Pandangan Hidup (sambungan)
Pandangan Hidup (sambungan)
Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka sains, ilmu pengetahuan empirik, yang dianggap sebagai anak dari filsafat dan cucu dari agama, yang sampai sekarang sebagian besarnya belum lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik tentang alam raya –dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu- sudah sampai ke dunai terkecil yang tidak tampak oleh mata, karena kecilnya. Satu ‘universe’ (alam) yang dapat ‘universe’. Kini kita mengenal adanya planet-planet dan tatasurya lain. Kita juga mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang tercipta dalam hipotesis atau dugaan kedua materialis dialektis, Heraklitos dan Demokritos itu sekarang bisa dibuktikan oleh mata dengan bantuan teropong. Bahkan ilmu pengetahuan empirik sudah sampai kepada benda yang lebih kecil lagi. Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu tatasurya lainnya; seperti universe dengan universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik (repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu atom satu sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari proton dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari ialah tatasurya, sintesis dari satu tatasurya dengan tatasurya lainnya serta akhirnya satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita ini.
Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis, anti tesis, dan sintesis, maka otak manusia sudah mengenal alam terbesar, yakni alam raya kita dan alam terkecil ialah elektron dan proton tadi.
20. CABANG-CABANG ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK
Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang lagi!
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atas ilmu pengetahuan empirik, maka kita memperoleh dua kelas, yakni yang masuk kelas sejarah dan yang masuk kelas alam. Maka ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia itu sudah terpecah-pecah pula menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusasteraan dan lain-lain. Ilmu pengetahuan empirik yang mengenai alam raya ini sudah terbagi sudah menjadi ilmu bintang, ilmu alam (phisic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Disamping itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti dasarnya berlandaskan barang ciptaan seperti angka (number) dan huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, aljabar, trigonometri dan sebagainya.
Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-tiap cabang itu sudah terpecah-pecah juga. Cermati saja berapa banyak ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah juga contoh dari cabang ilmu hukum yang sudah terbagi juga atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-undang dasar (constitutional laws), ilmu hukum tata negara (laws of nation) hukum sipil (civil laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya kalau orang yang ahli dalam suatu cabang ilmu pengetahuan empirik tidak lagi mengenal hubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain sehingga dia hidup terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya kalau seorang dokter ahli rambut hilang lenyap dalam haarklovery-nya saja dan melupakan hubungan rambut itu dengan seluruh bagian tubuh yang lain dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak kurang juga besar bahaya kalau seorang ahli kejahatan, kriminolog, memandang kejahatan dari sudut tingkah laku seseorang saja, seolah-olah dia lupa bahwa perbuatan orang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk-beluk dan berkenaan pula dengan keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
Berhubung dengan bahaya keterpecahan, keterpisahan, keterasingan itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu yang terpecah-belah karena kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientis ternama dengan weaving up general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern.
21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Tidaklah mungkin, tetapi tidak juga perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semua atau sebagian pun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. Sudahlah cukup kepentingan kita disini, mencoba menafsirkan maksud ilmu pengetahuan empirik, cara ilmu pengetahuan empirik memperoleh maksudnya. Serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang dikandungnya buat mencapai maksudnya itu.
Salah satu kalimat yang lazim dipakai buat mendefinisikan (menetapkan) maksud ilmu pengetahuan empirik ialah : simplification by generalization atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal atau memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah lebih dikenal.
Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan maksud ilmu pengetahuan empirik berbunyi : the organization of facts (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat praktis. Berhubung dengan inilah pula, maka sains itu saya terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’.
Tetapi tidak pula kurang praktisnya formula yang lain, yang juga dipublikasikan di dunia ilmu sebagai maksud sains, yaitu to estabish laws and system, untuk membentuk hukum dan sistem.
Sekian tentang maksud ilmu pengetahuan empirik.
Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan cara logika, klasifikasi, statistik dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara dialektis. Dalam logika kita berurusan dengan apa yang dinamakan induksi, deduksi dan verifikasi. Dalam matematika kita berurusan dengan apa yang disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum. Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tiada berapa bedanya. Di tempat lain saya sudah uraikan perkara itu lebih lanjut, yaitu dalam buku Madilog. Di sini saya cuma hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum scientis itu mendapatkan maksudnya, yaitu mendapatkan hukum dan sistem itu (laws and systems).
Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu pengetahuan empirik itu diperoleh dengan jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena dengan jalan pengamatan penyelidik cuma pasif, berdiam diri dan mengamati saja, sedangkan dengan jalan praktek si penyelidik boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma bisa mengamati hidup dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si pelaksana praktek dapat mengawinkan tumbuhan maupun hewan untuk mendapatkan jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik semenjak Galileo. Pada permulaan abad ke-17 Galileo mengadakan experiment-nya di menara kota Pisa. Boleh dikata experiment itu telah membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli, yakni tanah, air, udara, dan api maka ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal 92 elements (anasir)
Akhirnya, dan tidak juga kurang pentingnya maka semangat objectivity (tidak melibatkan subyektivitas, termasuk emosi dan kepentingan) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia hipotesis dan teori adalah satu sine qua non bagi seorang sciencetis. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti-bukti itu supaya bsia melayang ke dunia hipotesis dan teori, tidaklah akan sanggup membentuk laws and systems seperti maksud science. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.
22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Kurang tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu pengetahuan empirik. Kurang tepat jika disebut bahwa India, Tiongkok dan lain-lainnya cuma mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal science, ilmu pengetahuan empirik. Konon kabarnya bapak ilmu ukur (geometri) itu adalah seorang Hindu asal Birma dan katanya juga India lama sudah mengenal aljabar. Juga Tiongkok sudah mengetahui bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memkai rumus P.R yang kita kenal. Tak ada yang tak akan terkagum-kagum dan terpengaruhi oleh logikanya mahaguru Kung (Confucius) kalau membaca sistem kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak ada pula orang yang tak akan terpesona mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mistikus maha guru Lao Tze, apa bila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemajuan obat orang Tionghoa. Bahkan dalam meramalkan hari depan, sehubungan dengan hujan, panas, angin ribut dan topan sering kali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu pengetahuan empirik Barat dengan weather forecast, weerbericht atau ramalan cuacanya. Dan bukankah pengetahuan percetakan, bubuk mesiu dan kompas diwariskan oleh Tiongkok ke dunia Barat melalui Arab?
