Published On:Sabtu, 21 Januari 2012
Posted by Unknown
Ukiran Asli Minangkabau Semakin Menurun
Motif-motif tersebut
berupa aneka bunga, tanaman, dan beragam daun, termasuk sejumlah motif
berupa sulur. Namun, di nagari itu sudah tidak ada lagi yang bisa
mereproduksi ukiran khas itu maupun menjelaskan makna filosofi dari
beragam motif ukiran yang ada.
Haji
Adnan Sutan Samik (76), tetua di nagari itu, mengatakan, salah seorang
tokoh ahli ukir terakhir di nagari itu telah meninggal dunia sejak
beberapa tahun lalu. "Anak-anaknya tidak ada yang meneruskan, hanya buat
mebel saja," kata Adnan.
Salah
seorang tetua nagari lainnya, Syafnis Bagindo Maralam, yang mencoba
menerangkan makna motif ukiran pada salah satu rumah gadang di nagari
itu hanya mengatakan bahwa motif ukiran mengambil contoh dari apa yang
terdapat di alam. "Seperti ini, mungkin maksudnya agar pertalian
kekerabatan jangan terputus," katanya, seraya menujuk motif ukiran
berupa sulur yang saling menjalin.
Namun,
menurut Syafnis, kini masih ada Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X Koto,
Kabupaten Tanah Datar, yang masih memproduksi beragam motif ukiran khas
Minangkabau, yang lokasinya relatif tidak terlalu jauh dari Nagari
Kamang Hilir. Sejumlah rumah gadang di Nagari Kamang Hilir kini juga
terlihat menggunakan motif ukiran dari Nagari Pandai Sikek.
Adnan
menambahkan, tradisi seni ukir di Nagari Kamang Hilir yang berbatasan
langsung dengan Bukit Barisan di sisi utaranya itu juga pernah
diupayakan penyelamatannya pada awal 1980-an. "Saat itu didatangkan ahli
ukir dari Jepara untuk melatih, tetapi itu pun hanya dua atau tiga
orang yang kemudian berhasil. Sekarang, semua orang itu sudah
meninggal," ungkap Adnan.
Menurut
Adnan, pertimbangan ekonomis menjadi alasan utama tidak diminatinya seni
ukiran di nagari itu karena lamanya waktu pengerjaan relatif tidak
seimbang dengan penghasilan yang diperoleh. Banyaknya generasi muda yang
merantau ke luar nagari tersebut juga menyumbang sudah tidak adanya
lagi minat pada seni ukir.
Peneliti
dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, Rois
Leonard Arios, yang wilayah kerjanya mepiluti Sumbar, Bengkulu, dan
Sumsel, membenarkan soal pertimbangan ekonomis itu. " Sekarang jika
membangun rumah tembok biayanya Rp 50 juta, membangun rumah gadang bisa
mencapai Rp 200 juta. Belum lagi ukir-ukirannya yang juga dibayar
terpisah," kata Rois.
Ia menyebutkan,
faktor ekonomis yang ditambah kelangkaan bahan baku kayu itu membuat
beragam motif ukiran lokal di sejumlah nagari punah. Menurut Rois,
selain di Nagari Pandai Sikek, kini ukiran khas Minangkabau setidaknya
tersisa pada sejumlah daerah di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten
Padang Pariaman. [kll]
Description: Ukiran Asli Minangkabau Semakin Menurun
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Ukiran Asli Minangkabau Semakin Menurun