Published On:Minggu, 20 Maret 2011
Posted by Unknown
Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
PENGANTAR
SATU DUA PERKARA yang perlu saya sebutkan di sini sebagai kata pengantar.
Pertama sekali saya dengan ini terpaksa menyerukan “AWAS” terhadap beberapa orang yang menyamar sebagai Tan Malaka. Seorang di antara penyamar itu sudah saya jumpai di Surabaya. Menurut keterangan teman seperjuangan di sana si Penyamar ini mempunyai beribu-ribu pengikut. Menurut pengakuan si Penyamar sendiri, dia sudah lama bekerja buat Pemerintah Belanda almarhum. Berhubung dengan itu dia sudah banyak mempunyai hubungan dengan orang yang mempunyai kedudukan tinggi di bawah Belanda di antara Pangreh Praja dll. Apalagi dengan mereka dari kalangan pergerakan di berbagai tempat yang tertipu mentah- mentah.
Tak perlu disebutkan lagi bahwa Tan Malaka palsu banyak menimbulkan kekalutan di kalangan pergerakan revolusioner umumnya dan pergerakan komunis khususnya. Tiadalah susah menghubungkan aksi Tan Malaka Palsu ini dengan provokasi yang lazim dilakukan terhadap pengikut PARI di zaman Belanda terutama sejak tahun 1935-1936. Provokasi itu amat bermaharajalela dan banyak mengirimkan orang PARI ke Digul. Ini malam orang PARI didatangi oleh seorang provokator, besoknya orang itu diDigulkan. Selain daripada itu Tan Malaka Palsu “made in Batavia” (Vrijmetslaarweg) itu berhasil pula melekatkan sangkaan yang tidak- tidak terhadap Tan Malaka yang sebenarnya, berhubung dengan keributan pada tahun 1926 dan pergerakan rakyat di belakangnya.
Semua sangkaan itu satupun tak bisa dikupas dengan tiada mengupas yang berhubungan dengan aksi dan organisasi komunis di mana-mana negara. Persangkaan itu tiada akan saya kupas! Muka saya cukup tebal buat melunturkan persangkaan palsu. Hati saya sebagai revolusioner tak bisa digoncangkan oleh tuduhan palsu. Sejarah hampir belum pernah mungkir mengakui kebenaran!
Dalam hal Tan Malaka Palsu yang sudah dijumpai ini bolehlah dikata saya beruntung juga. Sekiranya Penyamar ini berjalan terus, maka akan teruslah ia membohongi para pemimpin. Di antaranya yang sudah kena dibohongi banyak pula yang terkemuka. Tak mengherankan, karena mereka masih “bayi” ketika saya meninggalkan Indonesia bulan Maret tahun 1922. Untunglah beberapa pemimpin muda bisa saya jumpai di Surabaya dan lain-lain tempat dan dengan mudah saya buktikan kesilapan mereka. Alangkah kalutnya pergerakan Indonesia seandainya saya tak menyaksikan peristiwa ini. Sudahlah tentu susah akan menyaring sejarah saya yang sebenarnya, apalagi kalau lebih mendalam.
Sebetulnya sudah amat dalam. Sudah lebih dari cukup buat melemparkan saya ke neraka para pengkhianat. Pembaca tentu tak heran kalau saya terkejut mendengarkan banyak orang bercerita pada saya bahwa Pemimpin Besar ini atau itu ketika Jepang masuk menerima “perintah” dari saya buat “bekerja bersama dengan Jepang”. Siapa yang sangsi akan adanya pemberi perintah itu, yakni saya Tan Malaka, dibawa ke Sukabumi, atau Madiun atau Cirebon atau ke lain tempat buat dijumpakan dengan Tan Malaka Palsu.
Jepang piawai dalam politik “double crossing” (menipu kedua pihak) sebagai warisan dari Belanda. Tan Malaka Palsu dipakai oleh Belanda buat memikat dan melenyapkan Tan Malaka tulen. Jepang menjalankan politik semacam itu pula. Dengan lenyapnya pemerintah serdadu Jepang, rupanya pekerjaan pemalsuan politik itu diteruskan pula oleh para murid Jepang, ialah buat mencari pengaruh dan pangkat.
Siapakah yang rugi, siapakah yang beruntung sampai sekarang, Tan Malaka atau musuhnya?
Siapakah yang akan rugi dan akan beruntung di hari depan?
Kenapakah Tan Malaka yang dipakai buat merusak partainya Tan Malaka?
Tetapi tuan-tuan yang arifin tentu juga bisa menjawabnya.
Saudara yang masih memihak kepada kebenaran saya persilahkan membaca brosur saya Naar de Republik Indonesia tahun 1924 dan Semangat Muda serta Massa Aksi in Indonesia. Semangat Muda ditulis di Manila dan dicetak di Manila, sebelum keributan permulaan tahun 1926. Massa Aksi ditulis dan dicetak di Singapura sebelum keributan tahun 1926 pula. Maksud buku itu ialah buat menjelaskan cara partai komunis mengadakan organisasi, menyaring pengikutnya, dan menjalankan aksi yang cocok dengan paham massa-aksi, yang bertentangan dengan cara aksi militer sematamata. Saya yang bertanggung jawab atas pergerakan komunis di Indonesia dan bagian lain di Asia di masa itu merasa wajib menjaga supaya Partai Komunis jangan tergelincir disebabkan provokasi, supaya Partai Komunis Indonesia khususnya terus berjalan di atas rel massa-aksi.
Tulen palsunya seorang pemimpin tiadalah bisa diukur dengan tuduhan orang lain terhadap dirinya semata-mata. Palsu tulennya itu bisa juga diukur dengan perkataan dirinya itu sendiri dahulu dan sekarang. Palsu tulennya itu juga bisa diukur dengan seberapa cocoknya perkataan si Pemimpin dengan perbuatannya sendiri. Kalau di sini didapat perbedaan atau pertentangan, maka barulah tuduhan itu mendapatkan bukti yang sah.
Saya tak akan naik perahu bermingu-minggu lamanya diombang- ambingkan gelombang menuju ke Sumatera dan Jawa, satu dua bulan sesudah Jepang masuk, kalau saya takut memimpin pergerakan revolusioner yang sebenarnya. Tak perlu saya sembunyi bekerja sebagai buruh di Bayah Kozan sampai Jepang lenyap, kalau saya percaya pada lain kemungkinan selain “Massa Aksi” di Indonesia. Saya percaya bahwa saya sekurangnya mesti dapat memasuki Gedung seperti Chuo Sangi In dan mendapat gedung besar di bawah perlindungan Hinomaru, kalau saya mau “sehidup semati” dengan serdadu kempetai Jepang, yakni tak percaya akan timbulnya "Aksi Rakyat" yang sebenarnya. Aksi Murba yang meluap mendidih inilah yang saya tunggu-tunggu.
Massa-Aksilah yang saya kehendaki lebih kurang 18 tahun yang lalu. Massa-Aksi pulalah yang saya kehendaki sekarang! Ujian buat perkataan saya itu kalau mau diuji dengan paham, bolehlah dibandingkan dengan isi lima atau enam buku yang terpaksa saya keluarkan di masa ini. Terpaksa, karena Massa-Aksi itu saya rasa belum cukup juga dimengerti, pun sekarang! Memang sekarang sudah ada Aksi Massa, ialah aksinya massa (murba), tetapi belum lagi Massa-Aksi. Kalau perbuatanlah yang mesti dijadikan batu ujian itu pula, maka saya harap sejarah akan memberi penerangan cukup, kalau kelak sejarah itu sudah sampai waktunya bersuara!
Tegasnya, bandingkanlah dasar, suara, dan semangat tulisan saya kini dengan dasar, suara, dan semangat tulisan saya 24 tahun yang lalu.
Sedikit panjang saya menulis buat membatalkan bermacammacam sangkaan yang berhubung dengan haluan dan aksi saya di luar negeri, sebenarnya terpencil dari teman dan jauh dari negeri bertahun-tahun. Keadaan sekarang membutuhkan kejelasan, seberapa bisa sudah saya berikan. Kalau ada lagi di antara teman seperjuangan yang ingin tahu, kenapa belum juga saya memajukan diri, maka sekali lagi saya ulang apa yang saya sebut dalam brosur Politik: Cukup sebab maka Tan Malaka memilih tempat, tempat, dan teman buat menyaksikan dirinya sendiri ke depan mata rakyat Indonesia.
Puluhan tahun lebih dahulu saya majukan “garis” yang saya anggap harus ditempuh oleh Rakyat Indonesia dalam perjuangan sekarang dengan semua brosur ini. Apabila “garis” ini disetujui dan yang menyetujui ikhlas takluk kepada susunan dan disiplin organisasi itu, maka kalau masih “diperlukan” pimpinan dari saya sendiri, tentulah saya akan tampil ke muka dengan tiada menghitung-hitung korban yang perlu diberikan. Tetapi tiada akan kekurangan kepuasan hati saya kalau seandainya “garis” itu disetujui oleh mereka yang lebih muda dan sendiri mau melaksanakan “garis” itu dengan jujur, ikhlas, dan tetap tabah.
Tiga paham yang sekarang berjuang bahu-membahu: paham keislaman, kebangsaan, dan sosialistis. Semuanya pada tingkat merebut KEMERDEKAAN NASIONAL ini berhak buat diakui. Marilah kita berharap supaya ketiga paham itu bisa mengadakan persatuan yang teguh-tetap.
Tetapi tak bisa disingkirkan kemungkinan bahwa kelak sesudah Kemerdekaan Nasional tercapai, boleh jadi ketiga paham itu, yang dalam garis besarnya mewakili kelas tani, borjuis-tangan, dan proletar, bercekcokan satu sama lainnya. Berhubung dengan itu maka perlulah dicari “persamaan” sebagai semen yang mempersatukan batu tembok. Persamaan itu didapat pada persamaan keperluan. Persamaan keperluan itu saya kira didapat dalam satu Rencana Ekonomi yang Sosialistis.