Namun semua yang disebut itu tidak lantas menyatakan bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun SM. Mahaguru Kung walaupun logis berpikir belum sampai kepada tingkat membentuk logika sendiri, yakni memisahkan hukum berpikir itu dari process (lakonnya) berpikir itu sendiri. Mahaguru Lao belum pula dapat menarik hukum dialektika dari proses berpikir, yang memang dialektis. Demikian juga tukang ukur, ahli kedokteran, dan ahli cuaca di Tiongkok belumlah sampai ke tingkat memisahkan, hukum ilmu ukur, hukum kedokteran dan kimia dari proses ukur-mengukur, obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara daripada proses yang berlaku di udara. Kung tzu memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja! Begitu juga Lao tze mempergunakan dialektikanya. Dan cara mencatatnya pun itu semua dalam bentuk ingatan analogi saja. Demikianlah tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan cuaca di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tak pernah lepas dan melompat lalu melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan hukum dan pengetahuan yunani daripada dunia India dan Tiongkok. Rupanya kodrat pendorong di India dan Tiongkok berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan hasil, tiada berapa majunya semenjak kurang lebih empat ribu tahun! India terpaku pada sistem kastanya. Tiongkok terpaku pada dunia feodal yang mengakar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada teknik, sosial, ekonomi, politik serta kebudayaan yang berlainan coraknya dengan sistem yang ada di Eropa Barat, seperti huruf alfabet (a,b,c) belum lagi lepas dari gambaran suatu pengertian menurut sistem menulis di Tiongkok (Han-dji). Begitulah juga hukum ilmu pengetahuan empirik belum lagi lepas-terpisah, melompat-melambung keluar dari bukti itu sendiri.
23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piala kehormatan ke tangan bangsa Yunani sebagai pelopor ilmu pengetahuan empirik modern. Dalam arti tulisan dan lisan memang Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.
Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri tentang mengapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama kali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu. Archimedes mendapat hukum, tentang benda yang terbenam, melayang dan mengapung dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegembiraannya Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan pakaian tetapi ia sudah melompat melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkan itu kian tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadi dilaksanakan pada semua tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikutnya menemukan air raksa (kwik). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan terapung. Nyatalah di belakang hari, bahwa bukan Hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum Achimedes bahkan mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air raksa) tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara, ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari pengesahan alam. Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di alami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hipotesis saja! Merantau berpetualang dari alam terkenal ke alam yang belum di kenal, seperti Columbus, Ronald Amunsen dan lain-lain para ahli penjelajah samudra!
Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu pengetahuan empirik itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari sebab, yakni dengan lima jalan yang sudah dikenal :
Method of agreement (cara persamaan).
Method of Difference (cara pembedaan).
Joint Method (cara paduan).
Concomitant Variation (cara perubahan serempak).
Mehtod of Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak tinggal menguji (to prove) sudut siku yang kita kenal. Selain pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori, Pythagoras pun cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia keagamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita disini, yakni dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras, kita setelah 2500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori relativitas Einstein, melalui para ahli matematika raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran dan jasa para ahli matematika itu, sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasa para ahli Islam yang melakukan pemilahan (abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai simbol (lambang) benda sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Aljabar naik setingkat lagi mengangkat huruf menjadi lambang. Huruf X umpamanya boleh mewakili angka 1,2,3 dan seterusnya. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita sampai kepada teori trigonometri dan relativitas Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka dan pelambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Einstein dan Newton supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai ke gerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik!
Dikatakan oleh beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan Ariestoteles dibekukan oleh pengetahuan di Abad Pertengahan. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah diperiksa bagaimana keadaan produksi dan masyarakat di Abad Pertengahan itu membekukan klasifikasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah klasifikasi yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hayat (biologi) itu menjadi perkakas yang penting, disamping dialektika, bagi pelopor biologi modern, yakni Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beagle-nya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan udara Darwin tak lepas dari cara klasifikasi, induksi, deduksi dan cara menetapkan sebab yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memang permulaan abad ke-19 adalah abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh Aristoteles. Ilmu yang dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di zaman tengah dan di belakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan kebangkitannya kembali untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke tangannya Charles Darwin yang hidup dalam kandungan masyarakat kapitalisme modern.
Demikian juga lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom serta tafsiran materialisme dan cara berpikir dialektis dari Heraklitos, Demokritos dan Epicurus harus beku terpendam menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.
Sekianlah di sini tentang ilmu pengetahuan empirik!
24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA.
Serba sedikit juga di sini akan diuraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, daerah serta batas logika, seperti juga isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya dialektika, sudah kami uraikan juga dengan panjang lebiar dalam buku Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu secara garis besarnya saja. Lagi akan kami singgung pula dua jenis dialektika, yakni dialektika idealistis dan dialektika materialistis.
Dunia mengakui Aristoteles sebagai bapak logika. Dialah yang pertama kali membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai suatu ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu sempurna, sehingga bolehlah dikatakan bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak banyak lagi mengalami perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam segala cabang ilmu pengetahuan maka logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika di tangan Heraklitos dan demokritos sudah sanggup menyelami dunia benda sampai ke molekul dan atom yang tidak kasat mata dan baru bisa dilihat dengan mikroskop di zaman modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dan gerakan benda maka dialektika sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya di dunia lampau, di dunia statis, berhenti dan pasif tadi.
Di tangan Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Jerman yang menentang feodal-autokratis, maka dialektika idealistis melambung setinggi-tingginya. Di tangan Marx dan Engels sebagai pemimpin aliran proletaris-komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis demokratis, dialektika materialistis menjadi perkakas berpikir kaum revolusioner-proletaris bagi seluruh dunia.
Di tangan kaum Bolsyewik Rusia cara berpikir dialektika materialis dapat membentuk satu partai Murba yang sanggup menghancur leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir, atau cara berpikir. Itu tafsiran yang sah.
Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu? Sepintas lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki oleh penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu dalam keadaan berhenti (static), terpisah (distinct), tak berubah-ubah (unchangable) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu persatu, terpisah-pisah dan dianggap tak berhubungan dan berkenaan satu dengan lainnya sesuai waktu dan tempat.
Pemakai dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berhubungan (connection), berubah-berubah (change) dan bertentangan. Sesuatu itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam suatu waktu pula.
Bagi seorang pemakai logika dalam menghadapi suatu soal dalam keadaan itu, maka dalam jawabannya, “ya itu adalah ya dan tidak itu tidak. Ya itu tidak boleh tidak dan tidak itu tidak boleh ya”. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg :”Pertanyaan yang pasti dalam arti yang pasti pula, yakni apakah suatu sifat tertentu dimiliki oleh suatu barang, harus dijawab dengan ya atau tidak. Tidak boleh dijawab dengan ya dan tidak”. Tiga premis pokok bagi logika adalah : Pertama A itu = A; kedua A itu bukannya Non A; dan ketiga tak ada jembatan antara A dan Non-A (tiga premis pokok ini disebut juga ‘prinsip identitas’).
Berhubung dengan tiga premis pokok tersebut maka sesuatu (barang) itu masuk jenis A atau masuk jenis Non-A. Dan suatu kesimpulan yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa benar kedua-duannya.
Contoh :
Apakah warna sapi itu hitum atau putih jika dipandang dari sebelah kiri ini?
