektika, mitos asal-usul,
mitos sesepuh adat, mitos adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah, mitos luhak nan tigo, dsb. Apa yang sebelumnya hanyalah
suatu konsekwensi logis dari dialektika kata, kini menjadi representasi
prestise dalam aras pergaulan sosial.
Feodalisme
berkembang karena kemampuan pendasaran nalar dan nilai pada kata sudah
sangat terbatas: mistifikasi dalam nalar dan nilai dikembangkan agar
kata tetap memiliki gengsi dan wibawa. Dalam cara lain, kebudayaan
Minang gagal membangun pendasaran baru kepada model yang lebih ikonik
dan simbolis, yang memiliki daya tampung jauh lebih luas (interteks) dan
elastis (interpretatif). Akibatnya misalnya terjadi dalam pola stereotyping yang bercokol di dalam kepala hari ini, masih seperti di zaman Siti Nurbaya.
Antara
“betul” dan “benar” termanipulisir menjadi mana yang lebih berkuasa.
Dulu, mana yang lebih berkuasa terelaborasi dalam mekanisme permainan
yang dinamis (basilek lidah). Semua ditentukan secara fair dalam gelanggang yang sama. Sehingga
siapa yang menang hari ini belum tentu menang lagi esoknya. Kemenangan
selalu bertumpu pada usaha personal yang dilakukan setiap orang, bukan
berkat institusi-institusi.
Realitas
kata yang sebelumnya dinamis berubah menjadi sangat segmentatif: ada
yang sakral, ekslusif, elitis, terpelajar, ada pula yang harian, kantau, balai.
Seakan-akan kata bertingkat seperti dalam budaya Jawa. Tetapi dalam
alam Jawa tersebut, tingkatan kata bersifat konvensional dan tidak
mengandaikan tingkatan akurasi dan validitas (nalar), hanya sekedar
sebagai pemilahan wilayah simbolis. Tingkatan tersebut diterapkan untuk
menjaga tatanan feodal yang ada dengan keberadaan seorang Raja sebagai
representasi ultimatum tertinggi. Feodalisme baru di Minang boleh
dikatakan jauh lebih radikal karena menyusup ke dalam pengandaian nalar
yang tidak membutuhkan kehadiran representatif seorang Raja sebagai
ultimatum tertinggi. Raja di Minang hanya bersifat simbolis-konvensional
yang tidak berpengaruh apa-apa, yang dalam perkembangannya di era
modern, tumbuh raja-raja baru yang juga simbolis namun non konvensional
yang memiliki pengaruh ekonomi-sosial-kultural yang jauh lebih jelas
ketimbang raja Konvensional. Jika kita menelisik khasanah sastera
orang-orang Minang pada era Pujangga Baru (era-era keemasan modernisasi
di Minangkabau) dan sekitarnya, kita akan melihat cukup jelas polarisasi
feodalisme Minangkabau.
Kedatangan
islam Paderi di Minangkabau merupakan momentum penting dari tragedi ini
yang menyingkirkan secara paksa berbagai aspek alamiah (dunia
ke”betul”an) yang tumbuh di masyarakat (perang Paderi). Pemaksaan
tersebut melenyapkan gelanggang alami pertumbuhan kata menuju bentuk
pemaknaan yang semakin adaptif dalam menyikapi pergerakan zaman.
Walaupun islam tidak menyingkirkan dasar-dasar yang menjamin pertumbuhan
kata tersebut (tambo alam Minangkabau, dsb) tetapi dalam prakteknya
islam memberikan tekanan. Dalam pandangan islam yang diwakili kaum
Paderi, segala pengandaian yang tidak berdasar kepada dalil naqli
diabaikan. Kata yang dialaskan kepada akal semata dianggap bid’ah. Kata
yang paling absah hanyalah firman Tuhan dan segala yang berguna dalam
rangka firman itu. Kata yang tidak berhubungan sama sekali dilenyapkan.