Inilah maksud brosur ini, yakni membentangkan paham saya tentang Rencana Ekonomi yang sekarang bisa dan perlu dijalankan oleh semua golongan yang ada di Indonesia. Juga dibentangkan rencana ekonomi yang bisa dan perlu dijalankan sesudah kemerdekaan 100% tercapai. Tiadalah perlu dilupakan kritik atas Kapitalisme, atas Rencana Ekonomi Fasis dan Demokratis.
Mudah-mudahan brosur ini bisa menambah pengetahuan warga negara Republik Indonesia tentang ekonomi.
Surabaya, 28 November 1945
****
Pendakwa modern kita, DENMAS, MR. APAL, TOKE, PACUL, dan GODAM sekarang duduk di beranda sebuah rumah, sedang besarnya, dilindungi oleh pohon jeruk yang rindang. Suasana tenang meliputi lima-seperjuangan ini.
Pabrik raksasa yang berdiri di seberang jalan yang tadi siang menderu-deru sekarang berhenti diam, sepert seekor gajah beristirahat sesudah melakukan pekerjaannya. Tak ada pekerja yang lalu lintas, menarik dan mengangkat barang di sekitar pabrik itu.
Di keliling pabrik terbentang sawah luas ditabur warna hijau dan kuning oleh pokok padi yang muda dan sudah masak. Di sana-sini tampak kampung yang diselimuti pohon buahbuahan. Terbelintang sepanjang cakrawala barisan gunung kehijau- hijauan, di antaranya ada yang diselimuti oleh awan putih seolah-olah kemalu-maluan. Sang bulan mengintip dari celah daun kelapa yang berdiri tegak di suatu desa.
Suasana yang aman tenang ini terganggu oleh suara salah seorang di antara lima-seperjuangan tadi.
I. Kritik atas Kritik
A. KAPITALISME MERAMPOK
SI PACUL : Kapan juga, Dam, kau mau membentangkan Rencana Ekonomi yang sudah kau janjikan itu?
SI TOKE : Politik perjuangan, seperti kita perundingkan tempo hari, rasanya sudah meresap betul dalam pikiranku. Tetapi rasanya belum cukup kalau kita belum mempunyai RENCANA EKONOMI. Karena tindakan ekonomilah kelak yang akan menentukan kemakmuran rakyat dan keamanan republik kita.
SI GODAM : Dari penjuru manapun juga kupandang, uraianku akan terlampau panjang. Jadi akan melewati maksudnya satu brosur. Menggampangkan mempopulerkan satu ilmu seperti Ekonomi rasanya di luar kesanggupanku. Kalau terlampau pendek tak akan cukup dimengerti atau salah dimengerti. Kalau terlampau panjang akan membosankan dan susah membulatkannya. Bukankah kita mau memberi sekadar pada Murba yang ingin tahu?
MR. APAL : Tak perlu engkau membentangkan menurut sejarah Ilmu Ekonomi. Bentangkan sajalah perkara yang terpenting dalam ilmu ekonomi dan garis besar dalam Rencana Ekonomi buat Indonesia.
DENMAS : Rencana Ekonomi yang sempurna saya pikir cuma bisa dijalankan dalam suasana aman-sentosa bagi Rakyat Indonesia. Seperti sudah pernah kau bilang, dalam suasana Merdeka 100%. Cukuplah sudah kalau kau bentangkan Rencana dalam keadaan sekarang dan bayangkan saja Rencana yang sempurna tadi.
SI PACUL : Pendeknya bentangkan saja RENCANA EKONOMI BERJUANG.
SI GODAM : Walaupun Rencana Ekonomi Berjuang yang terutama akan kubentangkan, tetapi tak boleh lupa memberi contoh tentang kapitalisme dan sedikit kritik tentang kapitalisme itu. Bukankah sistem kapitalisme yang menindas kita selama ini dan yang mendorong kita berjuang?
SI TOKE : Memang contoh yang tepat itu lekas dimengerti dan dipahamkan. Betul pula keburukan kapitalisme itu mesti dikupas habis-habis.
SI GODAM : Kuambil contoh tambang arang di Bayah Banten Selatan, di masa Jepang dan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Di sini kita berjumpa kapitalisme yang benarbenar berdasarkan perampokan telanjang bulat. Marilah kita sebutkan lebih dahulu semua syarat produksi. Terutama ialah:
l. bumi dan iklimnya; ada atau tidaknya sungai danau atau laut buat lalu lintas,
2. pabrik, bengkel, kereta, kapal, gedung dll,
3. tenaga yang tukang atau tidak, kuat dan lemah, lakilaki dan perempuan.
SI TOKE : Jadi dalam garis besarnya: l) alam, 2) tenaga, 3) perkakas atau mesin.
SI GODAM : Benar, marilah kita periksa bagaimana berjalannya produksi itu sesudah tiga syarat itu ada. Si penghasil sesudah mengadakan hasil pertama menghitung harga hasil yang didapatnya, yakni hasil bulat. Kemudian dia hitung ongkos yang keluar. Harga hasil bulat dikurangi ongkos itulah untungnya. Seperti seorang berdagang, dia juga hitung kelebihan jualan dari pokok.
SI TOKE : Cobalah kita hitung dahulu harga hasil sehari.
SI GODAM : Sehari bisa dihasilkan pukul rata sedikitnya (menurut taksiran kasar) 100 ton arang. Harganya ditaksir murah sekali, ialah f 100,- satu ton (Nilai rupiah di masa itu lebih kurang cuma 1/10 harga rupiah sebelum Jepang). Jadi harga 100 ton arang itu ialah 100 x f 100,- = f 10.000,-
SI TOKE : Ongkos keluar berapa?
Sewa tanah = f 0.00,- (Tanah-logam di Bayah umumnya tanah gedoran).
Kelunturan mesin = f 0.00,- (Semua mesin ialah mesin gedoran).
Bahan dipakai = f 0.00,- (Bahan di Bayah sebenamya tak ada. Kain mempunyai bahan berupa benang. Tetapi arang tak ada bahannya).
Gaji = f 0.000,-
Romusha 10.000 x f 0,40 = f 4.000,-
JUMLAH ONGKOS = f 4.000,-
Jadi untung bersih saban hari f 10.000 - f 4.000 = f 6.000,- Dipandang begitu untung Jepang satu hari adalah 1,5x dari pokok. Kalau dihitung menurut aturan biasa, yaitu untung satu tahun, maka untung kongsi Jepang di Bayah itu 365 x 150% = 54.750%. Ini bukan lagi untung, melainkan curian! Kongsi Jepang, BAJAH KOZAN SUMITOMO KABUSHIKI KAISHA itu bukan perusahaan lagi, melainkan perampokan.
SI GODAM : Tunggu dulu, Kek! Aku cuma memberi gambaran saja. Perhitunganmu masih belum beres. Gaji yang f 4.000,- sehari tadi ialah kertas koran yang digedor oleh Tentara Tenno Heika di KOLF, Jakarta. Jadi harganya uang Jepang itu ialah harga kertas itu saja. Belum f 40,- lagi kalau diukur dengan mas umpamanya. Cuma harga mencapkan saja yang mesti dihitung. Yang dinamai dekking (penutup kertas) itu, seperti bank biasa memang tak ada. Tetapi ongkos pencapnya pun dibayar dengan kertas pula. Beras yang dijualkan kepada romusha itupun beras gedoran.
SI TOKE : Kalau semuanya itu digedor, bagaimana menghitungnya? Tenaga sendiripun tenaga gedoran.
SI GODAM : Ringkasnya yang 100 ton arang itu diperoleh dengan makian “bagero” saja. Tanah digedor, mesin digedor, dan tenaga romusha pun digedor.
SI PACUL : Benar katamu, kapitalisme yang dijalankan oleh Tentara Jepang dalam 3 tahun di Indonesia ialah Kapitalisme MERAMPOK melulu! Perhitungan untung 54.750% itu masih rendah sekali! Tak ada ukuran yang sebenarnya boleh dipakai, kalau semua syarat menghasilkan itu barang rampasan. Kalau pokok f 0.00 dan jumlahnya sehari f 10.000,-, dalam ilmu hitung persenannya boleh dikatakan tak berhingga. Boleh 1.000.000% atau lebih karena jualan mesti dibandingkan dengan pokok Jepang yang f 0.00 dan tenaganya si kapitalis Jepang yang keluar cuma tenaga menyemburkan "bagero" saja.
SI TOKE : Sering juga dia bertenaga banyak!
SI PACUL : Kapan umpamanya?
SI TOKE : Umpamanya kalau dia sudah main tampar, atau asyik menyiksa seperti kucing menyiksa tikus. Si Kempetai sibuk mencari api pembakar mangsanya atau membanting dan menendang mangsanya sepuas-puasnya .
MR. APAL : Betul sekali anak Dewa Turunan Ameterasu Omikami itu di sini merusak dan memusnahkan tenaga Indonesia. Jepang itu mau lekas kaya dengan tiada mempedulikan sumber kekayaan di Indonesia. Kita ingat pada cerita di sekolah rendah, cerita ayam bertelur emas. Si empunya ayam yang tak mempunyai kesabaran dan bodoh itu potong ayamnya supaya sekali lalu dia dapat semua emasnya. Tentulah akhirnya dia tak mendapatkan apa-apa.
DENMAS : Dalam ekonomi yang betul-betul dijalankan buat kemakmuran Rakyat Murba, sudahlah tentu “tenaga” itu mesti dipelihara baik-baik. Sebisa mungkin ditambah nilainya dengan menambah kodrat dan sifat-baiknya. Dipelihara makan minumnya si pekerja, dipelihara rumah dan kesehatannya serta digembleng otak dan tenaganya. Dengan begitu tenaga itu naik banyak (quantiteit) dan sifatnya. Inilah yang memakmurkan Negara.