Memang jika hanya satu atau terbatas warna yang dimiliki oleh benda yang tak bergerak, pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu dipandang dari kiri putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya, yakni hitam bukannya putih.
Jadi jawabannya boleh cocok A=A itu bukannya Non-A.
Tetapi apakah jawabannya, kalau orang bertanya :
Apakah warna sapi itu seluruhnya hitam atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi disini dialektika bisa melangkah masuk dan ikut campur memberi jawaban sebagai berikut :
Seluruh sapi itu ya putih ya hitam. Atau dengan perkataan lain :
Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu menjalani sepanjang umurnya, yakni sejak masa bayi sampai ia menjadi dewasa, ketika warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum lagi sapi itu digerakkan dengan kecepatan sinar, yaitu 300.000 km sedetik. Dalam hal ini, maka belum tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia kedua penipuan warna (aberation, aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah, maka sehubungan dengan sesuatu yang sulit (complex) tetapi masih dalam keadaan tak bergerak saja, logika sudah terpaksa meminta bantuan kepada dialektika. Apalagi dalam keadaan bergerak!
Memang suatu pertanyaan seperti : “ Apakah bola yang bergulir cepat ini pada detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Ini tidak dapat lagi dijawab ya atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka jawaban itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada pada titik yang dimaksudkan itu. Kalau dijawab ya, maka jawaban ini pun salah karena belum lagi si penjawab selesai mengucapkan ya, bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tak berdaya apa-apa dalam hal ini, logika harus meminta pertolongan kepada dialektika untuk memberi jawaban ya dan tidak sekaligus.”
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu ilmu pengetahuan empirik sudah mengakui bahwa :
Semua Kodrat di alam raya ini (Force, Energy), yang terlaksana pada cahaya, panas dan sinar (light, heat dan ray) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetisme, listrik dan kodrat-kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian maka dengan timbulnya satu bentuk kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tiada henti-hentinya. Kant-Laplace menjelaskan peralihan molten mess (benda cair) di alam raya pada permulaan dini sampai menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan kometnya.
Adanya sel sebagai satuan dalam badan tumbuhan dan hewan! Karena pelipatgandaan (multiplication) dan perbedaan (variation), ketika turun temurun sel, maka terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang dikenal di masa sekarang ini.
Oleh Charles Darwin dijelaskan bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang sekarang ada di atas bumi kita ini adalah hasil dari kemajuan ratusan-ribu tahun dari beberapa sel-tunggal dalam suasana struggle for existence (perjuangan hidup) suasana survival of the fittest (kejayaan yang kuat) dan adaptability (kemampuan menyesuaikan diri). Beberapa sel-tunggal ini muncul dari putih telur dan protoplasma menurut hukumnya ilmu kimia.
Joule dan Mayer menunjukkan bahwa panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis panas dan listrik kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, statistik, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa satuan tenaga kudakah listrik. Juga bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau listrik, dengan ya atau tidak. Tetapi apabila panas bukan lagi panas, namun belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ya atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ya dan tidak sekaligus.
Demikian pula dalam keadaan di mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan : seperti air sedang berubah menjadi uap, kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik) dan sebagainya, atau satu zat sedang mengalami peralihan juga : atom beralih menjadi molekul, putih telur beralih menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya…., maka logika statika dan ukur-mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.
Apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terampil (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam hal itu dapatlah juga dipergunakan logika, statika, matematika, dan ilmu ukur-mengukur serta timbang-menimbang! Di belakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut : Dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi dalam berurusan dengan pelbagai barang yang mengandung pelbagai sifat yang bertentangan, maka kita harus mengakui coincidence of oposites (perjumpaan beberapa pertentangan). Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan ya dan tidak sekaligus!
Dalam salah satu halaman buku karangannya yang berjudul logik, Hegel seorang raksasa filsafat Jerman berkata kurang lebih begini, “dialektik nennen wir solche geistlische Bewegung, bei denen das getrennt scheinenden durch ischselbst, d.h ducrh das, was sie sind in einander uebergehen, und so des getrent scheinenden aufheben”.
(saya tepaksa mencatat di luar kepala pula!)
Artinya kurang lebih :”Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran (rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).”
Banyak persamaan antara Hegel dengan bekas muridnya Marx! Tetapi besar pula perbedaan di antara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan pertama :
Kedua jenis pemikiran itu sama-sama mempergunakan cara dialektik, yakni menyelidiki sesuatu dalam keadaan bergerak, bertentangan timbul, tumbuh dan tumbang.
Persamaan kedua :
Keduanya sama-sama menolak pemisahan kekal antara ya dan tidak itu. Dalam gerakan tesis, antitesis, dan sintesis, maka akhirnya ya itu bisa menjadi tidak dan sebaliknya. Dalam gerakan itu maka perubahan quantity (jumlah) lambat laun beralih menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian tercapailah Negation der Negation (peniadaan ketiadaan).
Syahdan menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan pula satu dengan lainnya. Tetapi dua barang yang masing-masing berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, yakni Hegel dan Marx kedunya sama berbeda sikapnya soal logika.
Mereka sama-sama tidak setuju dengan pemisahan kekal dan pertentangan kekal antara ya dan tidak itu. Mereka sama-sama juga menyelidiki sesuatu itu dalam suasana dialektika (gerakan pertentangan). Tetapi ada juga perbedaan besar antara kedua penganut dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektika itu kepada tafsiran dan teori idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan dialektika itu atas teori dan tafsiran materialisme. Hegel adalah penganut dialektika idealistik. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut dialektika materialistik.
Dalam “Dialektika dan Logika” maka Plekanov mengikhtiarkan perbedaan dialektika materialstik dan dialektika idealistik sebagai berikut :
Dalam sistem Hegel, maka dialektika sama diri dengan metafisika. Buat kami maka dialektika bersendi atas ilmu ke-alam-an (hukum alam).
Dalam sistem Hegel, maka demiurge, creator atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau ide mutlak). Buat kami, ide mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terjadilah semua perpaduan dari keadaan semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju disebabkan oleh keinsyafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di dalam pikiran (concept). Menurut teori materialis kami, maka semua pertentangan yang ada dalam pikiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran pada dunia nyata (fenomena), sebagai akibat dari pertentangan yang terdapat pada dasarnya-bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata, itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (idea). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu dapat dijelaskan oleh kemajuan yang nyata, kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali yang di udara itu ke tanah dan kepada yang oleh Hegel ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenal oleh Hegel kepada dialektika itu. Dengan begitu, maka di tangan Marx dan Engels dialektika menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh kudung gaib, maka dialektika menjadi senjata kaum reaksioner di Jerman. Buat Hegel maka dialektika adalah senjata revolusi terhadap kaum feodal tetapi berubah menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan Engels sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektika yang bersandar pada materialismelah senjata yang tepat, tetap, dan sempurna terhadap kaum feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang kalau kita mengupas lebih dalam persamaan dan perbedaan, cara dan teori berpikir antara Hegel dan Marx dalam karangan yang dimaksudkan cuma sebagai satu tujuan singkat saja ini. Di lain tempat tinjauan yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. cuma sebagai penguji, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan materialisme mekanik dengan materialisme dialektik!
