Published On:Senin, 19 Desember 2011
Posted by Unknown
Masjid Asasi: Masjid Paling Tua di Padang Panjang
Padang Panjang merupakan wilayah yang
mempunyai sejarah panjang, terutama dalam hal pengembangan pendidikan
dan dakwah Islam. Banyak pesantren dan masjid tua yang berdiri di Padang Panjang. Salah satu yang sempat saya singgahi adalah Masjid Asasi di
kelurahan Sigando Nagari Gunuang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Padang Panjang. Saya bisa mengunjungi masjid ini atas jasa kawan Ust. Syarif
Hidayat, dan juga Ust. M. Mahfuz, pimpinan pesantren Thowalib Gunung,
pesantren yang juga lahir dari Masjid Asasi. Jazaakumullah, khairan.
Masjid Asasi merupakan masjid yang tertua di Padang Panjang. Ada
beberapa versi mengenai tahun berdirinya Masjid ini. Menurut Ustadz
Muhammad Mahfuz, Pimpinan Pesantren Thowalib Gunung, setidaknya ada dua
versi mengenai sejarah berdirinya Masjid ini. Versi pertama, terdapat
pada catatan buku yang diterbitkan Adat Nagari, mengatkan bahwa Masjid
ini didirikan pada tahun 1770. Namun demikian, seorang peneliti Belanda
mendapatkan referensi, bahwa Masjid ini didirikan pada tahun 1685. Tentu
saja dua versi tahun berdirinya Masjid ini tidak perlu diperdebatkan.
Yang jelas, jikapun mengacu pada tahun pendirian yang paling muda,
Masjid ini telah berdiri lebih dari 300 tahun yang lalu. Saking tuanya
masjid ini, Pemerintah Kota Padang memasukkannya menjadi bangunan cagar
budaya yang harus dilindungi.
Dalam sejarahnya, masjid ini dibangun oleh 4 koto (suku, kelompok) masyarakat. Mereka bahu membahu membangun tempat peribadatan bagi umat Islam. Awalnya, masjid ini berbentuk Surau, dan dinamakan Surau Gadang. Pada perkembangannya, dilakukan perbaikan hingga menjadi masjid seperti sekarang.
Saya begitu takjub saat memasuki halaman masjid ini. Dinding luarnya dipenuhi dengan lukisan khas Minangkabau, yang membentang di seluruh dinding luar bangunan masjid. Bentuk Masjidnya mengikuti adat Minangkabau, mirip seperti rumah Gadang. Di sinilah sebenarnya percampuran budaya menjadi menarik. Kalau di Jawa, Masjid banyak yang berbentuk Joglo, maka di Sumatera Barat, banyak Masjid yang berbentuk seperti rumah Gadang.
Memasuki interior masjid, di tengah-tengah terdapat tiang penyangga yang
cukup besar dengan diameter kurang lebih 1,5 m, dan tinggi kurang lebih
15 meter. Menurut riwayat para tetua di sekitar masjid, tiang tersebut
merupakan tiang asli dan belum pernah diganti semenjak berdirinya. Tiang
besar penyangga masjid itu sekarang ini memang pada lapisan luar telah
diperbaiki dan dilapisi kayu. Tetapi kayu dan tiang yang ada di dalamnya
masih asli sejak saat masjid ini didirikan.
Masih menjadi misteri hingga sekarang, bagaimana caranya mendapatkan
kayu dengan diameter sebesar itu, dan dengan panjang yang cukup. Bisa
dibayangkan berapa besar pohon yang dibutuhkan. Belum lagi membayangkan
bagaimana masyarakat dari beberapa kelompok di sekitar masjid menebang
pohon tersebut, dan membawanya dari hutan ke Masjid tersebut. Sungguh
sebenarnya bisa menjadi penelitian yang menarik, tentang bagaimana
masyarakat menemukan, menebang, dan membawa kayu besar tersebut,
sekaligus mendirikannya sebagai tiang penyangga masjid.
Saya kebetulan sempat mengikuti sholat Jum’at di masjid tersebut. Desain mimbar tempat khatib berceramah juga dibuat sangat menarik. Tidak sekadar mimbar konvensional yang berbentuk kotak standar, tetapi dibuat dengan desain elegan, membuat khatib lebih tampak berwibawa. Sementara itu, angin semilir bertiup dari banyak jendela yang terdapat di dinding masjid yang hampir semuanya terbuat dari kayu ini.
Di bagian belakang masjid, terdapat gudang yang juga didesain dengan
bangunan adat Minang, berupa rumah joglo. Di gudang ini terdapat
berbagai peninggalan mushaf dari masa lalu yang menyertai sejarah masjid
ini sendiri.