SI TOKE : Tentulah sumber hasil yang lain-lain mestinya dipelihara pula. Bagaimana si Jepang membikin kurus sawah dan merusak mesin kereta dan auto tak perlu pula kita bicarakan di sini. Umur mesin yang sepatutnya sisa 10 tahun di tangan si Jepang tak sampai 5 tahun.
SI PACUL : Semua mesin “bagus” yang bisa berumur panjang habis diangkut Jepang ke negerinya. Benarlah, dia menjalankan EKONOMI MERAMPOK.
B. KRITIK MARX
1. Timbulnya "Nilai-Lebih"
SI TOKE : Saya juga sudah pernah baca, bahwa “untung” itu ialah “pencurian”.
MR. APAL : Kalau saya tak salah lebih cari satu abad lampau Weitling, pujangga Jerman sudah menyatakan bahwa “untung” itu ialah bagian hasil yang dicuri si kapitalis dari buruhnya.
DENMAS : Saya pun punya teman seorang jurnalis Tionghoa yang bilang bahwa pujangga Tionghoa Guru Kung, muridnya Guru Ming, katakan bahwa “untung” itu memang “pencurian”.
MR. APAL : Yang mengupas kapitalisme dan “untung” itu sebagai pencurian ialah seorang pujangga, ahli filsafat Jerman bernama Karl Marx. Orang bilang Marx mempelajari Ekonomi itu dalam tempo lebih kurang 20 tahun, di negara yang semasa hidupnya paling terkemuka dalam perindustrian, yakni Inggris. Marxlah yang mengupas kapitalisme itu secara ilmu selama ia hidup sebagai pelarian politik di Inggris itu.
SI TOKE : Kami persilahkan Mr. Apal memberi penerangan tentang kupasan Karl Marx itu secara populer.
MR. APAL : Secara populer, terus terang kubilang aku kurang sanggup. Biarlah Godam saja menerangkan.
SI PACUL : Memang Godamlah yang sehari-harinya bergaul dengan Pekerja Murba dan guru kursus buat mereka. Lebih pada tempatnyalah kalau Godam yang memberikan kupasan itu.
SI GODAM : Tetapi saudara sekalian di sini bukan pekerja murba!
SI TOKE : Benar, tetapi kami juga sanggup, dan di masa pekerja murba masih serba kekurangan tenaga seperti sekarang, kami wajib memberi penerangan pula pada pekerja murba. Isi yang patut diterangkan dan caranya menerangkan, tentulah kau lebih paham, Dam!
SI GODAM : Karl Marx ialah bapak dari satu teori, satu paham yang masyhur di dunia ekonomi dengan nama “Nilai-Lebih”. Dalam bahasa Jermannya ialah Mehrwert; Inggrisnya Surplus-Value. Maafkan saja kalau saya terjemahkan dengan “Nilai-Lebih”, Marx mengupas timbul, ada, dan tumbangnya “Nilai-Lebih” tadi dalam tiga buku tebal yang masyhur di dunia bernama Das Kapital. Benar tidak semuanya Marx yang menulisnya, karena dia meninggal dunia sebelum Das Kapital itu rampung. Teman sepembangunnyalah, bernama Frederich Engels yang meneruskan pekerjaan raksasa itu. Tentulah Engels meneruskannya dalam semangat teman sepembangunnya itu pula.
SI PACUL : Jadi kepada dua Bapak Proletar inilah sebenarnya dunia-proletar seharusnya berterima kasih. Marilah kita mengheningkan cipta buat arwah dua Maha Guru itu!
SI TOKE : Engkau masih ketinggalan semangatnya Pemuda Tenno pemuja arwah di Cureido Jakarta dan Kuil Ise di Tok dan Kuil Yasukuni Jinja tempat arwah serdadu Tenno Heika bersemayam, bersuka-ria!
SI GODAM : Memang Marx Engels tak meminta, malah tak mengizinkan kita sesama manusia memuja mereka. Mereka lebih berbesar hati kalau teori mereka diterjemahkan dengan sebaiknya, ialah menurut tempat dan menurut tempo. Mereka menghendaki supaya teori mereka menjadi pahamnya Pekerja Murba di seluruh dunia !
SI PACUL : Sesungguhnyalah rasa menghormati dan cinta itu ada pada saya. Saya pikir juga ada pada kebanyakan orang. Tetapi kalau tak baik caranya menghormat seperti yang saya majukan di atas bagaimana; kita menunjukkan rasa hormat, penghargaan dan cinta kita kepada pemimpin proletar yang mempergunakan semua tempo, tenaga, dan jiwanya buat kelas proletar itu, puluhan tahun lamanya?
SI GODAM : Ada jalan, Cul! Pertama sesudah kelak teori Marx diuji dan dipahamkan, laksanakanlah paham itu serajin-rajinnya dan sejujur-jujurnya terutama di antara kelasmu sendiri, kelas proletar tanah. Kedua, buat menerangkan “Nilai- Lebih” tadi akan kuambil contoh yang diberikan oleh Marx sendiri dalam bukunya Das Kapital tadi. Contoh itu masih bisa dimengerti dan dipakai. Dengan begitu kita panggil kembali Karl Marx di depan pikiran kita!
SI PACUL : Ya, benar, itulah cara yang sebaik-baiknya buat menghormati guru itu. Mulailah, Dam! Terangkan dari mana asalnya “Nilai-Lebih” yang oleh Weitling dan Guru Kung tadi dinamai pencurian.
MR. APAL : Sekarang juga sering dinamai “tenaga yang tidak dibayar”. Inggrisnya, unpaid labour.
SI GODAM : Sekarang marilah kita masuki satu pabrik pemintal benang. Di depan si pemintal ada mesin. Di kanannya ada kapas sebagai bahan. Di kirinya ada benang sebagai hasil tenaganya dan kekuatan mesin. Kita timbang benang hasilnya tadi, adalah 10 kg, ialah hasil sehari bekerja umpamanya 6 jam.
SI TOKE : Berapakah harga 10 kg benang itu?
SI GODAM : Marilah kita hitung dengan harga yang diberikan oleh Marx. Sekarang, karena harga uang Indonesia tak keruan turun naiknya ini, harga di masa Marx baik terus kita pakai saja. Tetapi uang Inggris kita tukar dengan uang yang kita kenal saja, dengan tak begitu mempedulikan harga tukarannya itu. Maksud kita cuma buat memberi contoh supaya paham, “bagaimana timbulnya Nilai-Lebih” tadi bisa kita mengerti.
SI TOKE : Silahkan!
SI GODAM : Harga 10 kg kapas sebagai bahan benang tadi ialah 10 x 25 sen 250 sen
Harga kelunturan mesin dalam 6 jam kerjanya 50 sen
Harga tenaga kerja dalam 6 jam kerja itu (upah sehari) 75 sen
JUMLAH 375 sen
Jadi pokok 1 kg benang = 37½ sen
SI TOKE : Kalau dia jual umpamanya 75 sen 1 kg benang, jadi untungnya 100%.
SI GODAM : Tunggu dulu, Kek! Jangan terlalu cepat. Kita mesti anggap kaum kapitalis seluruhnya. Bukan kapitalis benang ini saja. Kita mesti menganggap kapitalis kain yang membeli benang umpamanya, seperti kaumnya kapitalis benang tadi juga, bahkan seperti dirinya sendiri. Dia sendiri biasa jadi kapitalis kain yang memakai benang sebagai bahan. Kalau dia ambil untung lebih dari dirinya sendiri itu, pada satu pihak, maka ini berarti ia merugikan dirinya sendiri pada lain pihak. Ini mesti dimengerti, Kek!
SI TOKE : Aku belum mengerti, Dam!
SI GODAM : Umpamanya si Kapitalis Benang kita tadi mempunyai dua kas. Kas yang kesatu berisi 37½ sen saja. Kas kedua 75 sen. Jumlah uangnya 112½ sen. Sekarang kas kesatu bukan berisi uang 37½ sen lagi, melainkan diisi dengan benang senilai 37½ sen. Yang 37½ sen tadi menjelma menjadi benang 1 kg. Jumlah nilainya kedua kas tadi bukanlah tetap 112½ sen? Seandainya benang 1 kg dari kas kesatu tadi dia tukarkan dengan kas kedua ialah 75 sen tadi. Jadi sekarang benang senilai 37½ sen bertukar tempat. Benang itu sekarang berada di kas kedua yang dahulu berisi uang 75 sen. Dan uang 75 sen sekarang pindah ke kas kesatu. Jumlah nilainya benang dan uang bukanlah tetap 112½ sen?
SI TOKE : Memang jumlah nilainya tetap 112 sen. Cuma tempatnya benang 1 kg dan uang 75 sen yang bertukar.
SI GODAM : Andaikan sekarang kas kedua berisi 75 sen bukan kepunyaan satu orang. Dia kepunyaan kapitalis lain, tetapi kapitalis juga. Jadi jumlah nilai pada dua orang kapitalis itu bukanlah tetap 112½ sen juga? Jadi kalau nilai 37½ sen itu dilipat dua bukankah ini berarti dia merugikan diri sendiri atau kelasnya sendiri? Di sinilah terselipnya peraturan (kesolideran) para kapitalis sebagai kelas. Merugikan seorang kapitalis lain berarti merugikan dirinya sendiri sebagai seseorang dari kelas kapitalis pula.
SI TOKE : Terlampau panjang aku mengambil tempo. Tetapi hal ini mesti terang betul buat kami. Sekarang barulah terang betul buat saya, bahwa dengan jalan menukar kapas memakai tenaga dan mesin begitu saja tak menimbulkan “untung”. Jadi dari mana mestinya timbul untung itu?
SI GODAM : Sekarang begini Kek! Si Buruh yang karena tak berpabrik, bermesin, atau berpacul itu, pendeknya Si Proletar, Si Tak Berpunya itu bukankah terpaksa menyerahkan, mempersekotkan, tenaganya kepada si kapitalis yang punya mesin?