Janganlah hendaknya kita menyangka bahwa Hegel terus melayang-layang di dunia pikiran saja dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah-bukti (reality). Sebaliknya pula jangan dikira bahwa Marx dan Engels tak pernah melepaskan kakinya dari tanah-bukti dan tak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, ide itu!
Kedua jenis pemikiran tadi maju berpikir dengan berpegangan kepada kedua dunia pikiran dan bumi-bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikiran dan Marx-Engels berpangkalan kepada bumi-bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikian Hegel pernah mengucapkan, bahwa rohani (spirit) itu adalah dasar pendorong (motive-principle) sejarah. Tetapi disamping itu, diucapkan pula bahwa keadaan-ekonomi pada satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani.
Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada juga mengucapkan pada suatu tingkat, maka rohani itu bisa pula menjadi kodrat yang arahnya ditentukan oleh keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya jelas juga bagi kita persamaan dan perbedaan antara materialisme mekanik dan materialisme dialektik. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan. Tetapi bagi pengikut materialisme mekanik, maka manusia dengan pikiran, perasaan, dan kemauannya (ringkasnya manusia dengan jiwanya) seolah-olah tidak berdaya menghadapi alam raya dan hukumnya.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, dalam wilayah yang dibatasi oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya bukanlah benda yang pasif, nrimo, seperti mesin saja. Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan perlantunan (interaction, wissel werking) antara manusia dan alam di sekitarnya berbunyi, kurang lerbih :
“Bumi sekeliling (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi, pada salah satu daerah, atas salah satu kodrat-produksi (force of production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dan lain-lain) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini membentuk hubungan baru antara manusia dan alam-sekitarnya”.
“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya, mengubah sekitarnya itu dan dengan begitu mengubah diri (jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 tesis Marx mengucapkan :
”Die Filosopen hebben die Welt nu verschieden interpretiert. Es Kommt aber daraufan, die welt zu aendern” (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini, yang terpenting ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan tersebut di atas nyatalah sudah salah benar mereka yang mengatakan bahwa kaum materialis itu cuma orang fatalis, penerima kodrat alam saja, dan cuma memikirkan makan-minum dan kepelesiran hidup semata-mata. Sebaliknya bukan juga hasil pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas! Melainkan dibatasi oleh keadaan lahir dan batin yang telah dicapai oleh suatu masyarakat itu sendiri (ilmu, teknik, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dan lain-lain).
Terbatas oleh alam dan masyarakat yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, menafsirkan materialisme dialektik itu dipandang dari salah satu sudut ialah :
Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelum Proklamasi sudah membentuk sistem masyarakat produksi-distribusi, sosial-politik yang ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat kapitalisme-jajahan Belanda (tesis).
Dalam kandungan imperialisme Belanda itu, di antara yang lain-lain, timbul dan tumbuhlah paham yang bertentangan dengan paham masyarakat-kapitalisme-jajahan tersebut yang pada hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru yang memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu di dalam suatu produksi berdasarkan tolong menolong dan distribusi berdasarkan “pada waktu yang memberikan keuntungan hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya terlentang sama minum air, terlungkup sama makan tanah,” berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-tesis).
Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.
KONSEP NEGARA
1. NEGARA (STATE).
Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang mengesampingkan pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Belanda), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefinisikan negara itu, kurang lebih sebagai berikut :
“Negara adalah wilayah tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa asli dan warga baru) tertentu di bawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah : Wilayah yang tertentu untuk menyusun suatu pemerintahan (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori) idealisme, maka Hegel mendefinisikan negara itu, sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral) ….atau gambaran dan kenyataannya akal, atau ……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.
Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-pertentangan yang diselenggarakan atas paham (teori) materialisme, maka Marx mendefinisikan itu dengan kalimat yang terkenal : “Negara itu adalah hasil dan pernyataan perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The state is the product and the manifestation of the irreconcilability of class-antagonism”).
Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der Privateigentums und des State (1894) tertulis di antara lain-lainnya " ….(negara) adalah hasil masyarakat pada suatu tingkat kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan bahwa masayrakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam dan kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”.
“Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan) dua kelas yang berdasarkan pertentangan kepentingan ekonomi ini, jangan melenyapkan diri dan masyarakat sendiri oleh perjuangan sia-sia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya seolah-olah berdiri di atas masyarakat untuk menjabarkan perjuangan dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan kekuasaan ini yang timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.
“Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperi penjara dan berbagai rupa alat pemaksa, yang semuanya tidak dikenal dalam suatu masyarakat kekeluargaan.”
Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata : "Dua badan yang teristimewa menjadi syarat mutlak mesin negara ialah birokrasi dan tentara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada badan masyarakat borjuis, lintah darat yang timbul dari pertentangan yang membela dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang menghisap semua lubang hidup masyarakat”.
Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya rasa perlu sebelum saya memulai uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas mendapatkan hasil pikiran yang berbeda pula bentuk dan isinya.
Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan kelas dengan kelas dalam masyarakat yang diliputi oleh negara itu. Hegel memang guru Marx dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara berpikir yang berdasarkan pertentangan. Tetapi ia mempergunakan dialektika itu atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx, Engels, dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektik, tetapi mereka memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah (territory), rakyat (people), dan kekuasaan (authority). Dalam definisi tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (Rede) atau paham (Idea). Pun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah ke dalam definisinya. Tetapi mereka mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu dan mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu kelas dalam rakyat itu untuk menindas kelas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun ketiga jenis ahli di atas tadi berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menyebarkan dan membatasi perjuangan. Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan memperluas perjuangan kelas dari lingkup nasional ke lingkup international. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara feodal tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletar!
Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah dan rakyat ke dalam definisi negara itu, walaupun ketiga pemikir proletar ini lahir-batin adalah internationalis, tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (nasional-question). Jauh dari pada itu!
Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan kebangsaan (nasional-question), seperti soal bentuk suatu negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan (federation); soal bentuk pemerintahan; yakni bentuk kerajaan (monarchy) atau republik; soal yang berhubungan dengan iklim, bahasa, kebudayaan, dan sejarah semua yang mengenai masing-masing negara tidak luput dari perhatian, penyelidikan, dan pertimbangan Marx, Engels, Lenin, Stalin. Dalam pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka sampai sekarang di antara beberapa negara raksasa, maka Soviet Rusia banyak sekali mendapat hasil segala usahanya (tahun 1947).