Pada zaman dahulu, atap masjid terbuat dari ijuk. Karena semakin lama
semakin rusak, atap ijuk ini kemudian diganti dengan atap kayu yang
lebih modern. Dengan warna merah serasi, atap ini terasa cocok dengan
hiasan yang mengitari keseluruhan bangunan masjid.
Yang juga menarik adalah sumber air dari masjid ini. Berbeda dari
kebanyakan masjid yang harus mengandalkan sumber air dari air tanah yagn
disedot dengan pompa berkekuatan besar, Masjid Asasi dikaruniai mata
air yang terus menerus keluar dari tempat tidak jauh dari masjid
tersebut. Air yang keluar dari mata air ini kemudian dibuatkan kolam,
yang disebut sebagai “Sendang” jika mata air serupa terdapat di daerah
Jawa (Melihat mata air ini, saya teringat salah seorang kawan saya yang
senengnya mandi (kungkum) di banyak sendang terutama di sekitar Jogja
dan Jawa Tengah).
Pernah mata air ini ditawar oleh perusahaan air minum swasta untuk
dilakukan eksplorasi secara komersial, tetapi ditolak penduduk karena
merupakan sumber air tidak hanya bagi keperluan ibadah di masjid, tetapi
juga berbagai keperluan dari masyarakat sekitar. Ya, dari kolam
penampungan tersebut, dibuatlah pipa-pipa panjang yang dialirkan ke
rumah-rumah penduduk sekitar. Kebetulan juga, letak sendang ini di
daerah yang cukup tinggi, sehingga memudahkan masyarakat untuk
memanfaatkan sumber mata air tersebut.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Karena,
sejarah memberikan banyak pelajaran kepada kita dan generasi penerus.
Pelajaran berharga agar bisa meneruskan hal-hal baik, dan meninggalkan
hal-hal jelek.
Sama dengan kita, sejarah dan masa lalu adalah catatan yang mesti dijadikan pelajaran. Bukan berarti terpaku dengan masa lalu, tetapi belajar dari masa lalu adalah salah satu cara terbaik kita memperbaiki diri. Masa lalu adalah pengalaman yang sangat mahal, sehingga tidak boleh dilewatkan hanya menjadi bagian perjalanan hidup. Masa lalu, akan memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menyiapkan masa depan yang lebih baik. Memberikan kesadaran, bahwa jalan di depan kita masih terbuka lebar.
Salam Man Jadda Wajada,
AKBAR ZAINUDIN
MJW2: Buka Pintu-Pintu Keberhasilan Anda
sumber : http://wisata.kompasiana.com/
Dalam sejarahnya, masjid ini dibangun oleh 4 koto (suku, kelompok) masyarakat. Mereka bahu membahu membangun tempat peribadatan bagi umat Islam. Awalnya, masjid ini berbentuk Surau, dan dinamakan Surau Gadang. Pada perkembangannya, dilakukan perbaikan hingga menjadi masjid seperti sekarang.
Saya begitu takjub saat memasuki halaman masjid ini. Dinding luarnya dipenuhi dengan lukisan khas Minangkabau, yang membentang di seluruh dinding luar bangunan masjid. Bentuk Masjidnya mengikuti adat Minangkabau, mirip seperti rumah Gadang. Di sinilah sebenarnya percampuran budaya menjadi menarik. Kalau di Jawa, Masjid banyak yang berbentuk Joglo, maka di Sumatera Barat, banyak Masjid yang berbentuk seperti rumah Gadang.
Saya kebetulan sempat mengikuti sholat Jum’at di masjid tersebut. Desain mimbar tempat khatib berceramah juga dibuat sangat menarik. Tidak sekadar mimbar konvensional yang berbentuk kotak standar, tetapi dibuat dengan desain elegan, membuat khatib lebih tampak berwibawa. Sementara itu, angin semilir bertiup dari banyak jendela yang terdapat di dinding masjid yang hampir semuanya terbuat dari kayu ini.
Sama dengan kita, sejarah dan masa lalu adalah catatan yang mesti dijadikan pelajaran. Bukan berarti terpaku dengan masa lalu, tetapi belajar dari masa lalu adalah salah satu cara terbaik kita memperbaiki diri. Masa lalu adalah pengalaman yang sangat mahal, sehingga tidak boleh dilewatkan hanya menjadi bagian perjalanan hidup. Masa lalu, akan memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menyiapkan masa depan yang lebih baik. Memberikan kesadaran, bahwa jalan di depan kita masih terbuka lebar.
Salam Man Jadda Wajada,
AKBAR ZAINUDIN
MJW2: Buka Pintu-Pintu Keberhasilan Anda
sumber : http://wisata.kompasiana.com/
Description: Masjid Asasi: Masjid Paling Tua di Padang Panjang
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Masjid Asasi: Masjid Paling Tua di Padang Panjang