Headlines
Published On:Sabtu, 21 Januari 2012
Posted by Unknown

Legenda Minang Kabau

ASAL USUL MINANGKABAU


Rumah Gadang
Suatu siang di sebuah kawasan di Ranah Minang. Puluhan warga memadati arena pertandingan. Di tengah lapangan, dua ekor kerbau kekar saling berhadapan. Mereka akan diadu untuk ditetapkan sebagai sang juara. Itulah sepintas adu kerbau yang menjadi budaya turun-temurun masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat. Budaya warisan leluhur yang telah berlangsung ratusan tahun itu sampai kini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Minang.
Minangkabau. Suku besar di wilayah Sumatra Barat ini kaya akan warisan sejarah dan budaya. Minangkabau diambil dari kata minang yang berarti kemenangan dan kabau yang berarti kerbau. Dengan kata lain Minangkabau berarti “Kerbau yang Menang”. Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya Minangkabau yang diawali kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.
Suku Minangkabau memang mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan hewan ternak berkaki empat yang disebut kerbau. Itu antara lain terlihat pada berbagai identitas budaya Minang, seperti atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau. Begitu pula pada pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau).
Sudah beratus-ratus tahun lamanya kerbau menjadi salah satu hewan terfavorit di Provinsi Sumbar. Badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia. Salah satu pekerjaan kuno yang dikerjakan dengan bantuan tenaga kerbau adalah menggiling tebu. Dengan alat sederhana, sang kerbau diikat di sebilah bambu yang terhubung pada alat pemeras tebu tradisional. Selama delapan jam bekerja, sang kerbau terus-menerus berputar mengelilingi alat pemeras. Uniknya, agar sang kerbau tidak pusing kepala, mata hewan itu ditutup dengan dua buah batok kelapa yang dilapisi kain.
Air tebu hasil perasan sang kerbau itulah yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan gula merah tradisional. Masyarakat Minang percaya gula merah hasil kerja keras sang kerbau lebih gurih ketimbang dari alat modern.
Dari sisi sejarah, hewan kerbau bagi suku besar di Sumbar ini telah mengantarkan kejayaan mereka di masa silam. Konon, dahulu kala karena bantuan kerbau-lah masyarakat di Sumbar menang perang melawan suku Jawa. Akhirnya sampai sekarang mereka menamakan dirinya sebagai suku Minangkabau. “Jadi perang tak berakhir juga, jadi kami usulkan untuk adu saja kerbau. Oleh pihak penyerang dicarilah kerbau yang terbesar di daerahnya ditempatkan di tengah ladang. Orang sini hanya anak kerbau yang sedang menyusu. Karena kerbau yang sudah dua hari tak minum susu, dia lari mengejar susu ibunya. Jadi perut kerbau besar itu robek dan dia lari,” kisah Datuk Bandaro Panjang, pemuka adat.
Kisah sang kerbau ternyata tak hanya menjadi legenda semata. Hingga kini pasar ternak di Sumbar pun lebih banyak menjual kerbau ketimbang sapi. Sistem penjualan ternak orang Minang pun cukup unik. Berbeda dengan pasar sayur tradisional di pasar ternak ini tidak akan terdengar sepatah kata pun antara sang penjual dan pembeli. Transaksi yang berlaku hanya menggunakan tangan. Jari-jari tangan dipakai sebagai alat perhitungan harga jual ternak yang akan dibeli.
Badan padat, kaki kekar dan mata tajam. Itulah ciri khas Si Borgol, kerbau kesayangan Kati Sutan, petani Ranah Minang. Bagi Kati Sutan, memiliki kerbau seperti Borgol ibarat memiliki harta yang sangat berharga dan juga kehormatan. Borgol bukanlah sembarang kerbau. Ia seekor kerbau aduan yang sudah menang lima kali pertandingan. Karena kehebatan itulah, hewan tersebut kemudian mendapat gelar borgol yang berarti kuat mengunci lawan.
Tak hanya untuk hobi semata, kesenangan Kati Sutan mengikuti adu kerbau juga untuk meneruskan tradisi budaya Minangkabau. Ketangguhan Si Borgol yang sudah lima kali memenangkan pertandingan itu membuat Kati Sutan terkenal di kampungnya. Setelah berumur dua tahun, kerbau yang memiliki potensi sebagai aduan biasanya mulai dilatih oleh pemiliknya. Kali ini, Borgol pun akan dilatih untuk mempersiapkan kekuatan fisiknya menjelang pertandingan. Calon lawan tanding latihan harus sesuai berat tubuh Si Borgol. Sebab jika tidak imbang, latihan tarung itu akan percuma.
Latihan tarung kerbau paling lama dilakukan selama satu jam. Setelah yakin akan kekuatan Borgol, latihan tarung dihentikan. Kati Sutan sangat yakin kerbaunya akan menang kembali. Dalam adu kerbau tak hanya kekuatan kerbau yang menjadi andalan. Pemilik kerbau juga harus meminta jampi-jampi kepada dukun kerbau agar menang dalam pertandingan.
Seusai latihan tarung, Kati Sutan pun meminta seorang dukun kerbau untuk menjampi-jampi Si Borgol. Seperti pertandingan sebelumnya, Kati Sutan meminta bantuan Sutan Marajo, dukun adu kerbau yang terkenal di kampungnya. Sang dukun membawa sejumlah bahan-bahan alam untuk membuat jamu andalan bagi Si Borgol.
Bahan-bahan alam yang terdiri dari jahe, temulawak, lada dan daun-daunan alam lainnya mulai diracik. Di atas api besar, jamu-jamuan itu disangrai hingga gosong. Sementara keluarga Kati Sutan pun ikut membantu. Bahan lain untuk campuran jamu, seperti telur bebek, air jeruk nipis, minuman suplemen dan satu botol bir hitam turut disiapkan.
Setelah semua bahan siap, Sutan Marajo pun mulai membacakan mantera dan membakar kemenyan. Ia berdoa agar kerbau yang dijampinya dapat memenangkan pertandingan. Jampi-jampi pun dicampur ramuan. Setelah itu, ramuan kemudian ditempatkan di selembar daun yang keesokan harinya akan diberikan kepada Si Borgol. Keluarga Kati Sutan pun lantas mempersiapkan Borgol sang jagoan untuk diadu keesokan harinya.
Hari pertandingan pun tiba. Kati Sutan mulai bersiap-siap. Namun sebelum berangkat ke arena pertandingan masih ada sejumlah ritual yang harus dilakukan sang dukun, yakni meruncingkan tanduk milik Si Borgol. Tanduk merupakan salah satu bagian tubuh kerbau yang paling mudah untuk melukai lawan. Karenanya harus dibuat setajam mungkin. Dengan sebilah pisau Sutan Marajo menajamkan tanduk Si Borgol. Kini tanduk sang kerbau telah tajam laksana pedang.
Ritual pun dilanjutkan. Seperti layaknya manusia, Borgol harus mandi dahulu sebelum maju ke arena pertarungan. Sambil membalurkan air ke tubuh Borgol, Sutan Marajo merapalkan jampi-jampi ajiannya agar jagoan Kati Sutan ini kuat melawan musuh. Sesudah acara mandi selesai, sang dukun memberikan ramuan jampi-jampinya yang dibuat kemarin sore. Tanpa melawan Borgol pun kemudian memakan ramuan sang dukun dengan lahapnya. Tak lupa tubuh tegap Borgol pun dibaluri lumpur dan jelaga agar terlihat gagah. Kini seluruh persiapan telah usai dilaksanakan. Borgol sang jagoan sudah tak sabar bertemu lawan tandingan.
Siang itu di bawah sinar matahari, Borgol dilepas dari kandangnya. Bak seorang jagoan, dengan gagahnya Borgol berjalan keliling kampung menuju arena pertandingan. Letak arena pertandingan sekitar tujuh kilometer dari desa Kati Sutan. Namun ditemani sang dukun Sutan Marajo, Borgol tak gentar berjalan. Bahkan sesekali, kerbau kekar itu mulai berlari seakan tak sabar untuk bertemu sang penantang.
Akhirnya sampai juga Borgol di lokasi pertandingan. Rupanya sang lawan telah menunggu di pojok arena. Lawan tangguh Borgol tersebut berasal dari desa tetangga. Berbeda dengan Borgol yang sudah ikut lima kali pertandingan, lawannya justru baru kali ini maju ke arena adu kerbau.
Satu per satu penonton mulai berdatangan ke arena. Dengan tarif sebesar Rp 3.000, penonton dapat memilih tempat yang paling nyaman di sekeliling gelanggang. Awalnya adu kerbau dilakukan untuk mempertahankan tradisi suku Minangkabau. Sayang belakangan acara adu kerbau justru dimanfaatkan para penontonnya untuk bertaruh atau berjudi. Begitu pula dalam pertandingan Borgol. Dan Borgol-lah yang dijagokan. Hampir seluruh penonton bertaruh Borgol sang jagoan akan memenangkan pertandingan.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dua kerbau aduan dibawa ke tengah lapangan. Dan tanpa menunggu aba-aba lagi, kedua kerbau langsung saling mengejar. Tak disangka, Borgol yang dijagokan justru lari terbirit-birit menghindari lawan. Adu kerbau kali ini ternyata tak berjalan lama. Hanya dalam sekejap, Borgol menyerah kalah dan lari tunggang langgang ke luar arena. Para penonton pun pulang dengan penuh kekecewaan. Borgol sang jagoan ternyata tak mampu mempertahankan gelarnya. Rona kecewa juga terpancar di wajah Kati Sutan. Kekalahan Borgol seakan kehilangan kehormatan bagi keluarga Kati Sutan.(DEN/Lita Hariyani dan Binsar Rahadian)
Sumber :liputan6.com