SI TOKE : Benar, karena dia tak punya perkakas lagi seperti di zaman lampau. Dia sudah di-“merdeka”-kan oleh Pemberontakan Borjuis dari perkakasnya. Yang ada padanya sekarang hanyalah “tenaganya” saja yang dia peroleh dari Alam dari ibu-bapaknya.
SI GODAM : Benar, dengan harga 75 sen inilah yang dinamai upah Kek! Sekarang dia akan dibeli buat kerja sehari ialah 24 jam. Tadi kita andaikan dia bekerja cuma 6 jam saja sehari. 18 jam dia bebas! Sekarang si kapitalis merasa keberatan melihat dia bebas selama itu. Si kapitalis kerjakan si buruh, yang sudah mempersekotkan tenaganya, mengkontrakkan tenaganya itu, bukan 6 jam, melainkan umpamanya 12 jam! Apakah hasilnya?
SI TOKE : Ingin juga aku mau tahu, hasil 12 jam kerja itu dengan bayaran 75 sen sehari, karena dia dibayar buat satu hari.
SI GODAM : Perhatikan sulapan kapitalis, Kek! Tenaga itu sekarang bukan seperti mesin lagi melainkan menjelma menjadi barang yang bisa menyulapkan hasil yang dikehendaki si kapitalis.
SI PACUL : Sekarang engkau Dam, yang berlaku seperti tukang sulap yang membikin kami bingung! Cobalah beri perhitungan bagaimana si kapitalis menimbulkan Nilai-Lebih tadi!
SI GODAM : Bukankah tadi kita andaikan si pemintal benang bekerja 12 jam?
SI TOKE : Benar!
SI GODAM : Dalam 6 jam tadi dia pintal 10 kg artinya itu kapas dia sulap menjadi benang! Inilah keajaiban pertama dari tenaga manusia. Dia bisa tukar bentuknya barang. Bentuk kapas bertukar menjadi benang. Dalam 12 jam berapa kilogramkah benang yang bisa dipintal?
SI TOKE : Tentulah 2 x 10 kg = 20 kg.
SI GODAM : Berapakah harganya 20 kg benang, penjelmaan 20 kg kapas tadi?
SI TOKE : Sekarang aku sendiri bisa hitung, 20 kg harganya 2 x 375 sen tadi, ialah 750 sen.
SI GODAM : Tetapi berapa “pokok” si Kapitalis?
SI PACUL : Aku saja, Dam! Aku sudah mengerti. Harga 20 kg kapas 20 x 25 sen 500 sen
Harga kelunturan mesin 2 x 50 sen 100 sen
Harga tenaga tetap 15 sen
JUMLAH 675 sen
Jadi “untung” 750 sen - 675 sen = 75 sen. Dan “untung” ini terang didapatnya dari tenaga. Inilah yang tiada dibayar, inilah yang secara ilmu oleh Marx dinamai “Nilai-Lebih”.
SI GODAM : Inilah sulapan kedua yakni sulapan yang menimbulkan Nilai-Lebih dengan jalan memakai tenaga buruh, lebih dari harga tenaga yang dipersekotkannya oleh Buruh. Dari “tenaga”-lah timbulnya Nilai-Lebih itu. Hitung sajalah persen untungnya, kalau 12 jam kerja itu diperpanjang sampai 15 jam, sampai 16 jam, seperti sungguh terjadi di Inggris semasa Marx!
SI TOKE : Bagaimana mesin? Bukankah mesin mengambil bagian pula dalam Nilai-Lebih tadi. Apakah artinya kelunturan mesin yang masuk perhitungan di atas?
SI GODAM : Mesin itu asalnya bermula dari “tenaga” juga bukan? Tenaga yang menukar besi jadi baja dan baja menjadi mesin. pikiran cerdas, pikiran si penemu (inventor), yang mesti dianggap sebagai tenaga istimewa, seperti kata Marx tenaga berlipat, sudah masuk pula ke dalam mesin tadi. Bagaimana juga mesin itu bukannya barang gaib.
SI TOKE : Kelunturan mesin itu apa pula?
SI GODAM : Seandainya mesin itu bisa dipakai 10 tahun. Pokoknya mesin itu umpamanya f 1.000,00. Jadi umurnya sang mesin itu ialah 10 tahun. Jadi tiap-tiap tahun dipakai umurnya berkurang satu tahun, dan harganya berkurang f 1000,00 : 10 = f 100,00. Yang f 100,00 itulah yang saya namakan kelunturan. Yang f 100,00 itulah yang dihitung oleh kapitalis sebagai ongkos. Di sini hal itu kupopulerkan saja. Biarpun mesin itu bisa hidup terus 10 tahun, tetapi kalau sesudah 5 tahun umpamanya didapati mesin yang lebih kuat, maka mesin yang tadi biasanya dilemparkan saja. Tak dipakai 5 tahun lagi! Tetapi hal ini di sini agak sedikit menyimpang. Yang penting buat diketahui ialah: si kapitalis yang mempunyai mesin dan uang pergi ke pasar tenaga. Di sini dia berjumpakan tenaga yang tak bisa dipakai oleh si empunya, karena tak ada kapital. Tenaga itu amat murah, karena persaingan satu penjual dengan yang lain. Karena yang empunya tenaga mesti makan, membayar sewa rumah buat diri dan keluarganya, tenaga murah itu dibeli murah. Ajaibnya tenaga itu bisa menukar bentuk barang dari kapas ke benang dan dari benang ke kain. Tenaga itu boleh dipakai lebih lama dari nilai upahnya, seandainya upahnya bisa dibayar dengan 6 jam pekerjaannya. Tetapi karena dia berkontrak buat sehari, maka dia bisa dipekerjakan lebih dari 6 jam itu. KERJA LEBIH itulah yang menimbulkan Nilai-Lebih, ialah tenaga yang tak dibayar.
SI PACUL : Kalau begitu masyarakat kita ini berdasarkan kedustaan belaka. Kata si kapitalis, dialah yang memberi kehidupan pada si buruh. Sebenarnya bukankah si buruh yang senantiasa menambah kekayaan si kapitalis? Bukankah pula si buruh yang mempersekoti si kapitalis? Bukan sebaliknya si kapitalis yang mempersekoti si buruh!!
SI GODAM : Memang begitu Cul! Si buruh baru menerima upahnya sesudah membanting tulang dan mengeluarkan peluh keringat sekurangnya seminggu. Baru biasanya dia menerima upah. Jadi tenaganyalah yang keluar dahulu. Di belakang baru mendapat upahnya.
SI TOKE : Kalau begitu makin lama si buruh dipekerjakan makin besar pula “Nilai-Lebih” si kapitalis. Bukankah tak lebih untung buat si kapitalis, kalau dipekerjakan 24 jam sehari.
SI GODAM : Ada batasnya Kek! Nantilah kuterangkan.
2. Mempertinggi “Nilai-Lebih”
SI GODAM : Engkau Kek, tadi sudah bilang, bahwa makin lama si buruh bekerja makin besar untung si kapitalis. Umpamanya upahnya sehari bisa ditebusnya dengan kerja 6 jam hari itu, maka seandainya ia kerja terus sampai 10 jam, maka 4 jam tempo lebih itu ialah buat si kapitalis. Empat jam tempo lebih itu menimbulkan 4 jam “Nilai-Lebih” pula. Kau sangka bahwa si kapitalis akan lebih beruntung kalau buruhnya bisa dipekerjakan 24 jam sehari.
SI TOKE : Logisnya memang begitu, bukan?
SI GODAM : Si Jepang juga pernah menjalankan begitu, atau serupa itu. Dengan mataku sendiri kusaksikan ribuan romusha dikerjakan di hujan dan panas berhari-hari buat membikin lapangan kapal terbang. Di Inggris di abad yang lampau, di zaman Revolusi Industri, hal itu memang hampir umum terjadi. Tetapi lambat- laun, karena akibat kelamaan kerja itu amat menyedihkan dan terutama disebabkan perlawanan kaum buruh sendiri, maka cara mempertinggi “Nilai-Lebih” dengan jalan memperpanjang lamanya kerja semau-maunya kapitalis itu tiada bisa dilakukan. Bukankah manusia perlu tidur selama 7 atau 8 jam sehari? Bukankah si buruh perlu mengaso, makan, membersihkan diri dan melayani anak istri, walaupun dalam sedikit tempo saja? Bukankah si buruh perlu menambah kebudayaannya buat menambah hasil pekerjaannya pula?
SI PACUL : Lagipula hasil kerja 8 jam sehari belum tentu kurang dari hasil 12 jam sehari. Boleh jadi pada permulaan satu atau dua hari bekerja, hasil 8 jam bekerja kurang dari bekerja 12 jam sehari. Tetapi kalau sudah berhari-hari dilakukan, maka semangat bekerja dan tenaganya sendiri pasti akan berkurang. Jadi akhirnya hasil pekerjaannya kurang dari si pekerja 8 jam sehari. Si pekerja 8 jam, kesehatannya, kalau terjaga, tentu lebih kuat dan lebih bersemangat.
SI GODAM : Tuntutan kaum buruh dunia yang sudah diorganisir, tuntutan 8 jam kerja sehari, memang cocok dengan ilmu dan kemanusiaan. Jadi lama kerja itu memang ada batasnya. Pertama sebab tenaga manusia memang terbatas. Kedua sebab organisasi proletar di mana-mana memaksa majikan mengurangi lama kerja.
SI PACUL : Si kapitalis itu bukankah selalu mencari akal buat memperbesar untungnya?
SI GODAM : Memangnya begitu, jalan yang lain buat si kapitalis ialah menambah kuatnya bekerja (lebih intensif). Seandainya ia mesti memukul 100 x 1 jam, maka sekarang dia disuruh memukul 200 x dalam 1 jam. Seandainya dia mesti berjalan 6 km satu jam, sekarang dia disuruh berjalan 8 km dalam satu jam. Ada pula jalan lain!
