Published On:Sabtu, 21 Januari 2012
Posted by Unknown
Pembuatan Jalan Teluk Bayur - Bungus (Tidak bertanggal)
Foto
tak bertanggal diatas aslinya berjudul "Pembuatan Jalan Emmahaven -
Bungus". Sekarang mari bermain logika sederhana. Pelabuhan Emmahaven
atau Teluk Bayur dibuka tahun 1892. Jika foto ini menggunakan istilah
"Emmahaven" maka dapat diasumsikan bahwa foto ini diambil sesudah tahun
1892. Dari arahnya juga dapat dilihat bahwa foto ini diambil dari arah
Bungus, karena bukit terletak di sebelah kanan dan jurang (laut) berada
di sebelah kiri foto.
Melalui foto diatas kita dapat mengetahui bagaimana jalan yang kita lewati sekarang dibuat dulunya. Jika diamati, ada 4 kelompok manusia yang berperan dalam foto diatas. Kelompok pertama, berbaju hitam, bertopi lebar, bersepatu boot dan bersenjata. Mereka adalah kelompok serdadu. Dalam foto ini mereka berdiri di sisi kiri dan kanan jalan dalam jarak yang cukup rapat dan menghadap kamera.
Kelompok kedua, berbaju putih, bertopi dan berdiri. Kemungkinan mereka adalah para mandor. Mereka juga menghadap kamera.
Kelompok ketiga, berbaju agak gelap, bukan putih, bukan hitam, kemungkinan kuning khaki (karena foto ini tidak berwarna), bertopi bundar dan berdiri. Dari topi dan caranya berdiri menghadap kamera sambil mengangkang dan bertolak pinggang, jelas kelihatan merekalah kelas tertinggi dalam kelompok orang ini. Merekalah para "toean" alias bangsa Belanda. Kemungkinan mereka adalah para insinyur jalan. Dalam foto ini mereka berada di tengah-tengah foto.
Kelompok ke empat, berbaju kulit (alias tidak berbaju) dengan kulit mengkilat berwarna tembaga akibat terbakar matahari, berjongkok dan memakai tutup kepala dari lilitan kain (atau tidak sama sekali), merekalah bangsa kita, bangsa yang sedang terjajah pada saat itu. Dari tangan merekalah sebenarnya bukit-bukit dipotong untuk membuat jalan menjadi lebar, batu-batu cadas dipecah dengan tangan dan selanjutnya disusun satu demi satu menjadi lapisan jalan berbatu yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama onderlaag. Betapa berat kerja mereka. Jangan pernah berbicara upah, karena kehadiran serdadu di foto saja sudah dapat diartikan bahwa mereka bekerja tidak dalam kondisi yang wajar. Mungkin mereka adalah kuli murah atau malah tenaga rodi. Meskipun juga tidak dipungkiri bahwa pada saat itu karena tingkat keamanan yang rendah maka kehadiran serdadu selalu diperlukan dalam kegiatan apapun. Apalagi kegiatan menembus rimba seperti ini.
Selanjutnya untuk memadatkan barulah bekerja si stoomwals alias gilingan bermesin uap, sebagaimana ilustrasi di samping. Sayangnya ambo belum menemukan arsip foto si setrika bumi kecil yang sedang beroperasi di ranah minang jaman itu, sehingga ambo terpaksa menggunakan foto arsip lain untuk memberi sedikit gambaran. Oya, ambo pernah melihat stoomwals jenis ini sudah jadi monumen di sekitar daerah Lubuk Sikaping. Kalau ada kesempatan ke sana akan ambo upload disini fotonya. Mungkin orang-orang yang lewat disana juga tidak begitu memperhatikan monumen itu, sebagaimana juga ambo. Tetapi ternyata banyak jasanya. :)
(foto koleksi Tropen Museum - Amsterdam dan www.dordtinstoom.nl)
Update : Tambahan info dari bung Alconery bahwa lokasi pengambilan gambar itu berada di bawah kelok jariang, di tempat yang bernama Batu Ba-apik. Si bung kita ini juga menyertakan sebuah foto dari tahun 1920 dengan catatan : Harap perhatikan pertumbuhan pohon durian si sebelah kiri jalan. Jika diperhatikan, memang lokasi ini mirip. Dari pohon duriannya (yang sudah bertambah besar), bentuk tebing di sebelah kanan, susunan batu pembatas jurang di sebelah kiri jalan dan.....jalan yang terbuat dari batu-batu pecah yang disusun...! Selamat mengamati..!