ADAT ISTIADAT MINANGKABAU

Kata Adat berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti kebiasaan yang berlaku berulang-kali. Sederhananya, adat Minangkabau itu artinya Bapucuak sabana bulek, basandi sabana padek”, artinya orang Minang percaya kepada Allah SWT yang ajarannya tersurat dalam Al-Qur’anul Karim, dan tersirat kepada alam (Alam Takambang Jadi Guru).
Pengetahuan adat Minangkabau itu dihimpun di dalam “Undang nan Duo Puluh Cupak nan Duo” :
I. Adat Ampek, terdiri dari:
  1. Adat sabana adat
  2. Adat nan diadatkan
  3. Adat teradat
  4. adat istiadat
1. Adat sabana adat
kenyataan atau peraturan  yang berlaku dalam alam yang merupakan kodrat Illahi , yang didasarkan berdasarkan Agama Islam (syarak) misalnya “Adaik api mambaka, adaik aie mambasahi, adaik ayam bakokok, adaik murai bakicau, adaik lauik baombak.”Adat nan sabana adat ini juga merupakan adat yang tetap, kekal, tidak terpengaruh oleh tempat dan waktu atau keadaan. Sebab itu dikiaskan dengan “Indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan“.
Adat nan sabana adat” merupakan hal yang seharusnya, menurut “alue jo patuik”, menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa. Sebelumnya masuk Islam di Minangkabau , adat sabana adat dulunya merupakan aturan dalam masyarakat yang dicontoh dan dipelajari oleh nenek moyang kita Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt.Katumangguang dari kenyataan alam.
Tantang sakik lakek ubek
Tantang bana lakek alua
Tantang aia lapeh tubo
Tantang barrih makan pahek
Tantang ukua mangko dikarek
Dikapuak-kapuak lakek parmato
Bulek aia dek pambuluah
Bulek kato dek mufakat
Bulek jantuang dek kalupak
Bulek sagiliang, pipih salayang
Panakiak pisau sirauk
Ambiak galah batang lintabuang
Silodang ambiak ka niru
Nan satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru
2. Adat nan diadatkan
sesuatu yang didasarkan atas mufakat, dan mufakat ini harus pula didasarkan atas alur dan patut. Adat ini merupakan sesuatu yang dirancang dan dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang.
Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam “Undang-Undang Nan Duo Puluah” dan “Cupak Nan Duo”.
Kata undang berarti aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat dengan sanksi yang dikenakan oleh pimpinan masyarakat terhadap anggota yang melanggar.
“Cupak” artinya alat penakar. Maksudnya, norma yang dijadikan standar untuk mengukur atau menilai tindakan seseorang dalam bermasyarakat yang mana telah dimufakati bersama. Misalnya, pada upacara perkawinan haruslah mempelai wanita (anak daro) dan mempelai laki-laki memakai pakaian menurut yang dilazimkan pada saat acara perkawinan.
Berdasarkan yang dibuat oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan yang dicontoh dari adat nan sabananyo adat, dan dilukiskan peraturan itu dalam pepatah, yakni persoalan yang bersangkutan dengan peraturan hidup masyarakat dalam segala bidang, umpamanya :
a. Kedudukan seseorang sebagai pribadi
b. Kedudukan masyarakat
c. Eknomi
Dan juga mengatur bidang :
a. Susunan masyasrakat
b. Tujuan masyarakat
c. Cara mencapai tujuan masyarakat
Kedudukan sesorang sebagai pribadi :
Nan kuriak iyolah kundi
Nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi
Nen endah iyolah baso

