Published On:Jumat, 20 Januari 2012
Posted by Unknown
Tungganai
Yang menjadi Tungganai ialah seorang pria yang tertua dalam lingkungan kaumnya. Bukan saja tua dalam usia, tetapi juga tuga dalam status. Walaupun usianya lebih tua tetapi statusnya baru kemenakan yang masih ada Mamaknya, tidaklah dapat dijadikan Tungganai. Demikian wakil KAN dalam Seminar Adat Silungkang di atas.
Timbul pertanyaan : bagaimana bila dalam satu kaum atau famili anak-anaknya hanya wanita saja ? Apakah anak wanita yang tertua dari kaum atau famili itu dapat ditetapkan sebagai Tungganai ? Melihat keterangan wakil KAN di atas, jawabanya sudah pasti “tidak”.
Dalam situasi dan kondisi yang serupa itu maka kaum atau famili yang bersangkutan harus mencari Mamak yang terdekat di antara Mamak-mamak yang terdapat dalam kampung. Dari sinilah munculnya istilah “Bermamak ke mamak orang”.
Bermamak ke mamak orang ada kalanya seperti bermamak kepada mamak kandung. Bila demikian semua berjalan normal. Tetapi sering terjadi tidak demikian. Lahirlah ungkapan “Bamamak ka Mamak ughang tak dapek kato nan bona” (Bermamak ke Mamak orang tak dapat kata yang benar). Kadangkala ungkapan itu ditambah “Indak taboghi indak nyo acuan do” (Tidak terberi tidak diperdulikannya).
“Tak dapat kata yang benar” itu misalnya ada orang dari kampung lain yang bermaksud hendak meminang anak gadisnya, tetapi karena ia tidak punya Mamak kandung, maka datanglah orang kampung lain itu kepada “Mamak jo Mamak ughang” tadi. Oleh Mamak ughang atau Mamak tumpangan itu karena kebetulan pria yang datang itu sangat disukainya, maka dengan berbagai jalan dibelokannya pinangan orang yang datang itu kepada kemenakan kandungnya. Dia merangkul ke dadanya.
Karena itu pulalah maka seorang Ibu yang mempunyai pandangan jauh, bila dia belum dapat mendudukkan anak pria yang dapat didudukkan sebagai Tungganai, misalnya usianya belum seberapa, maka secara berangsur-angsur anaknya yang pria tadi terus ditonjolkannya ke depan dan akhirnya mau tak mau pihak lain harus berunding dengan anaknya yang pria itu.
Tugas utama seorang Tungganai ialah untuk menjaga Sako dan Pusako serta memimpin kaum atau familinya. Sebagai seorang pemimpin dari kaumnya, seorang Tungganai harus memperhatikan sakit-senang anggota kaum atau familinya. Ia harus tanggap terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi kaum atau familinya.
Sekira terdapat silang sengketa dikalangan kaumnya, atau antara anggota kaumnya dengan tetangga (orang lain), atau terdapat ketegangan dengan urang sumando, menjadi kewajiban Tungganai menyelesaikannya. Cara menyelesaikan tentu dengan sebijaksana-bijaksananya. Membiarkan silang sengketa berkembang bukanlah sikap yang baik dari Tungganai, dan ia akan merusak seluruh kehidupan famili.
Bila telah diusahakan menyelesaikan silang sengketa tersebut, namun silang sengketa itu terus saja berjalan, maka Tungganai dapat meminta jasa baik Datuk Kampung (Penghulu Andiko) guna mengatasi persoalan itu.
Tungganai bukan hanya memperhatikan kehidupan anggota kaum atau familinya, tetapi juga harus memperhatikan keadaan lingkungan : jalannya apakah ada yang rusak dan perlu diperbaiki; mungkin ada pagar rumah yang tak menentu lagi; sendi rumah mungkin ada yang telah terlepas dan sebagainya. Bila terdapat hal-hal yang mungkin mengganggu lingkungan, Tungganai dapat mengorganisasi kaumnya (kakak, adik, kemenakan, cucu dan sebagainya) untuk membenahi lingkungan tersebut.
Sekira Tungganai tersebut orang yang berada, tentu ia harus membantu juga dengan biaya yang diperlukan untuk perbaikan lingkungan itu. Bila tidak berada, bantuan tenaga atau bantuan moril yang harus dicurahkannya. Bantuan materiil dari seorang Tungganai tentu akan terbatas, tetapi bantuan moril bisa tak terbatas.
Begitu pula bila terlihat, atau terdengar olehnya hal-hal yang memalukan kaum, ia harus segera bertindak agar hal yang memalukan itu dapat disingkirkan. Bila hal yang memalukan itu terjadi karena tingkah laku seorang wanita, misalnya langkah serong, wanita tersebut tentu segera akan ditanyainya dan diberinya nasehat agar menghentikan perbuatan yang tidak baik tadi. Setelah dinasehati, tokh kemudian perbuatan yang memalukan itu diulanginya lagi, maka Tungganai akan memberi peringatan yang lebih keras kepada wanita itu.
Di masa lalu bila ada wanita yang membikin malu maka dalam perkembangannya Mamak kaum akan mengambil semua pakaiannya yang baik-baik, sehingga ia tidak dapat lagi bepergian dengan bersolek ke sana ke mari. Bila yang bersangkutan tetap meneruskan langkah yang buruk itu, maka rambut yang bersangkutan akan digunduli. Dengan demikian ia akan malu keluar rumah. Karena orang lain segera akan mengerti bahwa moral wanita yang gundul itu bejat atau rendah.
Sebaliknya jika yang memalukan itu kemenakan pria, maka jalan yang ditempuh di masa lalu pertama kali dengan nasehat. Bila telah dinasehati tingkah lakunya tidak berubah, Tungganai akan meminta jasa baik Penghulu Andiko untuk menasehatinya. Bila kemenakan pria itu tetap meneruskan sikapnya yang memalukan kaum, maka Tungganai bersama Penghulu Andiko akan mengusahakan agar kemenakannya itu meninggalkan kampung (ke rantau), kalau perlu diberi ongkos atau modal sekedarnya. Namanya dia disuruh merantau. Hakikatnya dia diusir. Jadi merantau, bukan hanya dengan tujuan untuk mencari nafkah, tetapi ada juga yang karena terpaksa. Kampung tak menyukainya lagi.
Selain daripada itu Tungganai juga berkewajiban membina kaumnya tentang budi pekerti, cara berfamili, berkorong-kampung, bertetangga, bersuku, bernagari. Juga dibina tentang tingkah laku dalam berpakaian, berbicara, berjalan dan sebagainya. Bagi yang telah mendekati dewasa akan ditunjuk diajari soal berumah tanggal dengan segala kaitannya, termasuk mengenai syarak dan lain-lain yang ditentukan Adat.
Sumber : Buku Silungkang dan Adat Istiadat
Description: Tungganai
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Tungganai