Melalui foto diatas kita dapat mengetahui bagaimana jalan yang kita lewati sekarang dibuat dulunya. Jika diamati, ada 4 kelompok manusia yang berperan dalam foto diatas. Kelompok pertama, berbaju hitam, bertopi lebar, bersepatu boot dan bersenjata. Mereka adalah kelompok serdadu. Dalam foto ini mereka berdiri di sisi kiri dan kanan jalan dalam jarak yang cukup rapat dan menghadap kamera.
Kelompok kedua, berbaju putih, bertopi dan berdiri. Kemungkinan mereka adalah para mandor. Mereka juga menghadap kamera.
Kelompok ketiga, berbaju agak gelap, bukan putih, bukan hitam, kemungkinan kuning khaki (karena foto ini tidak berwarna), bertopi bundar dan berdiri. Dari topi dan caranya berdiri menghadap kamera sambil mengangkang dan bertolak pinggang, jelas kelihatan merekalah kelas tertinggi dalam kelompok orang ini. Merekalah para "toean" alias bangsa Belanda. Kemungkinan mereka adalah para insinyur jalan. Dalam foto ini mereka berada di tengah-tengah foto.
Kelompok ke empat, berbaju kulit (alias tidak berbaju) dengan kulit mengkilat berwarna tembaga akibat terbakar matahari, berjongkok dan memakai tutup kepala dari lilitan kain (atau tidak sama sekali), merekalah bangsa kita, bangsa yang sedang terjajah pada saat itu. Dari tangan merekalah sebenarnya bukit-bukit dipotong untuk membuat jalan menjadi lebar, batu-batu cadas dipecah dengan tangan dan selanjutnya disusun satu demi satu menjadi lapisan jalan berbatu yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama onderlaag. Betapa berat kerja mereka. Jangan pernah berbicara upah, karena kehadiran serdadu di foto saja sudah dapat diartikan bahwa mereka bekerja tidak dalam kondisi yang wajar. Mungkin mereka adalah kuli murah atau malah tenaga rodi. Meskipun juga tidak dipungkiri bahwa pada saat itu karena tingkat keamanan yang rendah maka kehadiran serdadu selalu diperlukan dalam kegiatan apapun. Apalagi kegiatan menembus rimba seperti ini.
Selanjutnya untuk memadatkan barulah bekerja si stoomwals alias gilingan bermesin uap, sebagaimana ilustrasi di samping. Sayangnya ambo belum menemukan arsip foto si setrika bumi kecil yang sedang beroperasi di ranah minang jaman itu, sehingga ambo terpaksa menggunakan foto arsip lain untuk memberi sedikit gambaran. Oya, ambo pernah melihat stoomwals jenis ini sudah jadi monumen di sekitar daerah Lubuk Sikaping. Kalau ada kesempatan ke sana akan ambo upload disini fotonya. Mungkin orang-orang yang lewat disana juga tidak begitu memperhatikan monumen itu, sebagaimana juga ambo. Tetapi ternyata banyak jasanya. :)
(foto koleksi Tropen Museum - Amsterdam dan www.dordtinstoom.nl)
Update : Tambahan info dari bung Alconery bahwa lokasi pengambilan gambar itu berada di bawah kelok jariang, di tempat yang bernama Batu Ba-apik. Si bung kita ini juga menyertakan sebuah foto dari tahun 1920 dengan catatan : Harap perhatikan pertumbuhan pohon durian si sebelah kiri jalan. Jika diperhatikan, memang lokasi ini mirip. Dari pohon duriannya (yang sudah bertambah besar), bentuk tebing di sebelah kanan, susunan batu pembatas jurang di sebelah kiri jalan dan.....jalan yang terbuat dari batu-batu pecah yang disusun...! Selamat mengamati..!
Description: Pembuatan Jalan Teluk Bayur - Bungus (Tidak bertanggal)
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Pembuatan Jalan Teluk Bayur - Bungus (Tidak bertanggal)