Islam
paderi membawa pembaruan dan pandangan modernitas dalam konstelasi yang
sangat artifisial, kemajuan secara pragmatis. Begitu pula, sikap
pragmatis itu dibarengi berkembangnya hegemoni fiqh yang sangat
artifisial pula. Nalar dan nilai membentuk kosmologinya secara instan
melalui doktrin agama dan tidak lagi melalui proses dialektika yang
orisinil terhadap alam. Hukum adat diislamkan dengan menyandingkan kata
Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Setiap orang Minang
kemudian mesti islam, jika tidak, berarti keluar dari Minang. Hal yang
terakhir ini merupakan penetrasi paling substantif dari formalisme islam
paderi di Minangkabau. Suatu tujuan ideologis dengan kerangka agama.
Biografi Kata Disekitar Saya-Biografis
Gelanggang
yang dulu sudah tidak netral lagi. Sebelum masuk gelanggang, berbagai
kategori sudah bertebaran di sana-sini menghegemoni persepsi (jadi mambaco bayang). Bahkan basilek lidahsudah
dekaden menjadi area apologi dan retorika kata-kata belaka, tanpa ada
tatanan kosmologi yang jelas secara nilai moral. Saat ini,Silek berkonotasi pada keterampilan tanpa kearifan. Dalam bahasa Minang disebut, Ciluah. Semua orang merasa berhak berkata-kata asalkan logis tanpa peduli akan ruang rasa dan pengalaman yang saling berlainan.
Perkembangan
kebudayaan macet karena tatanan kata disusupi paradigma yang memecah
belah kesadaran kata di Minangkabau, kreatifitas dikooptasi. Kreatifitas
sebelumnya berasal dan hidup dalam dunia ke”betul”an yang informal.
Kemudian kreatifitas berada dalam jajaran yang terlalu kategoris: “apa
yang berguna praktis”. Yang dibudayakan hanyalah yang disiplin, beku,
formal, ke”benar”an. Korban paling besar yang harus tersingkir adalah
segala hal yang berhubungan dengan dunia ke”betul”an. Misalnya hilangnya
berbagaipamainan anak nagari (kesenian tradisi) yang hidup dengan modalitas ke”betul”an itu.
Dalam
Minangkabau kini, kata tidak tumbuh menjadi diri sendiri. Karena arus
global tidak sebatas memiliki konsekwensi yang diskursif dan formal
saja, tetapi juga membawa segenap akibat bagi dunia pengalaman, yang
merubah cara merasa di dalam hati yang lugu. Sedangkan kata tidak akan
tumbuh menjadi diri sendiri hanya dengan kejelasan defenisi dan
kategori, ia perlu pula untuk dijelaskan, dirasakan dan dihayati
keindahannya: dialami. Namun, bagaimana bisa mengakses keindahan jika
selalu menutup pintu keluasan cakrawala hidup dan mengkategorisasikan
(memanipulasi) pengalaman dengan berbagai cara secara pragmatis belaka.
Menjadi feodal secara lebih radikal dalam nalar dan nilai.
Segala
pengalaman mestinya biografis. Dan keadaan ini merupakan akhir dari
biografi keindahan kata di Minangkabau. Awal dari segala keindahan
Minangkabau adalah ketika Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah
Nan Sabatang saling memperdebatkan segenap dunia pengalaman
masing-masing (biografis) yang mewujud menjadi Minangkabau itu.
Minangkabau
kini mengalami dilema kepribadian: narsis dan schizoprenik. Menjadi
narsis dalam keterasingan identitas di masa kini sehingga bersibuk diri
dengan pendasaran masa lalu. Schizoprenik dalam sikap yang mendua
menghadapi kebaruan zaman. Kadang-kadang terkungkung minder nalar
tentang kematian kata namun masih terjebak di dalamnya. Kadang-kadang
minder moral dalam pergaulan antar identitas yang justru simbolis dan
ikonik, dan tidak bersandar pada kata yang semakin kehilangan jejak, dan
akhirnya memistifikasi berbagai hal di dalam dirinya secara seronok.