Internationalisme adalah wujud yang terakhir dan semboyan “kaum buruh sedunia bersatulah” adalah pekik proletar kepada kelas sejawatnya di seluruh dunia untuk melaksanakan internasionalisme itu. Internasionalisme bukanlah berarti menyuruh kaum buruh di dunia berpangku tangan saja mengharapkan datanganya internasionalisme itu sebagai keajaiban yang jatuh dari langit. Tiap-tiap negara masih mempunyai wilayah sendiri, rakyat sendiri dan kekuasaan sendiri sebagai hasil perjuangan kelas lawan kelas dalam negara itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletar di masing-masing negara masih harus berjuang memperluas wilayahnya, atau harus menerobos batas negara yang terbawa oleh sistem kapitalisme untuk berjabat tangan dengan proletariat dunia menghancurkan kapitalisme dunia.
Negara sosialis terbesar seperti Uni Soviet yang berdiri sejak Perang Dunia I (1914-1918) bersama dengan beberapa negara sosialis lain di sekitarnya, Polandia, Ceko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia dan lainnya yang berdiri sejak akhir Perang Dunia II (1935-1945). Uni Soviet dan sekitarnya itu sekarang (tahun 1947), yakni tepat 100 tahun semenjak Manifesto Komunis dikeluarkan (yakni tahun 1847) masih memperjuangkan batas wilayah negaranya, dan membela rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara sosialis itu.
Bukankah sekarang (Desember 1947) soal wilayah dan rakyat yang kita anggap harus masuk ke bawah kekuasaan Republik Indonesia, serta soal kebudayaan yang kita anggap terutama adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itu juga yang menjadi persoalan yang kita rasa penting dan hangat, soal yang bisa menggagalkan atau melanggengkan, dengan langsung atau tidak, semua daya upaya menegakkan kemerdekaan 100 %.
2. TIMBUL TUMBANGNYA NEGARA.
Dimana dan kapan, dalam suatu masyarakat timbul dua kelas yang bertentangan ekonominya, tak dapat didamaikan, maka disana dan pada saat itu juga dalam masyarakat itu timbul satu kekuasaan untuk membatasi dan menempatkan pertentangan itu dalam suatu ketentraman umum.
Kekuasan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas masyarakat itu sendiri, oleh Marx dan Engels kekuasaan ini dinamakan sebagai negara. Kekuasaan yang secara telanjang bulat berupa birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, dan penjara pada awalnya berdiri di tengah-tengah, sebagai wasit tetapi dalam batinnya dia adalah alat kaum berpunya untuk menindas kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasan kelas berpunya atau kelas tak berpunya, maka semakin tajamlah juga pertentangan di antara kedua kelas itu. Dengan bertambah tajamnya pertentangan itu, maka bertambah terang pula sifat negara itu, sebagai suatu alat penindas kaum berpunya atas kelas tak berpunya.
Di mana dan kapan tak ada pertentangan kelas dalam masyarakat itu kerena tak adanya pertentangan ekonomi di situ, maka di sana dan pada saat itu masyarakat tidak memerlukan satu kekuasan yang teristimewa dan terpisah dari masyarakat itu, serta berdiri di atas masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan negara (state), tidak memerlukan alat penindas seperti birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, penjara dan algojo. Selama pertentangan ekonomi antar kelas dan kelas manusia dalam masyarakat itu belum ada maka selama itu pula masyarakat itu bsia berdamai antar sesama dengan mudahnya. Semua urusan perekonomian, sosial, dan kebudayaan di dalam masyarakat itu dan semua urusan pembelian ke luar masyarakat diurus dengan dasar kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan permufakatan. Paksaan dengan alat penindas oleh satu kelas yang lain tidak diperlukan dan tidak timbul. Dalam menghadapi semua persoalan, semua anggota masyarakat berunding atas dasar sama rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati bersama dan akhirnya untuk bertindak bersama. Keadaan masyarakat yang semacam itu rupanya yang oleh Engels di namai “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (Self acting armed organisation of the population). Masyarakat yang begini adalah masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri, ia terdapat pada masyarakat yang berdasarkan Komunisme asli (Oer-kominisme).
Banyak sekali pelajaran yang kita peroleh dari buku kecil karangan Engels tersebut diatas. Semakin dalam kita kaji pendapat Engels tentang masyarakat dahulu kala di Amerika (Masyarakat Indian) yang diterima oleh Engels sebagai hasil penelitian seorang pengarang Amerika, bernama Lewis H. Mergand dalam buku Ancient Society, semakin mengerti pula kita akan seluk beluk masyarakat kita sendiri.
Saya sendiri, ketika membaca buku Engels itu, acap kali merasa ada beberapa persamaan di antara masyarakat Amerika asli (Indian) dengan masyarakat beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh, rasanya tidak banyak bedanya keadaan masyarakat Minangkabau lampau, di waktu luhurnya, dengan keadaan “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri itu”! Dasar seia-sekata menurut pepatah Minangkabau bukanlah satu perhiasan kata saja. Seia-sekata itu adalah dasar yang dipegang teguh dalam suatu rapat umum. Rapat umum ini pun adalah satu kata yang kosong isinya. Laki-perempuan, tua dan muda boleh hadir dan berhak penuh untuk berbicara dalam suatu rapat umum, yang acapkali disebut : “bersuluh bulan dan matahari, bergelangkan mata orang banyak”, artinya berterang-terangan. Ada pun permusyawaratan itu adalah wajib dilakukan untuk mendapatakan sia-sekata atau kebulatan pikiran. Kata pepatah : bulat air dek (oleh) pembuluh, bulat kata dek mufakat. Azasnya suatu permusyawaratan itu ialah kemerdekaan berbicara bagi tiap-tiap orang laki, perempuan, tua dan muda. Suatu permusyawaratan harus jauh dari kekerasan dan paksaan. Yang menjadi dasar perundingan itu adalah alur (penjelasan yang logis menurut adat dan undang-undang) dan yang ditujukan kepada yang patut (adil).
Bunyi pepatah: "mufakat beraja kepada alur dan patut”. Setelah seia dan sekata atau kebulatan kata itu diperoleh dengan cara permusyawaratan yang bebas dari segala macam kekerasan dan paksaan, maka barulah masyarakat itu boleh bertindak bersama, cocok dengan dasarnya "Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri" ke dalam dan ke luar.
Satu misal saja! Perkara bunuh-membunuh harus diperiksa di depan umum, dimana si tertuduh dan si penuduh di depan para hakim dan khalayak, berhak membela perkaranya sepuas-puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan dan saksi selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai pertolongan seorang cerdik-pandai sebagai pembela. Suatu hukum atas pelanggaran sepanjang adat, harus terlebih dahulu disetujui oleh kedua belah pihak sebelum hukuman itu dijalankan.