Yang tujuannya untuk mencapai :
Nan tuo dihormati
Nan ketek dikasihi
Samo gadang baok bakawan
Anyuik bapinteh, hilang bacari
Salah dibatuakan
Tarapuang bakaik
Tabanam baslami.

Kedudukan masyarakat :
Nan barek samo dipikua
Nan ringan samo di jinjiang
Nan elok bahimbauan
Nan buruak bahambauan
Nan elok diawak katuju dek urang
Sahino samalu
Sasakik sasanang
Sakik disilau, mati bajanguak
Ekonomi :
Elok lenggang di nan data
Rancak rarak di hari paneh
Hilang rono dek pinyakik
Hilang bangso tak barameh
Dek ameh sagalo kameh
Dek padi sagalo jadi
Duduak marauik ranjau
Tagak maninjau jarah

Dan sebagai dasar adalah :
Sawah ladang, banda buatan
Batanam nan bapucuak
Mamaliharo nan banyawa
Ka sawah babungo ampiang
Ka rimbo babungo kayu
Ka sungai babungo pasia
Ka lauik babungo karang
Ka tambang babungo ameh
Nan lunak di tanami padi
Nan kareh di buek ladang
Artinya sebagai prinsip dasar dalam bidang ekonomi adalah pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dll.
Susunan masyarakat seperti kata pepatah :
Ingirih bakarek kuku
Panggang pisau sirauik
Panggarek batuang tuonyo
Batuang tuo ambiak ka lantai
Nagari ba kaampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang diagiah batuo
Rumah dibari batungganai

Dengan ketentuan :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka penghulu
Penghulu barajao ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Bana badiri sandirinyo
Nan manuruik alua jo patuik
Tujuan masyarakat :
Bumi sanang padi manjadi
Padi kuniang jaguang maupiah
Taranak bakambang biak
Anak buah sanang santoso
Bapak kayo mande batuah
Mamak disambah urang pulo.
Artinya untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat.
Cara mencapai tujuan masyarakat :
Nan barek samo dipikua
Nan ringan samo dijinjiang
Ka bukik samo mandaki
Ka lurah samo manurun
Tatungkuik samo makan tanah
Tatilantang samo makan ambun
Tarapuang samo anyuik
Tarandam samo basah.

Kato surang di bulati
Kato basamo dipaiyokan
Kalau mambilai samo laweh
Kok maukua samo panjang
Ketek kayu ketek bahan
Gadang kayu gadang bahan
Nan ado samo dimakan
Nan tidak samo dicari
Hati gajah samo di lapah
Hati tungau diagiah bacacah
3. Adat Teradat
kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan.
Adat seperti ini tergambar dalam pepatah adat:

Babeda padang babeda balalang
Babeda lubuak babeda pulo ikannyo
Cupak sapanjang batuang
Adaik salingka nagari

Bila dibandingkan antara adat nan teradat dengan adat nan di adatkan, terlihat perbedaannya dari segi keumuman yang berlaku. Adat nan di adatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup dalam satu lingkaran adat yang dalam hal ini ialah seluruh lingkungan Minangkabau. Umpamanya Adat Matriakat (suami tinggal di keluarga pihak isteri) yang berlaku dan diakui di seluruh Minangkabau. Walaupun kemudian mungkin mengalami perubahan, namun perubahan itu berlaku dan merata di seluruh negeri. Pelaksanaan adat matriakat dapat berbeda antara negeri yang satu dengan yang lain. Umpamanya, malam yang keberapa sesudah nikah suami diantarkan ke rumah isterinya, atau malam yang keberapa anak daro (mempelai wanita) harus datang dan bermalam di rumah orang tua suami (istilahnya manjalang mintuo), atau kamar deretan mana yang harus ditempati penganten baru dan lain tata cara yang menyangkut pelaksanaan adat matriakat tersebut.
Jadi, adat nan teradat bisa saja terdapat perbedaan-perbedaan dalam keadaan, umpamanya keadaan suatu negeri dengan negeri yang lain.
Adat nan teradat menurut fatwa adat Minangkabau:
Rasan aia ka aia
Rasan minyak ka minyak
Buayo gadang di lautan
Gadang garundang di kubangan
Nan babungkuih rasan daun
Nan bakabek rasan tali