SI PACUL : Jalan apa pula, Dam?
SI GODAM : Seandainya ukuran hidupnya yang cocok dengan hidupnya dalam kesosialan adalah hasil pukul rata 8 jam bekerja, maka dia sekarang diupah dengan 6 jam kerja saja, Tetapi marilah kita andaikan muslihat ini tak dijalankan oleh si kapitalis. Ada lagi muslihat lain yang tak begitu kentara di mata kaum buruh.
SI PACUL : Ada-ada saja akal si kapitalis ini. Sungguh pintar ia memikirkan jalan yang menguntungkan dirinya sendiri.
SI GODAM : Seandainya seorang buruh kerja 10 jam sehari. Buat penebus upahnya umpamanya perlu ia kerja di hari itu 6 jam lamanya. Sekarang ia dan ahli pembantunya si penemu (inventor) memikirkan jalan menurunkan kerja 6 jam itu sampai 5 jam umpamanya. Kalau bisa begitu maka kini buat menebus upahnya sendiri, dia perlu bekerja 5 jam sehari. Sisanya yang 5 jam lagi dipakainya buat majikannya. Jadi dengan tetap jumlah kerja 10 jam sehari si kapitalis sekarang bisa menaikkan “Nilai-Lebih” sebanyak kerja satu jam sehari, jadi 25% tambahnya dari hasil 4 jam kerja lebih dahulunya.
MR. APAL : Buat ini perlu perubahan kemesinan dan sosial. Buat itulah seorang insinyur atau penemu selalu ada di samping si kapitalis. Mereka ini selalu memutar otak buat mempertinggi kekuatan “efisiensinya” mesin.
SI PACUL : Celaka 13 kalau begitu mesin itu! Mesin yang bisa menguntungkan masyarakat seluruhnya sekarang dipakai buat mempertinggi “Nilai-Lebih”-nya si kapitalis saja!
MR. APAL : Mesin itu mencoba memurahkan harga kain, makanan dan keperluan sehari-harinya si Buruh. Mesin tenun yang lebih kuat, cepat, banyak dan traktor yang lebih efisien bisa melipatgandakan hasil seperti pakaian dan makanan. Hasil yang berlipat ganda banyaknya itu tentulah turun pula harganya. Karena hasil yang turun harga itu merendahkan takaran hidup (standar hidup) buruh. Maka dia sekarang bisa kurang lama kerja menebus upahnya sehari-hari. Seandainya dulu perlu kerja 6 jam sehari, sekarang dengan 5 jam sehari atau kurang, bisalah ditebus upahnya itu. Sisanya yang 5 jam masuk ke kantong majikannya.
SI GODAM : Begitulah maka si kapitalis berlomba-lomba mendapatkan mesin baru, setahun demi setahun modal yang terkandung oleh mesin bertambah naik dan modal yang terkandung oleh upah sehari demi sehari bertambah turun.
SI TOKE : Ada saja paham yang berlainan dengan paham ahli ekonomi-borjuis, Dam! Jadi kalau begitu menambah modal yang ditanam dalam mesin itu memang sudah terbawa oleh kemajuan kapitalisme.
SI GODAM : Begitulah yang sebenarnya. Selalu saja modal mesin naik!
SI PACUL : Coba kasih contoh, Dam!
SI GODAM : Camkanlah contoh dari Guru Marx juga, Cul! Tapi saya kutip dari ingatan saja. Maafkan kalau ada berbeda angkanya! Andaikan 5 Modal Modal Rupiah Modal dalam Mesin Modal Gaji Buruh Jumlah Modal Nilai Lebih 50% Gaji Untung Nilai Lebih
1 50 50 100 25 25
2 70 30 100 15 15
3 80 20 100 10 10
4 84 16 100 8 8
5 90 10 100 5 5
JUMLAH 374 126 500 63 63
Andaikan 5 modal tadi kepunyaan seorang kapitalis. Yang ke 1 ialah modal kebun kapas. Yang ke 2 modal buat membersihkan biji kapas. Yang ke 3 modal buat memintal benang. Yang ke 4 buat menenun kain. Yang ke 5 buat mencat atau mencelup. Jumlah modal itu adalah f 500,00. Jumlah untungnya f 63,00. Jadi untungnya dipukul rata adalah f 12,60. Kalau begitu, maka ada modal yang untungnya mesti diturunkan ke untung pukul rata, yaitu untung yang lebih tinggi dari untung pukul rata. Ada pula modal yang boleh dinaikkan sampai setinggi untung pukul rata. Modal ke 1, yang mesinnya berharga f 50,00 kekurangan untung f 12, 40 (f 25,00 - f 12,60). Modal ke 2, yang mesinnya berharga f 70,00 kekurangan untung f 2,40 (f 15,00 - f 12,60). Modal ke 3, yang mesinnya berharga f 80,00 kelebihan untung f 2,60 (f 12,60 - f 10, 00). Modal ke 4, yang mesinnya berharga f 84,00 kelebihan untung f 4,60 (f 12,60 - f 8,00). Modal ke 5, yang mesinnya berharga f 90,00 kelebihan untung f 7,60 (f 12,60 - f 5,00). Modal ke 1 dan ke 2 kekurangan sejumlah f 12,40 + f 2,40 = f l4,80. Modal ke 3, ke 4, dan ke 5 kelebihan sejumlah f 2,60 + f 4,60 + f 7,60 = f 14,80, dengan kenaikan modal buat mesin dari 80 ke 84 dan ke 90, maka naik pula kelebihan untung dari untung pukul rata f 2,60 ke f 4,60 dan ke f 7,60.
SI TOKE : Kalau begitu akan terus menerus modal dipendamkan ke dalam mesin akhirnya tak ada lagi kapitalis yang mau memendamkan modalnya ke gaji buruh, ke tenaga buruh. Tegasnya penghasilan kelak akan ditimbulkan oleh mesin semata-mata. Tenaga manusia tak akan berguna lagi.
SI GODAM : Jangan terlampau cepat berlari, Kek. Dalam teorinya memang begitu. Tetapi pemakaian mesin tentulah pula ada batasnya. Modal yang ditanam di mesin tak bisa sampai ke f 100,-, ialah kesemuanya pokok f 100,-. Buruh akan tetap perlu buat mengawasi mesin. Tak semua pekerjaan bisa dikuasai oleh mesin saja. Tetapi dalam kenaikan terus menerus dalam lingkungan terbatas itu sebenarnyalah kenaikan modal-mesin itu berarti kenaikan kelebihan untung dari “untung pukul rata”.
SI PACUL : Herannya pula “untung pukul rata” itulah yang penting buat masyarakat kapitalis. Bukan keuntungan seorang kapitalis, tetapi untung pukul ratalah yang menjadi pedoman.
SI GODAM : Tepat, Cul! Lihatlah saja modal ke 1, sebetulnya buat diri sendiri ialah buat kebun kapas untung itu f 25,- Tetapi karena pukul ratanya cuma f 12,60, jadi kebun kapas itu sebenarnya kehilangan f 12,40. Awas, Cul, Marx membedakan “Nilai-Lebih” dengan “Untung” seorang kapitalis! Dan “untung pukul rata” kaum kapitalis seluruhnya! Di atas tadi dimisalkan 5 modal itu kepunyaan seorang kapitalis saja. Akibatnya sama juga kalau lima modal itu dipunyai oleh lima orang kapitalis. Yang lima kapitalis ini pun kalau dipandang dari penjuru kepentingan kelas, adalah satu kamus, satu kelas.
SI TOKE : Jadi rupanya seorang kapitalis pada satu pihak bersatu kalau menghadapi buruh. Sama-sama mereka itu menghisap buruh. Sama-sama pula mereka itu diukur oleh untung pukul rata, ialah hasil persaingan satu sama lainnya kapitalis. Yang tinggi buat diri sendiri turun kalau diukur dengan untung pukul rata dan yang rendah naik menerima sisa sampai ke untung pukul rata. Inilah pula sebabnya tiaptiap kapitalis berlomba-lomba menaikkan modal yang ditanam dalam mesin. Nah, sekarang mesin memperbanyak hasil. Kalau hasil itu kebanyakan, maka harganya turun sampai merosot sama sekali. Kalau sampai merosot begitu rendah, bukankah kapitalis tak bisa dapat untung lagi? Akhirnya pabrik ditutup! Kaum pekerja dilepas berduyun- duyun. Ini namanya krisis bukan?
SI GODAM : Baiklah kita bicarakan pula perkara krisis itu di lain tempat!
II. Krisis
SI GODAM : Marx mempunyai perhitungan yang pasti pula tentang krisis itu. Dia jalankan aliran KRISIS itu dengan angka. Tetapi aku sangsi apakah perhitungan itu bisa diperlihatkan di sini.
SI TOKE : Kenapa pula tiada bisa, Dam?
SI GODAM : Sebelum Marx mengeluarkan itu sudahlah tentu ia lebih dahulu memberikan bermacam-macam penerangan. Lagipula mempunyai bahasa sendiri dan cara memeriksa sendiri. Kalau kita belum memahami filsafatnya Hegel, ialah Gurunya Marx, susah kita mengikuti uraian Marx. Akhirnya saya sangsi, apakah saya masih ingat seluruh perhitungan Marx tadi, karena sudah lama betul saya pelajari hal itu. Celakanya lagi saya tak mempunyai buku karangan Marx sudah bertahun-tahun.
SI PACUL : Asal aliran pikirannya benar, Dam! Selama ini kami bisa mengikuti aliran pikiran Marx yang kau bentangkan.
SI GODAM : Maaf kalau salah! Sebenarnyalah, di tengah-tengah perjuangan Surabaya ini, di antara api, terbakar di kampung ini dan kampung itu, di antara tembakan dari pihak musuh dan pihak kita, manakah kita bisa mencari, apalagi mempelajari teori krisisnya Karl Marx.