Sementara diri masih juga belum tuntas mengurai (sekaligus memanipulasi)
super-ego dalam dunia kata ibu: kato (kata) mandaki, kato manurun, kato mandata, kato malereang, dsb.
Dunia
global telah melenyapkan dialektika alam dan rantau. Di alam tumbuh
rantau, bahkan rantau mendatangi kita di kamar tidur dengan televisi
(Afrizal). Di rantaupun begitu, alam merepro dirinya dalam berbagai
struktur yang baru. Sehingga orientasi kebudayaan Minang harus
dijelaskan kembali jika identitas yang bersifat kosmis masih diperlukan
untuk sekedar menghirup udara hidup yang gratis ini. Begitu pula,
persoalan identitas berarti berurusan dengan orang lain dan bukan dengan
diri sendiri saja. Dan Identitas di saat ini lebih sebagai konotasi
yang terbangun di benak orang lain ketimbang denotasi yang
dikoar-koarkan oleh diri sendiri. Sedangkan sebagai konotasi, tidak ada
lagi yang substantif disitu kecuali sebuah metode apresiasi (gelanggang
baru) terhadap kesaling-bebasan berideologi bagi setiap pihak. Dalam
konotasi yang lebih ditonjolkan adalah cara, metode, teknik, dalam
berbahasa, bukan subjek-objek bahasa.
Akhirnya
saya kutip lagi penjelasan Afrizal Malna pada akhir tulisannya. Setelah
menguraikan lebih jauh, Afrizal menyebut bahwa dalam karya sastera
orang-orang Minang tersebut, secara sangat tendensius, diperlihatkan
kondisi Minangkabau sebagai realitas yang sedang berubah. Perubahan
tersebut teridentifikasi sbb:
1. “Minangkabau adalah sebuah perubahan yang disembunyikan.
2. Telah tumbuh tanah rantau sebagai perubahan asing, dalam
dunia Minang itu sendiri.
3. Minangkabau dengan tradisi rantaunya adalah kereta panjang yang setiap orang yang masuk ke dalam kereta itu akan lenyap
4. Minangkabau adalah personifikasi kemerdekaan yang sedang membusuk dalam moralitas yang terbelah.
5. Orang Minang lebih sibuk mempercanggih diri daripada menyelesaikan masalah.”
Pada suatu kesempatan bersama Afrizal, ia lebih suka menyebut dirinya Alien:
lahir di tengah-tengah kehidupan urban kosmopolit di Jakarta, tumbuh
besar dalam suasana yang sangat global, sehingga baginya menjadi tidak
menarik lagi membicarakan tentang kesadaran Identitas (dengan I besar)
yang dalam pengandaian saya menyebabkan ketertutupan dan manipulasi
nalar terhadap banyak hal. Baginya identitas (dengan i kecil) lebih
sebagai biografi yang dialami saja, seperti ingatannya tentang suara Dendang yang dilagukan ayahnya ketika masih kecil. Dan ia menanyakan pada saya, mengapa saya dipanggil Saluang,
sebuah kata yang identik. Saya pahami juga, bahwa kata itu tak
menjelaskan apa-apa kecuali sebagai suatu hal yang sangat dekat dalam
keseharian saya.
Terakhir,
menyinggung semangat Gurindam ini, yang merasa mewakili visi dari
transformasi budaya Minang saat ini, disamping banyak lagi yang lainnya,
yang berkehendak untuk melaksanakan kata-kata, akhirnya tidak terlalu
penting lagi bagi saya, karena tidak mungkin melaksanakan kata-kata jika
kata itu tidak tumbuh menjadi diri sendiri. Dengan pendekatan yang
lebih biografis, kita melihat lebih jelas berbagai upaya yang kita
lakukan dalam pergulatan identitas dan kuasa: keindahan dan kemunafikan
masing-masing.
Sumber : http://batunanlimo.blogspot.com/
Description: Kata Yang Tidak Tumbuh Menjadi Diri
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Kata Yang Tidak Tumbuh Menjadi Diri