Adat nan teradat ini disebut juga Limbago (lembaga) dan Limbago ini adalah cetakan. Limbago akan menghasilkan sesuatu menurut limbago itu sendiri, kalau limbago itu bundar, maka akan bundar pula hasil yang dicetak dan jika bersegi, maka akan bersegi pula hasilnya. Jadi hasil cetakan itu menurut sifat dan keadaan limbago tersebut.
peraturan yang dibuat secara bersama oleh para ninik mamak, pamangku adat dalam suatu nagari.
Peraturan tersebut berguna  untuk merealisasi peraturan-peraturan yang dibuat oelh nenek moyang dalam Adat Nan Diadatkan.
Di dalam aturan Adat Nan Diadatkan,  peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, politik, hukum dan lain-lainnya, dituangkan dalam bentuk pepatah-petitih, mamang bidal, pantun dan gurindam yang disusun  dalam bentuk kalimat kelimat pendek, tetapi mengandung arti kiasan yang menghendaki adanya peraturan pelaksana untuk menjalankannya dalam masyarakat.
Peraturan-peraturan Adat Teradat ini tidak sama pada tiap-tiap nagari. Karena peraturan-peraturan yang dibuat harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi setiap nagari di Minangkabau. Hal ini disebut dalam pepatah :
Lain lubuak lain ikannyo
Lain padang lain belalalngnyo
Lain nagari lain adatnyo
Baadat sapanjang jalan
Bacupak sapanjang batuang

4. Adat Istiadat
kebiasaan dalam suatu nagari atau  golongan yang berupa kesukaan dari sebgian masyarakat tersebut, seperti kesenian, olah raga, dan sebagainya, seni suara, seni lukis, dan bangunan-bangunan dan lain-lain, yang disebut dalam pepatah :

Nan baraso bamakan
Nan barupo baliyek
Nan babunyi badanga
II. Nagari Ampek

Nagari Ampek terdiri dari :
a. Taratak
b. Dusun
c. Koto
d. Nagari
a. Taratak :
Tempat mula-mula didiami nenek moyang kita untuk tempat beberapa orang anggota keluarga memulai “manatak”. Selanjutnya “taratak” itu dijadikan tempat berkehidupan secara bersama yang sifatnya jauh dari sederhana.
b. Dusun :
Pada mulanya taratak dengan taratak lain yang mempunyai hubungan baik satu dengan yang lain mulai menyusun kesatuan keluarga yang jumlahnya sangat terbatas sekali. Dalam hal ini telah dimulai membuat rumah secara sederhana sekali, begitupun sumber-sumber penghidupan telah  muali dilaksanakan secara tetap.
c. Koto :
Dusun-dusun  yang tadinya terpencar-pencar, kemudian dengan persetujuan bersama dilakukan pengelompokan yang dihubungkan dengan tali keturunan secara adat yang dimulai dengan pemufakatan yang bulat (sakato). Maka tempat yang telah diperoleh dengan cara  pemufakatan bersama ini disebutlah “koto”. Dalam hal ini masyarakatnya telah mulai berkembang maju, yaitu telah mulai bekerja membuat sawah ladang dan irigasi secara bersama-sama.
d. Nagari :
Beberapa koto, yang biasanya terdiri dari tiga kelompok koto, dijadikan satu. Yang pernah ditemui adalah Kepala Koto, Tengah Koto, Ikua koto. Ketiga koto ini disusun menjadi satu kesatuan hukum yang disebut “nagari” yang disebut dalam ketentuan adat :
Kok ketek balingka tanah
Jikok gadang balingkuang aua
Nagari bapaga undang
Kampuang bapaga buek
Kampuang baumpuak
Suku ba joroang

III. Kato-Kato Adat Ampek

a. Kato Mufakat
b. Kato Pusako
c. Kato Dahulu Batapati
d. Kato Kamudian Kato Bacari
a. Kato Mufakat
Kato surang dibulati
Kato basamo dipaiyokan
Duduak surang basampik-sampik
Duduak basamo balapang-lapang
Baiyo jo adiak
Batido-tido jo kakak
Dibulekkan kato jo mufakat
Bulek baru digolekkan
Picak baru dilayangkan
Saciok bak ayam
Sadanciang bak basi
Bulek indak basuduik
Picak indak basandiang
Tapauik balantak
Takuruang bakunci

b. Kato Pusako :
dalam ketentuan Adat :
Mamahek manuju barih
Tantang bana lubang ka tambuak
Malantiang manuju pangka
Tantang bana buah ka rareh
Manabang manuju pangka
Tantang bana ruweh ka rabah
Artinya meletakkan sesuatu hendaklah pada tempatnya, menurut mungkin dan patut adanya.
c. Kato Dahulu Batapati
sesuatu hasil mufakat yang telah disepakai bersama menjadi suatu keputusan, tetapi belum sempat untuk dilaksanakan karena sesuatu dan lain hal. Apabila telah tiba waktunya untuk dilaksanakan, maka pelaksanaan tersebut haruslah sesuai dengan Adat tentang Kato dahulu batapati :
Suri tagantuang batanuni
Luak taganang basauak
Kayu batakuak barabahkan
Janji babuek batapati
Titiak buliah ditampuang
Maleleh buliah dipalik
Satitiak buliah dilauikkan
Sakapa buliah digunuangkan

d. Kato Kamudian Kato Bacari
Setiap persoalan yang telah dimufakati pada mulanya, tetapi belum mencapai keputusan, kemudian datang suatu hal yang menghalangi maka permufakatan itu ditunda waktunya. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, timbul pemikiran baru yang lain yang lebih baik dari  pada yang sudah. Tanpa mengubah prinsip, maka dicari kata yang baru dalam hal ini. Maka yang demikian disebut “Kato kemudian kato bacari”.
IV.  Hukum Ampek
a. Hukum ilmu: sesuatu yang dihukum dengan ilmu
b. Hukum sumpah : sesuatu yang dihukum dengan bersumpah
c. Hukum kurenah : sesuatu yang dihukum dengan fi’il
d. hukum perdamaian : sesuatu yang dihukum secara berdamai
V. Undang Ampek
a. Undang-undang Luak
Luak ba-pangulu
Rantau barajo