SI PACUL : Seadanya saja, Dam!
SI GODAM : Marilah kita mulai. Semua yang berhubungan dengan perkakas menghasilkan, ringkasnya mesin, ditaruh oleh Marx pada garis atas. Semua yang berhubungan dengan pemakaian (konsumsi) dibubuhnya di garis bawah. Mesin Modal mesin f 4.000,- Modal gaji buruh mesin f 1.000,- Nilai-Lebih (modal mesin) f 1.000,-
Pemakaian Modal (mesin) pemakaian f 2.000,- Modal Buruh (pemakaian) f 500,- Nilai-Lebih (modal pemakaian) f 500,-
Oleh Marx modal yang ditanam dalam “mesin” itu, baik buat pembikin mesin ataupun pembikin barang pakai, dinamainya “kapital tetap atau constant capital”. Karena mesin itu tak berubah nilainya selama dipekerjakan, selama menghasilkan. Modal yang ditanam dalam tenaga itu dinamainya “kapital-berubah” atau variable capital. Karena seperti sudah diterangkan di atas memang nilainya berubah selama dipekerjakan. Ingatlah kapas yang dilayani “tenaga” itu yang mulanya berharga f 675,- menjadi benang yang berharga f 750,-.
SI TOKE : Tetapi sudah kau bilang lebih dahulu, mesin itu luntur juga.
SI GODAM : Memang begitu, tetapi kalau dibandingkan dengan tempo bertahun-tahun. Bukan kalau dibandingkan dengan masanya mesin bekerja.
SI PACUL : Terangkanlah perhitungan di atas!
SI GODAM : Lihatlah dahulu angka di baris kedua! Yang f 500,- buat tenaga, atau gaji itu mesti seimbang dengan “Nilai-Lebih” f 500,- yang berupa kain, dan lainlain barang yang dipakai. Itulah pertukaran antara buruh dan kapitalis. Mulanya si kapitalis memindahkan modalnya kepada buruh berupa gaji. Tenaga buruh menukar modal tadi menjadi barang-pakai. Kemudian barang-pakai itu dibeli pula oleh buruh buat dipakai.
SI TOKE : Pendeknya jumlah gaji buruh mesti cocok dengan jumlah harga barang. Kalau barangnya berlebihan menjadi tertumpuk tak bisa dijual. Kalau kekurangan, maka kaum buruh kekurangan pula, tak ada barang buat dibeli.
SI GODAM : Begitulah dalam garis besarnya. Diandaikan di sini dalam masyarakat itu cuma ada dua golongan saja, ialah golongan buruh yang terbanyak dan golongan kapitalis yang sedikit itu. Sekarang yang amat penting pula! Lihat f 2000,- di garis bawah f 2000,- ini. Ialah modal yang ditanam pada mesin buat barang-pakai manusia (kain dan lain-lain). Lihat pula di garis atas f 1000,- ialah modal buat gaji buruh mesin yang akan bertukar rupa menjadi mesin dan “Nilai-Lebih” berupa mesin pula seharga f 1000,- Jumlahnya f 2000,- Sekarang mesin seharga f 2000,- di garis bawah mesti sama dengan jumlah gaji dan “Nilai-Lebih”, jadinya f 1000,- + f 1000,- = f 2000,- (Gaji f 1000,- dan “Nilai-Lebih” f 1000, itu keduanya menjadi berupa mesin). Seperti sudah dibilangkan lebih dahulu, garis atas berhubungan dengan pembikinan mesin. Garis bawah berhubungan dengan pembikinan barang-pakai. Mesin yang dibikin di atas mesti cocok harganya dengan mesin yang dipakai buat pemakaian. Jika mesin itu dibikin terlampau banyak, maka mesin itu kelebihan, menjadi bertumpuk-tumpuk, tak bisa dijual lagi. Mesin tambahan itu menambah pula banyaknya hasil buat dipakai, kain dan lain-lain. Tertumpuk pulalah kain dan sebagainya itu.
SI PACUL : Inilah namanya krisis. Si kapitalis terlampau banyak menanam modalnya di mesin yang membikin mesin. Untung terlampau banyak mengalir ke kantong si kapitalis. Dan untung yang berupa uang itu ditanam di pabrik ini dan pabrik itu, sampai hasil melimpah. Timbullah krisis, banjirlah hasil.
SI GODAM : Tepat, Cul! Tetapi sebaliknya kalau modal mesin buat pemakaian, jadi jumlah f 2000,- di atas kurang dari f 2000,00 maka hasil kurang. Rakyat pembeli kehausan barang!
SI TOKE : Pendeknya harga mesin yang dibikin oleh Kapitalis- Mesin mesti sama dengan banyaknya mesin yang perlu dipakai oleh Kapitalis-Barang-Pakai. Karena barang-pakai ini terutama dibeli oleh kaum buruh maka hasil barang-pakai mesti cocok dengan jumlah gaji, yakni jumlah uang pembeli barang-pakai tadi.
SI GODAM : Begitulah sebenarnya, Kek! Tetapi aku insyaf bahwa penerangan di atas belum cukup. Memang seluk beluk uraian Marx tentang kapitalis itu tiadalah bisa dimengerti begitu saja. Malah banyak orang terpelajar yang tak mengerti Das Kapital itu. Barangkali penerangan yang lebih populer akan bisa menambah yang kurang. Janganlah putus asa!
SI PACUL : Kasihlah juga penerangan yang populer, kalau penerangan di atas amat susah dimengerti atau belum cukup, maka pada sesuatu kursus kami bisa memakai penerangan yang populer itu.
SI GODAM : Paul Memberts, nama seorang ahli ekonomi, berkata: Hasil dan pemakaian atau produksi dan konsumsi mesti seimbang. Memberts ini adalah seorang ahli ekonomi borjuis. Tetapi dalam hakikatnya dia sama pahamnya dengan Marx, ahli ekonomi proletar, yakni terhadap perkara krisis tadi.
SI TOKE : Cobalah beri satu simpulan tentangan wataknya KRISIS, Dam! Si godam : Benar pula, Kek! Selama ini kita belum sampai ke sana. Memang perlu satu simpulan yang pendek dan jitu. Aku ingat akan simpulan yang pendek jitu itu.
SI TOKE : Keluarkan, Dam!
SI GODAM : Krisis ialah keadaan yang merupakan serba kekurangan di satu kutub dan serta kelebihan di kutub yang lain.
SI TOKE : Memang di pihak yang banyak orangnya serba kekurangan. Sedangkan di pihak yang sedikit orangnya serba kelebihan. Ialah kelebihan mesin, auto, pakaian, makanan dan lain-lain.
SI GODAM : Ada pula beberapa simpulan dari pihak sosialis yang terkemuka di Jerman yakni Hilferding. Sosialis ini menulis satu buku yang masyhur sekali di kalangan kaum sosialis. Nama buku itu ialah Finanz Kapital. Hilferding pernah menjadi menteri di Jerman.
SI PACUL : Manakah simpulan Hilferding itu?
SI GODAM : Barangkali Denmas atau Mr. Apal bisa memberikannya. Aku bisa mengaso sebentar.
MR. APAL : Kalau saya tak salah Hilferding memberikan tiga simpulan penting berhubungan dengan krisis tadi. Saya terpaksa mengutip di luar kepala. Maksudnya kira-kira begini :
l. Lebih besar dan lebih cepat mesin itu dibutuhkan demi lebih besarnya permintaan (demand). Yang bertambah besar buat baja umpamanya, membutuhkan mesin penimpa baja yang lebih kuat dan lebih cepat. Tetapi mesin yang senantiasa bertambah besar itu lebih susah mencocokkan dirinya dengan permintaan dari pabrik di zaman manufaktur, pertukangan. Artinya itu hasil baja lebih besar daripada permintaan baja. Demikianlah baja melimpah! Ingatlah apa yang diterangkan oleh Godam tadi perkara harus seimbang jumlah harga f 2000,- di garis bawah.
2. Jurang di antara apa yang seharusnya dipakai oleh kaum buruh dengan apa yang mereka bisa pakai, semakin hari semakin bertambah besar. Karena jumlah gaji buruh yang sebenarnya sehari demi sehari berkurang- kurang dan hasil barang sehari demi sehari bertambah- tambah, maka kekuatan buruh itu membeli tiadalah seimbang dengan naiknya banyak barang. Ingatlah apa yang diuraikan oleh Godam perkara usaha kaum kapitalis mengurangkan jam kerja buat menebus upahnya! Dalam contoh yang diberikan tadi ialah dari 6 jam ke 5 jam.
3. Produksi itu tidak saja senantiasa bertambah maju kuatnya, efisiensinya, tetapi juga bertambah sulit. Paman kita di Kalimantan umpamanya kalau perlu makanan, dia menengok saja ke sana-sini. Kalau terlihat ular, dengan tangan saja dia tangkap ular itu masukan ke mulut. Tetapi sebelumnya roti sampai ke mulut banyak tingkat yang mesti dilalui. Supaya jangan ada krisis, tiap-tiap tingkat itu mesti memenuhi syarat. Tidak saja si tukang roti mesti mengadakan roti tak kelebihan dan tak kekurangan buat para pemakan. Tetapi juga pabrik batu tembok tak boleh mengurangi atau melebihi batu temboknya buat pabrik roti. Tak pula boleh melebihi atau mengurangi perkakas dan mesin buat pabrik roti tadi.
Jadinya hasil tambang tanah liat dan tanah besi mesti tak lebih dan tak kurang dari yang dibutuhkan oleh pabrik batu tembok dan pabrik besi atau baja. Hasil pabrik besibaja tak pula boleh lebih atau kurang dari yang dibutuhkan oleh pabrik pembikin perkakas memasak roti. Hasil pabrik batu tembok dan pabrik pembikin perkakas memasak roti tak pula boleh lebih atau kurang dari kebutuhan pabrik roti sendiri. Pabrik roti akhirnya mesti mencukupi tak boleh mengurangi atau melebihi keperluan pemakan roti.