Kata mufakat pula menetapkan beratnya pihak yang bersalah membayar denda (bangun!), yakni hukuman yang seberat-beratnya menurut sistem Datuk Perpatih, walaupun dalam perkara bunuh membunuh. Dalam hal ini, oleh permufakatan, pihak yang bersalah diwajibkan memotong sekian banyak kerbau, untuk satu selamatan, dimana kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga, bermaaf-maafan (Acapkali terjadi pembunuhan, sesudah bermaaf-maafan itu lari ke negeri asing, membuang diri sendiri atau bahkan bunuh diri, karena malu). Demikian pula dalam hal menentukan sikap berdamai atau berperang, kebulatan kata diperoleh dengan jalan permufakatan.
Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat Minangkabau bertindak, cocok dengan dasar “Rakyat bersenjata bertindak sendiri”.
Pepatah : Tegak (tinggal) di kampung pagar kampung, tinggal di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam. Dan : Melompatlah sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang.
Keadaan di atas terdapat di Minangkabau ketika perekonomian masih belum atau sedikit sekali dipengaruhi uang. Harta benda, sebagian besar masih berada di tangan suku (keluarga). Harta pusaka, seperti sawah dan rumah sekali-kali tidak boleh dijual ataupun digadaikan, kalau dalam permusyawaratan keluarga ternyata bahwa ada seorang saja anggota, laki atau perempuan (biasanya perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih merata di antara semua suku. Pekerjaan penting seperti bersawah dan mendirikan rumah adat, apalagi balai masih berdasarkan pertobohan atau tolong-menolong.
Sambil lalu saja saya hendak mengemukakan di sini bahwa menurut bukti yang saya peroleh, maka masyarakat Arab, di masa Nabi Muhammad dan tiga khalifah berikutnya, yakni Abu Bakar, Umar dan Usman, juga berada dalam tingkat dasar “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum Muslimin menaklukkan beberapa negara yang kaya raya seperti Syiria, dan lain-lain, maka barulah masyarakat Muslimin terbelah dua, yang berpunya dan tak berpunya. Pertentangan antara yang berpunya dengan yang tak berpunya kian hari kian tajam dan tak dapat didamaikan. Seiring dengan berlanjut dan kian tajam pertentangan itu, maka kian terpusatlah kekuasaan pada khalifah dan keluarga serta pembantunya. “Masyarakat Bersenjata yang bertindak sendiri” yang berdasarkan permusyawaratan di masa Nabi dan tiga khalifah yang mengikuti, lama kelamaan beralih menjadi satu negara, satu kerajaan (monarchy). Negara (kerajaan) Islam itu sering mengenal kemakmuran-umum dan keadilan, seperti kerajaan Spanyol Islam di bawah pemerintahan Abdur-Rahman; kerajaan Baghdad dibawah Khalifah Harun al-Rasyid dan kerajaan Hindustan Islam dibawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula negara (kerajaan) Islam menderita kemelaratan dan kedzaliman, saat khalifah, tentara, polisi, hakim dan algojo bertindak sewenang-wenang.
Syahdan Benua Eropa sampai sekarang sudah mengenal lima tingkat kemajuan masyarakat: 1)Masyarat komunisme asli; 2) Masyarakat budak (slave); 3) Masyarakat feodal (budak, serf); 4) Masyarakat kapitalis; 5) Masyarakat sosialis (Rusia, Polandia, Cheko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Yugo-Slavia dan Bulgaria!).
Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme-asli) maka state, negara sebagai alat penindas satu kelas atas kelas lain belum dikenal. Setelah masyarakat di sana pecah menjadi kelas berpunya dan kelas budak (tingkat 2) seperti Yunani-Kuno dan Romawi, maka barulah diperlukan negara, sebagai alat kaum berpunya untuk menindas budak, yang boleh dijual-berlikan dan dibunuh.
Konon kabarnya kurang lebih 25.000 antara keluarga yang berpunya, yang berdemokrasi, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” memeras dan menindas kurang lebih 500.000 (setengah juta) kaum Budak. Semakin keras pemerasan, semakin kejamlah pula penindasan; jadi semakin kejam pula tindakan alat-alat negara itu, yakni militer, polisi, penjara, dan algojo.
Pada tingkat ke-3 (masyarakat feodal), maka negara serta alat penindasanya dipegang oleh keluarga raja dan ningrat untuk memeras dan menindas kaum budak (serf) yang terikat kepada tanahnya yang boleh dijual belikan tetapi tidak boleh dibunuh semau-maunya oleh yang punya.
Pada tingkat ke-4 (masyarakat kapitalis), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan tuan tanah untuk memeras proletariat melalui mesin dan tanah. Di samping birokrasi, militer, polisi, mahkamah, penjara dan algojo maka kaum borjuis mempunyai pula alat batin untuk menindas mental kaum proletariat, yakni surat kabar, gambar hidup, sekolah dan gereja.
Akhirnya pada tingkat ke-5 (masyarakat sosialis) negara itu sebagai alat penindas belum juga hilang. Negara pada tingkat ini berupa diktator proletariat, yakni kaum proletariat, sebagai kelas yang berkuasa. Ditaktor proletariat mendiktekan kemauannya atas masyarakat baru (sosialis): Membangun dasar untuk tumbuhnya komunisme; menindas sisa kapitalisme dan feodalisme di dalam negara, serta mempertahankan negara proletar itu dari serangan kapitalisme-imperialisme luar.
3. TUMBANG TIMBULNYA NEGARA.
Suatu negara bisa tumbuh untuk jangka yang lama, yakni selama kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup mengadakan kemajuan (teknik-sosial, politik, dan budaya). Negara yang lama tumbang dan negara yang baru timbul kalau yang lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan, dan kelas baru dalam masyarkat, yakni yang selama ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang lama, serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.
Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi negara feodal seterusnya negara feodal di Perancis bertukar menjadi negara kapitalis (Revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara feodalis-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara sosialis (Revolusi Proletar 1917).
Pertukaran bentuk demi bentuk negara didahului dan didorong oleh perubahan ekonomi, yakni perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran barang dan pengangkutan serta keuangan, sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, berubah sampai satu ketika berubah bilangan (quantity) berubah menjadi peralihan sifat (quality), sesuai dengan hukum dialektika.
Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme asli, sedikti demi sedikit berganti menjadi peralihan besar dan cepat, melompat atau meletus menjadi perekonomian feodal. Selanjutnya sepanjang hukum dialektika itu juga perekonomian sosialis di antara lebih dari pada tiga ratus juta (300.000.000) manusia yang mendiami Uni Soviet dan beberapa negara sekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).
Perubahan dan peralihan ekonomi dari sistem ekonomi komunis asli menjadi perekonmian budak itu mendorong perubahan masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya perubahan dan perubahan ekonomi yang terjadi berturut-turut dari perekonomian budak ke perekonomian feodal, dari perekonomian-feodal ke perekonomian kapitalis, dan dari perekonomian kapitalis ke perekonomian sosialis mendorong pula kepada perubahan bentuk negara budak berturut-turut kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis, dan negara sosialis (ditaktor proletariat).