b. Undang-undang Nagari
Basasok bajarami
Bapandam bapakuburan
Balabuah batapian
Barumah batanggo
Basawah baladang
Bakorong bakampuang
Babalai bamusajik

c. Undang-undang dalam nagari
Salah ditimbang hutang babaia
Salah ambiak mangumbali
Salah cotok malantiangkan
Salang mangumbali
Alek bapanggia mati bajirambok
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang
Nan elok bahimbauan
Nan buruak bahambauan
d. Undang-undang duo puluah :
Dua belas dari undang-undang ini disebut “tuduah nan bakatangguangan” Atinya sesuatu yang bisa menjadikan seseorang dituduh mengerjakan suatu kejahatan, yaitu :
1. Anggang lalu atah jatuah
2. Pulang pagi babasah-basah
3. Bajalan bagageh-gageh
4. Kacondongan mato urang banyak
5. Dibao ribuik, dibao angin
6. Dibao pikek, dibao langau
7. Tasidorong jajak manurun
8. Tatukiak jajak mandaki
9. Bajua bamurah-murah
10. Batimbang jawab ditanyoi
11. Lah bauriah bak sipasin
12. Lah bajajak bak babakiek
Kalau kiranya yang dua belas macam ini salah satu telah ditemui pada diri seseorang dalam satu kejadian yang sifatnya kesalahan, maka seseorang itu telah dapat dituduh.
Delapan macam dari undang-undang dua puluh tersebut disebut di dalam adat Minangkabau “cemooh nan bakaadaan”. Artinya bila seseorang yang dituduh melakukan kejahatan telah lengkap pembuktiannya, seperti :
13. Dago-dagi mambari malu
14. Sumbang salah laku parangai
15. Samun saka tagak di bateh
16. Umbuak umbi budi marangkak
17. Curi maliang taluang dindiang
18. Tikam-bunuah parang badarah
19. Sia baka sabatang suluah
20. Upeh racun batabuang sayak
VI. Cupak Duo
Cupak dalam adat adalah ukuran dan takaran untuk penakar makanan yang tidak boleh dilebihi dan dikurangi, apabila dipakai untuk jual beli.
Cupak ini terbagi dua macam :
a. Cupak usali (asli)
b. Cupak buatan
a. Cupak Usali
Nan disabuik cupak duo baleh taia, gantang nan kurang duo limo puluah, yakni peraturan adat dibuat oleh nenek moyang kita Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan. Gantang nan kurang duo limo puluah adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan Allah dan Rasul. Cupak duo baleh taia dan gantang kurang duo limo puluah ini di Minangkabau tidak dapat diubah.
Cupak usali adalah peraturan-peraturan yang telah kita teima turun-temurun tentang adat Minangkbau yang berhubungan dengan gelar pusako (soko), harta pusaka, undang-undang pergaulan di Minangkabau, tentang penyelesaian sengketa, soal sosial, keamanan, dan sebagainya, dan peraturan dalam adat  yang kita sebut adat basandi syarak,  syarak basandi Kitabullah, adat nan kawi, syarat nan lazim. Cupak usali itu yang sebenarnya adalah kata kiasan, maksudnya peraturan-peraturan yang asli tentang adat dan syarak, yang tidak dapat ditambah dan dikurangi.
Cupak papaek gantang piawai,  cupak duo baleh taia, gantang kurang duo limo puluah. Cupak duo baleh taia ini disebut juga cupak nan anam ka ateh, anam ka bawah, yakni enam hal yang bersangkutan dengan perdata, dan enam yang bersangkutan dengan pidana. Gantang kurang duo limo puluah, adalah 20 sifat yang wajib, 20 sifat yang mustahil pada Allah, dan 4 sifat yang wajib pada Rasul, 4 sifat yang mustahil pada Rasul, sehingga berjumlah 50 kurang dua, satu harus pada Allah, satu harus pada Rasul
b. Cupak buatan :
Persekutuan yang memberi lazat bagi sagalo hati manusia. Artinya peraturan-peraturan yang dibikin oleh cupak buatan ialah peraturan adat dalam satu nagari. Peraturan itu memberikan kelazatan dalam pergaulan masyarakat, sebab kalau sudah dapat dilaksanakan akan membawa hasil  yang baik dalam hubungan satu dengan yang lainnya.
Cupak Tiruan :
Ialah hawa nafsu yang  diharuskan bagi hati setengah manusia. Artinya adalah keinginan yang dipunyai oleh sebagian orang karena dalam keinginan yang dimaksud itu tidak semua orang menyukainya, adakalanya lantaran tidak ada kesanggupan untuk memiliki keinginan tersebut, dan adakalanya lantaran tidak adanya kesukaan terhadapnya.
Cupak nan piawai :
Adalah suatu pekerjaan di dalam masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sempurna dan pergaulan yang baik serta kebutuhan hidup yang diridhai oleh Allah SWT.
Cupak nan piawai ialah memenuhi kebutuhan hidup yang suatu penghidupan yang dapat mengahsilkan sesuatu untuk kebutuhan sehari-hari.
VII. Ukua Jangko Di dalam Adat Minangkabau
Menurut adat Minangkabau ada beberapa ketentuan yang menjadi ukuran dan hinggaan yang harus diamalkan oleh setiap orang, untuk mencapai tujuan secara baik di dalam kehidupan bergaul. Ketentuan tersebut dinamakan “ukua jangko” yang terdiri delapan macam.
a. Nak Luruih Rantangan Tali
Supayo jan manyimpang kiri jo kanan
Luruih manantang barih adat
Mangarek tantangan ukua
Artinya :
Selalulah di dalam kehidupan ini berlaku lurus dan benar, dan jangan menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat (adat, syarak, undang-undang).
b. Nak tinggi naiakkan budi
Mancari jalan kabanaran
Supayo jan kalangkahan
Tagak jan tasundak
Malenggang ndak tapampeh
Batutua jo lunak lambuik
Lunak bak santan jo tanguli
Suatu karajo nan lalu salasai sajo.