SI PACUL : Mana seimbangan itu bisa diperoleh, kalau begitu banyak kapitalis tambang tanah liat dan tanah besi. Begitu banyak pula majikan pabrik batu tembok dan pabrik besi dan baja. 1001 pula banyaknya dan perhitungannya kapitalis pabrik membikin perkakas memasak roti. Akhirnya berapa pula persaingan, konkurensi di antara pabrik roti di tiap-tiap kota. Satu sama lain para kapitalis pada bermacam- macam tingkat dari tambang tanah liat atau besi sampai ke roti sebagai hasil akhirnya tak berunding atau menghitung hasil dan pemakaian lebih dahulu. Mereka berlomba- lomba mendapatkan dan memakai perkakas yang sebaik- baiknya, supaya bisa menjual semurah-murahnya dan mendapat untung sebesar-besarnya!
SI GODAM : Tepat, Cul! Itu namanya anarkisme dalam produksi, Cul. Memang engkau ahli mamah dan tukang sekali dalam hal melaksanakan suatu paham! Tetapi engkau sekarang agak terlampau lewat melompat. Tiga simpulan Hilferding yang dimajukan oleh Mr. Apal tadi memang cukup buat penjelasan perhitungan Marx. Tetapi barangkali Denmas, yang selama ini diam-diam saja barangkali ada pula punya pelor buat ditembakkan menuju penghasilan secara kapitalis itu.
DENMAS : Memang aku sudah sediakan pelor itu. Sebenarnya pelor itu datangnya dari pihak kaum borjuis pula. Sudahkah saudara sekalian mendengar satu aliran di Amerika bernama “teknokrasi”?
SI TOKE : Sudah! Seorang terkemuka sekali dalam aliran itu ialah seorang profesor dari Columbia University bernama Hesley. Aliran itu timbul di masa krisis yang hebat sekali di Amerika, negara kapitalisme terbesar dan katanya paling makmur itu. Kaum “teknokrat” tak percaya pada sistem parlementer. Mereka berpendapat bahwa kaum tekniklah yang berhak mengurus Negara. Karena kaum tekniklah yang menyelenggarakan produksi. Sebab itulah aliran itu mereka namai “teknokrasi”. Almarhum Presiden Roosvelt ialah seorang penganut teknokrasi yang mencoba melaksanakan aliran itu. Tetapi, Denmas, apakah paham kaum teknokrasi tentang krisis?
DENMAS : Dalam hakikatnya mereka membenarkan simpulan Marx dalam garis besarnya. Mereka mengakui penuh bahwa mesin dan hasil barang-pakai pada pihak kapitalis dari hari ke hari bertambah-tambah saja. Tetapi kemajuan hasil tak berbanding dengan kekuatan si pembeli. Kata mereka kaum teknokrat tadi, kalau dibandingkan dengan majunya hasil, maka kurang kian berkuranglah banyaknya kaum buruh yang menerima gaji sepadan dengan takaran hidup dalam masyarakat Amerika. Maksud mereka adalah hasil bertambah banyak tetapi pembeli bertambah kurang. Si kaya bertambah kaya, si miskin bertambah miskin.
SI GODAM : Rasanya sudah cukup penjelasan KRISIS itu dari segala pihak: dari pihak Marxis ialah dari Marx sendiri, pihak sosialis, dan pihak borjuis. Semuanya mufakat mengatakan bahwa krisis timbul disebabkan oleh gangguan seimbangnya produksi dan konsumsi, penghasilan dan pemakaian. Keuanganpun bisa menimbulkan atau memperhebat krisis, tetapi akan terlampau panjang kalau perkara ini diusik-usik pula. Baiklah saya tanya, apakah saudara sekalian ingin mendengarkan beberapa simpulan dari Maha Guru, sahabat dan teman sepembangunan Marx sendiri? Dari Frederich Engels, yang selalu setia dengan teman seperjuangannya, Marx, selalu tepat-jitu dalam simpulannya dan gampang pula dimengerti.
SI PACUL : Tentu, Dam! Otakku masih kuat menerimanya! Aku tak akan meminta saudara sekalian mengheningkan cipta buat menghormat Maha-Guru kita Engels. Aku cuma minta beberapa simpulan Engels yang berhubungan dengan krisis.
SI GODAM : Dalam Dasar Komunisme Engels kira-kira:
l. Alat menghasilkan yang luar biasa (mesin) kita peroleh dari kapitalisme. Tetapi kapitalisme pulalah yang menimbulkan pertentangan di antara produksi dan konsumsi, di antara penghasilan dan pemakaian.
2. Untuk kemajuan alat (mesin) menghasilkan perlulah pula dinaikkan hasil. Kenaikan hasil ini tidak mempedulikan para penghasil dan para pemakai hasil itu. (Jadi maksud Engels, kalau ada seorang kapitalis mendapatkan mesin baru, maka dia naikkan saja hasilnya dengan mesin baru itu. Dia tiada mempedulikan apakah hasilnya sendiri ditambah hasil para kapitalis lain melebihi keperluan pemakai. Juga tiada dia pikirkan apakah hasilnya yang banyak dan murah itu membunuh perusahaan para kapitalis temannya).
3. Entah dapat atau tidaknya pasar, mesin raksasa zaman sekarang mesti meneruskan produksi buat menghindarkan kelunturan mesin (Di masa sekarang, memang diakui sungguh ahli ahli ekonomi dan teknik, bahwa mesin yang telantar itu amat merugikan kalau dipandang dari pihak kelunturan saja).
SI PACUL : Habislah pembicaraan kita ini tentang krisis kalau Mr. Apal mau membentangkan bagaimana lakonnya Krisis itu.
MR. APAL : Baik saya pendekan saja.
l. Barang melimpah, sebab itu harganya turun dan untung merosot.
2. Pabrik terpaksa ditutup sebab tak menguntungkan lagi. Penganggur memuncak.
3. Kaum saudagar juga memperhentikan berdagang.
4. Para pemegang saham, yang sudah merosot kurs sahamnya berebut-rebut menjual sahamnya, dari industri berat dan ringan.
5. Para bankir menuntut piutangnya.
SI GODAM : Krisis itu dahulu terjadi sekali 10 tahun. Tetapi sekarang bertambah cepat dan bertambah hebat lagi. Bukankah pula mesin itu setahun demi setahun bertambah kuatcepat? Sepadan dengan itu putaran (cycle) KRISIS itu bertambah cepat pula.
III. Produksi Anarkis
DENMAS : Kalau kulihat sepintas lalu, mesin itu “celaka 13” buat masyarakat manusia. Kuakui penuh bahwa mesin itu banyak membawa kemajuan. Banyak sekali, tak perlu kusebutkan semuanya. Ingatlah saja kelaparan di satu daerah terpencil dan kurus tanahnya bisa ditolong dengan cepat. Karena kapal atau kereta api dengan segera bisa mengangkut makanan dan obat ke tempat yang ditimpa marabahaya. Persatuan dari beberapa bangsa yang dulunya tak kenal- mengenal satu sama lain atau bermusuh-musuhan bisa ditimbulkan atau ditambah-tambah. Tetapi bukankah pula majunya mesin mempercepat datangnya dan memperdalam hebatnya KRISIS? Selain dari itu memperbanyak korban manusia dalam peperangan? Perhatikan sajalah akibat bom atom dan mortir, bom dan peluru Inggris di kota Surabaya kita ini. Tidakkah lebih aman masyarakat berdasarkan tenaga belaka? Bukankah pula menurut angka-angka Marx tadi modal f 50,00 ditaruhkan pada modal-tetap untungnya lebih besar daripada modal f 90,00 modal tetapnya? Yang pertama mendapat untung f 25,00, yang kedua cuma f 5,00 kalau persennya sama-sama 50% dan jumlah modal f 100,00.
MR. APAL : Sekarang Denmas, baiklah saya yang menjawab. Tak kusangka engkau makan dalam begitu! Memang “tenang itu menghancurkan” kata pepatah Indonesia. Rupanya, Denmas, engkau masih terpaut oleh feodalisme!
DENMAS : Oh, jangan begitu, Pal!
MR. APAL : Kalau sebelum David Ricardo, ahli ekonomi Inggris itu, engkau berkata begitu, memang cocok dengan zaman seperti Ningrat. Engkau akan pertahankan mati-matian sistem memakai tenaga di bidang pertanian, karena persen untungmu sebagai kapitalis-tanah-perseorangan yang memakai tenaga memang lebih tinggi dari persen kaum industrialis yang memakai mesin, maka engkau akan meminta perlindungan dan hak luar-biasa pada Negara. Engkau akan menjadi orang yang berhak luar biasa! Dalam bahasa awak namanya ini Ningrat!
DENMAS : Ke mana aku kau bawa, Pal?
MR. APAL : Lihatlah kembali perhitungan Marx! Bukankah keuntungan bertinggi berendah itu di pasar persaingan dipukul rata? Yang tinggi direndahkan dan yang rendah ditinggikan? Di pasar “merdeka” (pasar bebas) —yakni merdeka buat kaum borjuis—persaingan itu mesti berlaku atas semua modal. Baikpun untungnya modal pabrik si industrialis ataupun untungnya modal Ningrat, yang ditanamnya di tanah itu mesti “dipukul” sampai rata. Yang lari ke parlemen itu ialah mereka yang tak mau dipukul-ratakan. Mereka memakai undang-undang istimewa buat melindungi dirinya. Dalam politik itu namanya kekolotan, konservatif.
DENMAS : Kekolotan?
MR. APAL : Memang kaum ningrat tulen itu kolot, mau memegang yang lama. Dalam dunia politik itu berarti meminta perlindungan, meminta hak istimewa. Dalam pertanian, itu berarti memakai tenaga saja atau perkakas yang dijalankan oleh tenaga saja, pacul umpamanya, oleh budak atau setengah budak.