Ringkasnya gerakan bentuk negara, dari sesuatu bentuk ke bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang sesuai.
Apa pula yang menjadi kodrat pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu? Marx dan Engels menjelaskan semua bukti yang dikemukakan oleh para ahli sejarah di masa mereka hidup, bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lainnya) itu digerakkan oleh kekuatan produksi (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat, dan mesin. Dengan perubahan dan beralihnya kekuatan produksi ini, maka berubah-beralih pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah, maka mereka mencari hasil buat hidup serta membela diri terhadap musuh yang berupa manusia biadab dan binatang buas. Makanan yang utama adalah buah-buahan dan binatang liar. Pekerjaan seperti itu cuma dapat dijalankan bersama-sama atas dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tak bisa hidup dan bertindak sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan serba liar serta ganas itu.
Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu dengan sendirinya mendorong kepada pemilikan bersama atas alat dan senjata (kecuali dalam satu dua hal!). Pemilikan bersama berlaku pula atas hasil produksi atau hasil kerja bersama itu. Di sini dan di zaman ini tak ada pemerasan manusia atas manusia atau satu kelas atas kelas lainnya. Semua anggota masyarakat bersama-sama memiliki alat dan hasil produksi. Tak ada yang tak berpunya. Tak ada pula pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Jadi masyarakat semacam itu tak memerlukan negara sebagai alat penindas yang istimewa, “yang menempatkan dirinya dalam masyarakat itu”. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat komunis asli.
Pada tingkat ke-2, masyarakat budak, alat (produksi) itu bukan lagi batu melainkan logam, yakni tembaga, besi dan baja. Kaum yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat untuk produksi. Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat pemburu yang belum mengenal pertanian seperti pada zaman batu. Masyarakat di zaman logam sudah mengenal peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan sederhana) dan sudah mengenal pertukaran barang. Pada masa ini juga sudah timbul pembagian pekerjaan (division of labour) antara golongan peternak, petani, dan tukang. Seorang anggota masyarakat di zaman itu tidak lagi seperti sebelumnya, misalnya pagi berburu, petang mengembala, sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat itu sudah terpisah-pisah dalam golongan menggembala, pemburu, petani, dan tukang, masing-masing golongan melakukan pekerjaan sendiri-sendiri. Dengan begitu, kepandaian dan keahlian kerja kian bertambah. Hasil pun terus bertambah. Dalam keadaan demikian, lahirlah pertukaran barang antara orang dan orang, antara golongan dengan golongan dalam masyarakat itu sendiri kemudian antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan berlebih menukarkan makanannya (misalnya: gandum) dengan yang mempunyai pakaian berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar dan timbul pula kemungkinan bahwa semua kodrat penghasil, yakni kaum budak serta alat, jatuh terkumpul di tangan beberapa orang yang berpunya.
Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap. Timbullah kerja-paksa oleh kelas orang berpunya atas kelas budak yang kebanyakan adalah tawanan perang atau keturunan tawanan itu atau orang yang berhutang tetapi tidak sanggup lagi melunasi. Milik bersama atas alat dan hasil seperti pada zaman komunis asli beralih menjadi milik perseorangan (private ownership) atas alat, tenaga, dan hasil. Kelas yang kecil, yakni kelas yang berpunya, memeras dan menindas kelas yang besar tetapi tidak memiliki apa-apa. Pertentangan yang sering beralih menjadi perjuangan semakin menghebat dengan bertambah tajamnya pertentangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Disinilah timbul alat penindas yang istimewa “yang menempatkan dirinya diatas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu”. Timbul dan tumbuh tentara dan polisi, yakni “alat utama untuk mempertahankan kekuasaan negara.” Beralih masyarakat komunis asli, dari “satu masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” menjadi negara budak, dengan serdadu, reserse, polisi, jaksa, penjara, dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah baik. Bajak besi dan jentera buat menenun berkembang. Peternakan, pertanian, dan pengusaha susu buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang maju. Mulai timbul manufacturies (parik atas dasar kerja tangan) disamping pertukangan. Keluarga raja dan ningrat memiliki alat produksi (tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh dibunuh dan diperjualbelikan, tidak boleh lagi dibunuh, tetapi masih boleh diperjualbelikan. Budak-slave bertukar menjadi budak-serf (lijfeigene). Produksi di zaman feodal menghendaki sedikit perhatian serta initiatif dalam pekerjaannya. Budak-slave sama sekali tidak mempunyai kedua sifat itu karena memang badan dan jiwanya sendiri bukan milik mereka, apa lagi alat dan hasil. Budak-serf diizinkan sedikit mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (implements) untuk digarap. Dengan demikian mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan sanggup memegang sisa pajak itu buat hidupnya sendiri beserta keluarganya. Sebab itu pula maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan menunjukkan initiatif dalam pekerjaannya. Disamping milik feodal ada juga milik perseorangan oleh petani dan tukang alat beserta hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan. Milik perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini. Umumnya pemerasan di zaman budak-serf hampir tidak beda dengan zaman budak-slave. Demikian juga pertentangan dan perjuangan antara kelas ningrat dengan kelas budak-serf bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan antara baas dengan knecht (majikan dan pembantu) pada suatu usaha manufaktur tidak pula berkurang dibandingkan di zaman budak-slave. Di zaman feodal ini negara dengan perlengkapannya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara, dan algojo disertai gereja sebagai penekan mental, jelas sekali sifat dan coraknya sabagai alat penindasnya satu kelas atas kelas yang lain.
Tingkat ke 4 adalah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita kenal. Perkakas digerakkan dengan tangan di masa manufaktur dahulu, sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kg di zaman manufaktur yang sukar buat diayunkan oleh seorang pekerja, maka 500.0000 kg dengan mudah bisa diayunkan oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik dizaman manufaktur cuma bisa memusatkan 1000 orang kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup pemusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik dan ratusan ribu dalam satu perusahaan (tambang dan kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin memerlukan latihan dan kepintaran. Budak-slave ataupun serf yang bodoh itu tak dapat lagi dipakai oleh kapitalisme zaman sekarang.
Proletar mesin harus disekolahkan lebih dahulu. Di sinilah awalnya undang-undang demokratis (compulsory education). Seandainya saja tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau satu pertukangan, maka tak akan bisa atau susah sekali buat seorang kapitalis mendapatkan buruh buat dipekerjakan. Namun hal itu tidak terjadi.
Pada zaman kapitalis ini suatu perusahaan besar menindas dan melenyapkan perusahaan kecil. Karena penindasan dan pelenyapan itu, tidak setiap warga memiliki hak milik sendiri. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka pabrik melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, perkebunan besar melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang. Sebagian besar penduduk menjadi melarat atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar itu, mereka, proletar, terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh revolusi borjuis dari tanahnya ningrat dan kaum tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya karena disaingi dan dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalis. Mereka “merdeka” juga menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi karena mereka terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan harga semurah-murahnya, lantaran persaingan yang tajam antara seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil oleh perusahaan besar, maka harta benda dalam negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya.