Artinya :
Selalulah bergaul dengan baik sesama manusia, yang tua dihormati, yang kecil dikasihi, sama besar bersaudara, dan berkatalah dengan lemah lembut, dan bergaullah dengan sopan hormat menghormati.
c. Nak haluih baso jo basi
Jan barundiang basikasek
Jan bakato basikasa
Jan bataratak bakato siang
Mahariak mahantam tanah
Jan babana ka pangka langan
Usah ba-utak ka ampu kaki.

Pandai maagak maagiahkan
Budi baiak baso katuju
Muluik manih kacindan murah.
Artinya :
Bergaullah penuh sifat ramah tamah, sopan dan santun, hormat menghormati sesamanya, yang senantiasa mencerminkan  tingkah laku yang berlandaskan budi luhur.
d. Nan elok lapangkan hati
Mancari jalan kabaikan
Nan dapek suluah nan tarang
Mampunyai saba jo ridha
Sarato hemat dan cermat
Artinya :
Selalulah di dalam bergaul mempunyai sifat lapang hati dan sabar, tenang dan beribawa, tetapi  tegas dan bijaksana, serta mempunyai sifat malu di dalam diri, dan hati-hati.
e. Nak taguah paham dikunci
Jan taruah bak katidiang
Jan baserak bak anjalai
Kok ado rundiang ba nan batin
Patuik baduo jan batigo
Nak jan lahia didanga urang
Artinya :
Yang terlalu lyoal, selalu menyimpan rahasia yang patut dirahasiakan. Bertindak dan berbuat penuh kebijaksanaan.
f. Nak Mulia tepati janji
Kato nan bana ka dipegang
Walau bak mano sangkuik pauik
Asa indak  mahambek bana
Namun janji batapati juo
Artinya :
Kalau ingin dimuliakan atau jadi orang yang mulia, selalulah menepati janji yang telah dijanjikan, klecuali mendadak datang halangan.
g. Nak labo bueklah rugi
Namuah bapokok babalanjo
Namuah bajariah bausaho
Marugi kito dahulu
Dek ujuik yakin manjalankan
Lamo lambek tacapai juo
Artinya :
Berusahalah selalu untuk kebutuhan hidup sehingga mencapai keuntungan yang wajar. Dan setiap keuntungan yang ingin hendak dicapai senantiasa menghendaki pengorbanan.
h. Nak kayo kuat mancari
Namuah bajariah bausaho
Namuah bapokok babalanjo
Asa lai angok-angok ikan
Asa lai jiwo-jiwo patuang
Nan tidak dicari juo.
Artinya :
Setiap kesenangan dan kekayaan serta kebahagiaan biasanya dapat dicapai oleh seseorang, terlebih dahulu dengan membanting tulang dan memeras keringat.
Kalau sekiranya ukua jangko yang delapan macam tersebut dapat dilaksanakan oleh seseorang dalam hidup ini secara perorangan maupun secara bermasyarakat, maka bertemulah menurut kaedah adat :
Kok mamahek lah dalam barih
Kok batanam di dalam paga
Tetapi kalau sekiranya tidak dilaksanakan, juga adat mengatakan :
Bakato bak balalai gajah
Bicaro bak katiak ula
Babicaro kapalang aka
Bapikia saba tak ado
Bailimu kapalang paham
Rumah tampak jalan tak tantu
Angan lalu paham tatumbuak
Aka panjang itikad salah
Ukua sampai jangko alah sudah
Hari tibo hukuman jatuah
Di akhirat sajo mangkonyo tahu
Tuhan sandiri manantukan
Jalan dialiah dek rang lalu
Cupak dirubah rang manggaleh.


NILAI-NILAI DASAR ADAT MINANGKABAU

Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi , eksplisit atau implisit yang menjadi milik khusus seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat dan tujuan sebuah tindakan.Nilai nilai dasar yang universal adalah masalah hidup yang menentukan orientasi nilai budaya suatu masyarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam, dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.
1. Pandangan Terhadap Hidup
Tujuan hidup bagi orang Minangkabau adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako”. Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka pribahasa yang dikemukakan adalah :
Gajah mati maninggakan gadieng
Harimau mati maninggakan baling
Manusia mati maninggakan namo
Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan dan masyarakatnya. Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat mencari materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak kemenakan sesuai dengan norma-norma adat yang berlaku. Ungkapan adat juga mengatakan “Pulai batingkek naiek maninggakan rueh jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako”.
Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau
Nilai hidup yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.
2. Pandangan Terhadap Kerja
Sejalan dengan makna hidup bagi orang Minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “Hilang rano dek panyakik, hilang bangso indak barameh”(hilang warna karena penyakit, hilsng bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.
Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat itu seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sbb:
Kayu hutan bukan andaleh                                Kayu hutan bukan andalas
Elok dibuek ka lamari                                       Elok dibuat untuk lemari
Tahan hujan barani bapaneh                              Tahan hujan berani berpanas
Baitu urang mancari rasaki                                Begitu orang mencari rezeki
Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang Minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi ulet.
Etos kerja keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Minangkabau ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang mengatakan orang harus bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia harus beramal terus seakan-akan dia akan mati besok.
3. Pandangan Terhadap Waktu
Bagi orang Minangkabau waktu berharga merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagaimana dikatakan “Duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarah”.
Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh ka nan sudah. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha untuk memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarak merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang. Membangkit batang terandam merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat berfatwa “bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalun hujan”.
4. Hakekat Pandangan Terhadap Alam
Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, pepatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas daripada alam.
Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru.
Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat adalah yang tidak lapuak karena hujan dan tak lekang karena panas biasanya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.
5. Pandangan Terhadap Sesama
Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini menyatakan mereka dengan ungkapan “Duduak samo randah, tagak samo tinggi”.
Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil mufakat merupakan otoritas yang tertinggi.
Kekuasaan yang tertinggi menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran itu harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sehat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggi manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa Islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan Islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.
Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda saling dibutuhkan dan saling membutuhkan sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan adat “Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuek pambaok baban, nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang. Hanya fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihargai karena semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi”. Kedatangan agama Islam konsep pandangan terhadap sesama dipertegas lagi.
Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilinial yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakatan nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.