DENMAS : Lho! Kenapa sampai begitu, Pal!
SI PACUL : Memang pacul itu —bukan aku, lho!—lebih murah harganya dari traktor! Jadi bukankah nyata modal yang ditanam pada perkakas (pacul) itu lebih rendah persennya dari yang ditanam pada traktor?
DENMAS : Ya, tetapi.............
SI TOKE : Tetapi apalagi, Denmas? Aku pun sudah mengerti betul bahwa negara berdasarkan perkakas dijalankan dengan tenaga itu kolot, kaum ningratnya takut sama mesin. Tetapi bukankah itu mengenai pahammu yang pertama?
DENMAS : Paham yang mana pula, Kek?
SI TOKE : Engkau memuji mesin, karena mesin bisa menolong bahaya kelaparan dengan cepat. Tetapi bisakah kelaparan di Bojonegoro umpamanya ditolong kalau seperti di zaman Ken Arok padi itu mesti dipikul dari Indramayu oleh manusia atau oleh kerbau? Apakah kerisnya Ken Arok saja bisa melawan tank baja atau kapal terbangnya Inggris?
DENMAS : Dalam semua hal ini aku mengalah. Tetapi aku tidak kolot, lho! Dan aku mau tanya, apa baiknya mesin yang membawa penyakit krisis tiap-tiap 10 tahun malah kurang dari itu?
SI GODAM : Rupanya Denmas mau memegang terus pendiriannya walaupun sudah ke pinggir jurang.
DENMAS : Wah, ini hari rupanya panas sekali buat aku. Mulanya Mr. Apal, kemudian Toke, sekarang engkau Dam yang mendorong aku. Baiklah, kalau kau bisa kalahkan aku dalam perkara terakhir ini, aku akan bertekuk lutut. Kuulang lagi: apa baiknya mesin yang membawa krisis tiap-tiap 10 tahun, malah kurang dari waktu yang sebegitu?
SI GODAM : Ini pertanyaan memang tak bisa dijawab dengan satu atau dua kalimat saja. Aku mesti sedikit memberi penerangan.
DENMAS : Itulah yang saya kehendaki, Dam.
SI GODAM : Sendirinya mesin itu adalah satu BAHAGIA buat masyarakat manusia. Tetapi ditaruh dan dipakai dalam suasana kapitalisme, maka mesin itu memperlihatkan keburukannya. Ditilik dari penjuru politik dan sosial, maka dasarnya masyarakat borjuis, yang sedemokratis-demokratisnya pun ialah perseorangan, “individualisme”. Dihubungkan dengan perekonomian, maka ini berarti “hak milik perseorangan”. Seterusnya penghasilan perseorangan. Kalau dihubungkan pula dengan kemerdekaan, maka dalam perekonomian, si borjuis menuntut “kemerdekaan” buruh menjual tenaga, kemerdekaan seseorang majikan mengatur gaji, kemerdekaan memilih membeli barang di pasar yang merdeka pula.
SI PACUL : Memang dunia demokratis borjuis itu penuh, penuh dengan suara kemerdekaan di samping perseorangan. Kalau begitu tiap-tiap kapitalis berlomba-lomba pula-mencari “untung” semau-maunya dengan tiada mempedulikan nasib si buruh atau kebutuhan ramai atas hasil. Mereka itu berlomba-lomba masing-masing menghasilkan dengan tiada menghitung keperluan masyarakat seluruhnya dan berhubung dengan ini tidak berembuk lebih dahulu dengan teman-temannya.
SI GODAM : Paling tepat, Cul. Yang kaubilang paling belakang ini namanya Produksi Anarkis. Anehnya pula Sang Borjuis mempunyai kaum cerdas, ada yang namanya profesor dalam ekonomi yang mempertahankan sistem yang lapuk menyolok mata itu. Akan terlampau panjang kalau di sini saya mesti membentangkan dan membantah semua “dalil” ilmu ekonomi mereka itu.
SI PACUL : Coba sebutkan tiangnya saja ilmu ekonomi mereka itu!
SI GODAM : Menurut mereka, hasrat mencari untung itu (profit motive) menghasilkan dengan merdeka secara anarkis-persaingan, kemerdekaan dan biar-membiarkan (laissez-faire istilahnya). Semua inilah yang sebenarnya menimbulkan yang dituju, yakni kemakmuran bersama.
SI PACUL : Apa yang dimaksudkan dengan kemakmuran bersama itu?
SI GODAM : “Hasil banyak dan harga murah.”
SI PACUL : Adakah bahagia lain selain kemakmuran bersama itu?
SI GODAM : Ada! Pertama kemenangan mereka yang cakap. Dalam bahasa Charles Darwin ialah “the survival of the fittest”. Kedua, penemuan baru (invention). Ketiga bahwa kemakmuran tiap-tiap orang menjamin kemakmuran bersama. Maksudnya, kalau tiap-tiap orang menjaga kemakmurannya sendiri, maka masyarakat seluruhnya akan sendirinya terjaga kemakmurannya.
SI PACUL : Tetapi apa gunanya “barang banyak dan murah” kalau kaum buruh itu tak bisa beli lagi? Bukankah kalau barang kelak terlampau banyak dan terlampau murah, si majikan tak beruntung lagi dan pabriknya ditutup? Dengan begitu kaum buruh menganggur, tak cakap membeli apaapa lagi? Akibatnya ialah barang banyak tadi dibuang saja. Masihkah ingat gandum di Amerika yang dibutuhkan oleh kaum buruh miskin itu dibuang ke laut atau dibakar dalam ketel lokomotif karena melimpah? Apakah yang terjadi dengan minyak tanah di Indonesia di zaman krisis?
SI GODAM : Katanya pula “hasrat” keuntungan itu memberi kemenangan pada yang cakap. Tetapi yang sebenarnya cakap itu cuma satu dua orang saja. Biasanya yang digelari cakap itu ialah anak orang kaya yang mempusakai harta bapaknya atau tamat sekolah tinggi karena bapaknya mampu membayar. Banyak pula di antara yang tak cakap namanya atau buta huruf itu ialah karena tak mempunyai apa-apa dan tak mampu membayar ongkos sekolah.
SI PACUL : Perkara bahagianya kapitalisme, yaitu kemakmuran tiap-tiap orang itu menjamin kemakmuran bersama aku sudah lihat kebohongannya. Ini memang benar dalam suasana kapitalisnie. Yaitu kalau tiap-tiap orang mendapat kesempatan buat maju. Dalam hal ini memang kemakmuran tiap-tiap orang akan menjamin kemakmuran bersama, yaitu kalau tiap-tiap anak diberi kesempatan masuk sekolah yang cocok dengan wataknya. Dan tiap-tiap orang boleh mengerjakan pekerjaan yang cocok dengan kecakapannya dan keperluan masyarakat seluruhnya. Dengan begitu memang hasil akan berlipat ganda dan bermanfaat buat tiap-tiap orang yang kerja.
MR. APAL : Sang Profesor Borjuis juga pintar. Ditaruhnya kesalahan itu di pihak buruh. Katanya kalau Pakbon (serikat buruh) tidak menuntut tambah gaji, maka undang-undang alam akan berjalan sendirinya dalam ekonomi, kemakmuran tiap-tiap orang akan terjaga.
SI GODAM : Kalau dibiarkan si kapitalis bertindak semau-maunya hidup buruh akan terdesak kembali ke hidup hewan atau setengah hewan seperti di masa Revolusi Industri Inggris. Baca sajalah Das Kapital karangan Marx dan buku karangan Engels tentang keadaan buruh di Inggris di masa itu. Pakbon itu adalah senjata buruh buat membela nasibnya terhadap para majikan yang bersatu dan dilindungi pula oleh undang-undang, polisi, dan kehakiman Negara, dan yang selalu berniat merendahkan gaji buruh dan menambah lamanya kerja.
MR. APAL : Kata profesor itu pula: Apa salahnya terus-menerus si kapitalis menghasilkan mesin buat membikin barang-pakai. Dengan begitu harga barang itu senantiasa turun. Semua orang bisa membeli.
SI GODAM : Pembagian hasil itu tak seimbang. Kebanyakan hasil pergi ke kaum kapitalis. Kalau terlampau banyak pergi ke si kapitalis dan sedikit pergi ke kaum buruh, dengan apakah kaum buruh beli hasil yang melimpah itu? Bukankah ini asalnya krisis? Ialah disebabkan pembagian hasil tak seimbang. Bagian si kapitalis yang berupa untung itu ditanam pada modal membikin barang-pakai dan ditanam terus-menerus. Tetapi dengan apa dibeli kalau bagian kaum buruh cuma sedikit, kian sedikit?
MR. APAL : Akhirnya kata si profesor: Kalau gaji buruh itu rendah, ongkos rendah pula. Dengan begitu jualan rendah pula!
SI GODAM : Rupanya begitu! Tetapi jualan itu tiada semata-mata bergantung kepada ongkos saja. Bagaimanakah kalau kaum kapitalis kumpulan, monopoli namanya? Dengan monopoli itu dia bisa tetapkan jualan semau-maunya saja!
SI PACUL : Umpamanya kita monopoli kina atau timah di dunia ini, kalau seandainya kita tawarkan timah f 1000,00 sepikul, atau kina f 100,00 sebiji bagaimana! Saya pikir bangsa Indonesia tak mempunyai darah monopolis itu!
DENMAS : Kalau kita kuat di laut, di darat, dan di udara, tentu negara lain mesti beli!
SI GODAM : Itulah dia! Karena monopoli itu tahu bahwa dia menguasai produksi suatu barang, maka dia kuasai pula harga barang itu. Dia coba mencari untung yang sebesar-besarnya. Untung itu paling besar kalau banyak barang disusutkan, jadi harganya bisa dinaikkan.
bersambung........
sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz Rating: 4.5
Description: Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Rencana Ekonomi Berjuang (1945)