PERAN BUNDO KANDUANG DILEMAHKAN dalam SISTEM ADAT MINANGKABAU

KEDUDUKAN sosial perempuan Minangkabau telah banyak dikaji dan menarik perhatian berbagai kalangan. Penelitian terbaru dilakukan Lusi Herlina dan kawan-kawan dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padang tahun 2003, dan laporan penelitian tersebut diterbitkan dalam buku Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Masyarakat Matrilineal (Penerbit LP2M dan The Asia Foundation, November 2003, xviii + 107 halaman).
PENELITIAN dilakukan berdasarkan asumsi bahwa etnis Minangkabau tidak hanya menganut sistem kekerabatan matrilineal, tetapi juga matriarkat yang berarti kekuasaan berada pada perempuan. Posisi perempuan Minangkabau dinilai “superior”, lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan dari suku lainnya di Indonesia. Karena itu, isu-isu kesetaraan dan keadilan jender dianggap tidak relevan dibicarakan di Minangkabau. Tidak ada subordinasi perempuan di Sumatera Barat (Sumbar), yang terjadi adalah subordinasi laki-laki.
Ada kalangan yang bersikap kritis terhadap pendapat di atas. Menurut Hayati Nizar, pengamat masalah perempuan di Padang, masyarakat Minangkabau cenderung terbuai dengan “posisi imajinasi” yang menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dengan segala atribut yang disandangkan kepada mereka.
Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau meskipun menganut sistem matrilineal, sistem kekuasaannya tidak matriarkal. Kekuasaan formal, baik secara tradisional maupun modern, tetap dipegang oleh laki-laki.
Dilukiskan, mamak menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saparuik (satu perut, satu ibu). Datuak menjadi pemimpin dalam wilayah kaumnya (satu nenek). Penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang) dalam sebuah wilayah genealogis. Wali nagari pemegang kekuasaan formal di nagari.
Menurut Lusi Herlina, hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Namun, hampir di semua wilayah Sumbar terdapat kasus di mana mamak (saudara laki- laki dari pihak ibu) mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan.
“Hak kepemilikan pusaka yang secara sah berada di bawah kekuasaan perempuan sering kali tidak berlaku efektif. Kekuasaan dan intervensi mamak sangat kuat dalam pengambilan keputusan terhadap harta pusaka tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak memiliki kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah dan harta pusaka tinggi lainnya,” tandasnya.
BUNDO Kanduang adalah institusi perempuan yang sangat penting dalam budaya Minangkabau. Bundo Kanduang merupakan tokoh yang berasal dari dunia mitos. Selain Bundo Kanduang, Minangkabau juga menyimpan nama-nama yang sesungguhnya berasal dari mitos, yakni Mande Rubiah.
Bundo Kanduang digambarkan sebagai perempuan yang bijaksana. Masih diceritakan dalam Tambo, Bundo Kanduang ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang sangat menentukan jalannya roda pemerintahan. Sebagai perempuan, ia tidak hanya penyejuk dalam pertemuan, bukan juga bunga-bunga penghias taman, ataupun pelengkap saja. Akan tetapi, Bundo Kanduang memiliki tempat sejajar dengan elite lainnya dalam pemerintahan Kerajaan Pagaruyuang sehingga pikirannya menentukan kebijakan yang diambil kerajaan.
Sejarawan Taufik Abdullah, sebagaimana dikutip Lusi Herlina, punya pandangan yang cenderung bertolak belakang tentang posisi Bundo Kanduang. Taufik menyatakan bahwa memang Bundo Kanduang sebagai sumber kebijakan, namun ia tidak memiliki peranan dalam pengambilan keputusan karena ia bukanlah orang yang memegang jabatan resmi dalam hierarki kekuasaan dalam sistem politik Minangkabau. Pada gilirannya, ia tetap saja sebagai simbol percaturan politik karena tidak memiliki kekuasaan.
Meski tidak memiliki kekuasaan secara formal, Bundo Kanduang tetap saja menjadi komponen yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Lusi menjelaskan, dalam perkembangan sejarah Minangkabau selanjutnya, Bundo Kanduang kemudian dipahami sebagai tokoh perempuan dalam suku/kaum yang menjadi pemimpin dalam Rumah Gadang. Dia adalah perempuan yang disegani, dihormati, dan dimuliakan karena karismanya, kecerdasannya, dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal dalam Rumah Gadang.
“Karena karisma dan kekuasaan Bundo Kanduang inilah, kemudian Pemerintah Belanda menjadikan Bundo Kanduang sebagai institusi yang dipakai sebagai alat penundukan perempuan. Intervensi pemerintah kolonial ini tidak sepenuhnya berhasil. Dalam perkembangannya, Bundo Kanduang ketika itu tetap mandiri dan otonom yang secara efektif mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan nagari,” katanya.
Namun, kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa secara efektif mematikan proses-proses politik perempuan.
Seiring dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Sumbar tahun 1982 mengeluarkan peraturan daerah tentang pembentukan Kerapatan Adat Nagari (KAN), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan institusi Bundo Kanduang.
Pelembagaan institusi Bundo Kanduang oleh pemerintah menjadikan institusi ini kehilangan esensi keberadaannya sebagai lembaga independen, yang selama ini mampu bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan nagari. Institusi ini kemudian dikooptasi dan menjadi alat legitimasi politik pemerintahan Orde Baru. Proses kooptasi pemerintah ini benar-benar efektif, terbukti peran institusi Bundo Kanduang sekarang direduksi hanya menjadi hiasan dalam upacara-upacara adat dan negara. Bahkan, dalam beberapa peristiwa/upacara adat, peran perempuan lebih marjinal.
Dari penelitian dan analisis Lusi Herlina dkk, Bundo Kanduang tidak dapat lagi berfungsi sebagai perlindungan dan pemberdayaan bagi jutaan kaum perempuan dan anak-anak anggota suku Minangkabau.
Ini disebabkan adanya pengecilan peran politik para Bundo Kanduang dalam sistem pengambilan keputusan masyarakat adat selama ini. Oleh karena itu, tugas Bundo Kanduang makin lama dalam sistem pengambilan keputusan semakin melemah dan lama-kelamaan akan kehilangan kekuatan politiknya dan berubah menjadi hiasan belaka dalam sistem adat Minangkabau.
“Dengan dilemahkannya peran Bundo Kanduang, menyebabkan institusi ini tidak lagi menjadi agen yang dapat diandalkan bagi perlindungan hak-hak kaum perempuan, terutama bagi perlindungan bagi kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya kaum ibu dan anak-anak Minangkabau,” paparnya.
MELIHAT kenyataan itu, Dr Mansour Fakih dalam kata pengantarnya menyatakan keprihatinan dan kecemasannya. Sebab, menurut dia, tanpa penguatan Bundo Kanduang, adat bisa menjadi majelis yang justru mengerikan kaum perempuan karena adat dapat justru menjadi arena pengukuhan atau pelanggengan diskriminasi dan legitimasi terhadap siksaan psikologis maupun kultural dalam bentuk penciptaan ketergantungan bagi kaum perempuan (ibu).
Dari penelitian Lusi tersebut, ada pelajaran lebih besar yang harus kita petik. Ternyata kita sebagai bangsa belum berani mengakui hak-hak kaum perempuan kita sebagai hak asasi manusia. Kita belum berani mengakui bahwa kaum perempuan adalah manusia sepenuhnya.
Berbagai dalih dan argumen sudah sering kita dengar untuk melanggengkan perendahan kaum perempuan. Pelemahan terhadap peran Bundo Kanduang memaksa kita merenungkan kembali adat, yang dulu diciptakan dengan semangat perlindungan, pemberdayaan, dan penghormatan terhadap kaum perempuan.
Menurut peneliti Lusi Herlina, bagi sebagian kalangan tokoh masyarakat Minangkabau, kenyataan ini relatif berat sehingga tidak jarang muncul sikap resistensi. Padahal, menerima realitas budaya ini sebagaimana adanya lebih berguna bagi masa depan daripada bersikap defensif yang hanya akan menipu diri sendiri.
“Menolak kenyataan ini hanya akan memperburuk keadaan perempuan Minangkabau dan semakin menjauhkan sikap dan langkah-langkah bersama untuk melakukan transformasi budaya Minangkabau mencapai relasi jender yang lebih adil,” tukasnya.
Yang perlu disadari bahwa semua temuan penelitian ini adalah fenomena masa kini, realitas sosial budaya Minangkabau sekarang yang telah mengalami distorsi akibat interaksi dan intervensi dari berbagai macam kekuatan.
Apakah mungkin konstruksi awal budaya Minangkabau dahulu memang seperti realitas yang kita temukan hari ini?
Menurut Mansour Fakih dalam pengantar buku, ketika adat diciptakan, pada hakikatnya ia merupakan suatu hasil daya pikir dan budaya masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan dan pemajuan harkat manusia. Di bawah atap adat Minangkabau, seharusnya proses dehumanisasi warga Minangkabau terpenuhi. Terutama kaum perempuan dan anak-anak Minangkabau, adat merupakan tempat berlindung atau benteng yang sesuai bagi mereka untuk tumbuh dan surga untuk merealisasikan kebebasan dan hak-hak asasi mereka.
Agenda perubahan ke depan adalah bagaimana mentransformasikan budaya Minangkabau menjadi sistem yang lebih demokratis dan berkeadilan jender.
Usaha untuk mentransformasikan relasi jender membutuhkan pembongkaran keyakinan jender masyarakat yang telah mengakar secara kultural dan struktural, dan oleh karena itu dibutuhkan strategi transformasi relasi jender melalui usaha politik, sosial, dan budaya.

Sumber  :    http://tapanulitransport.files.wordpress.com/

Klik Bintang Untuk Voting Anda
Rating: 4.5
Description: Legenda Minang Kabau
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Legenda Minang Kabau


About the Author

Posted by Unknown on Sabtu, Januari 21, 2012. Filed under , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

By Unknown on Sabtu, Januari 21, 2012. Filed under , , , , . Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response

Latest Posts :

Hotel

Kuliner

Wisata

Artikel Lainnya » » More on this category » Artikel Lainnya » »

Musik

Tari

Ukiran

Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » »

Top Post

Coment

Adat

Artikel Lainnya»

Budaya

Artikel Lainnya »

Sejarah

Artikel Lainnya »

Tradisi

Artikel Lainnya »

Di Likee "Yaaa.." Kalau Postingan Di sini Sangat Bermanfaat Dan Membantu bagi Anda ..

VISITORNEW POST
PageRank Checker pingoat_13.gif pagerank searchengine optimization Search Engine Genie Promotion Widget ip free counter