Syahdan di dunia kapitalis modern tulen seperti Amerika, dua lusin orang memiliki hampir semua mata pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan sebagainya. Dengan begitu, hasil produksi jatuh ke tangan yang memiliki faktor produksi juga. Sebagian besar rakyat tak mempunyai apa-apa, tetapi merekalah yang memproduksi dengan cara kerja bersama. Pertentangan selusin dua lusin orang yang tidak bekerja tetapi memiliki alat dan hasil produksi dengan sebagian besar rakyat yang bekerja membantung tulang tetapi tidak memiliki alat produksi dan hasil produksi. Pertentangan ini sangat berbahaya di masa krisis ekonomi. Di masa inilah negara kapitalis beserta birokrasi, militer, polisi, kejaksaan, penjara, algojo, pendeta, dan profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di masa krisis inilah negara borjuis bertelanjang bulat mempertontonkan dirinya sebagai alat penindas kaum borjuis atas kaum proletar dan melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri di tengah-tengah, yang adil tidak memihak ke sana atau ke sini.
Revolusi proletar yang melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan membawa masyarakat ke tingkat ke-5 yakni ke tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871 dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia tak ada lagi pertentangan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama atas alat dan hasil produksi penting. Di negeri ini rakyatnya hidup dengan cara kerja yang berdasarkan kolektivitas (sosial) sejak Perang Dunia Pertama. Di sana sekitar 150 juta manusia pada masa Perang Dunia I dan lebih dari 300 juta manusia sejak Perang Dunia II, dijauhkan dari pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Alat produksi penting dan hasilnya dimiliki secara bersama-sama juga dibagi-bagi (masih) menurut aturan :”Siapa yang tidak bekerja tidak akan dapat makan”. Dengan adanya revolusi di Rusia, timbullah kekuasaan baru, negara baru, yakni diktator proletariat, yakni kaum proletar sebagai kelas yang menumbangkan negara feodal kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan penjara proletar buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, kapitalis Rusia serta semua bantuan-bantuan konco-konco kaum kapitalis dan imperialis di luar Rusia.
4. TESIS, ANTI TESIS DAN SINTESIS.
Dalam garis besarnya sudah hampir nyata berlaku hukum-dialektika yang berupa tesis, anti tesis dan sintesis dalam perjalanan ribuan tahun kemajuan masyarakat di dunia.
Sebagai tesis maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapati hampir di seluruh dunia pada zaman komunis asli.
Sebagai anti tesis maka masyarakat komunisme asli terpecah dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar milik bersama terhadap milik perorangan, antara kelas tak berpunya tetapi bekerja melawan kelas berpunya tetapi tidak bekerja. Keadaan begini terdapat di tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1) Tingkat masyarakat Budak-Slave 2). Masyarakat Feodal; dan 3) Masyarakat Kapitalisme.
Sebagai sintesis, maka masyarakat manusia di seluruh dunia sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunis modern. Disini pertentangan di dalam masyarakat kapitalis, yakni pertentangan antara kerja bersama oleh yang tak berpunya melawan milik perseorangan oleh yang berpunya tetapi tidak bekerja akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunis modern yang (seperti masyarakat sosialisme) berdasarkan atas kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil produksi.
Dipandang dari sudut pemerintahan, sejajar dengan cara produksi dan cara memiliki hasil itu tadi, pada zaman komunis asli “rakyat bersenjata itu bertindak sendiri” (untuk menentang musuhnya). Pada zaman berkelas, kelas dalam masyarakat memaksakan kemauannya atas kelas yang lain dalam masyarakat itu sendiri. Akhirnya kelak – pada zaman komunisme modern – seluruh manusia akan menjadi pekerja masyarakat yang merundingkan semua persoalan masyarakat, melaksanakan keputusan bersama, dan dengan sendirinya bertindak untuk menjaga kelancaran jalannya semua urusan masyarakat (pada awal komunisme masih perlu bertindak dengan keras).
Pada tingkat komunisme yang terakhir (fase yang tertinggi) negara (state), sebagai alat penindas bagi satu kelas atas kelas lainnya, hilang lenyap (withering away) karena tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat. Tak ada lagi kelas yang akan ditindas. Perilaku memerintah sudah beralih menjadi perilaku mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. Di masa ini semua kebiasaan yang diperlukan oleh fase komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam fase komunisme yang pertama, yakni fase sosialisme yang didiktatori oleh kaum pekerja.
Proses (yang berupa ½ komunis asli) peralihan dari masyarakat berkelas ke komunisme modern itu bukanlah siklus dalam suatu lingkungan yang tertutup (circle), melainkan satu siklus dalam lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme modern sebagai puncak proses (sintesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan dialektika pula (dalam badannya sendiri!) akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik daripada segala sifat yang terdapat pada komunisme asli (pada tesis!).
Kerja bersama pada komunisme modern adalah kerja bersama yang lebih rasional (teratur) dengan alat (mesin, listrik, dan energi kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme asli. Milik bersama atas hasil produksi adalah milik bersama atas hasil yang berjuta-juta kali lipat ganda banyak sifat serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tangan dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Hubungan antara manusia dengan manusia di zaman komunisme modern adalah hubungan yang tidak memandang kulit, darah, dan keluarga (suku) lagi seperti pada zaman komunisme asli, melainkan hubungan yang luas berdasarkan prikemanusiaan yang sejati.
Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan perbendaharaan yang diperoleh seluruh manusia dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruh manusia dalam puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.
Syahdan seperti dibayangkan di atas, maka zaman diktator proletariat itu bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah diktator proletariat itu dikatakan sebagai zaman peralihan yang menyambungkan dunia kapitalisme dengan komunisme modern. Pada permulaan zaman peralihan itu, masyarakat yang didiktatori oleh kaum proletar itu meninggalkan masyarakat kapitalisme dan menginjak masyarakat komunisme modern. Pada akhir zaman peralihan itulah terletak masyarakat komunisme modern, masyarakat pada tingkat tertinggi.
Adapun diktator proletariat itu masih mengandung sifat kenegaraan, yakni alat penindas yang diadakan oleh kaum proletar untuk kaum proletar itu sendiri sebagai alat untuk menumbangkan alat penindas milik kaum borjuis. Tetapi pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas borjuis itu sedang menanam semua bibit yang akan tumbuh menjadi pohon komunisme. Setelah semua alat produksi yang penting dijadikan milik masyarakat pekerja, maka semua sistem perekonomian, sosial, dan kebudayaan didasarkan atas maksud menanam semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat komunis, masyarakat fase tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum pekerja sendiri, dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja untuk seluruh masyarakat pekerja.
Tetapi pada zaman peralihan, yakni zaman sosialisme atau zaman diktator proletariat itu distribusi (pembagian hasil) masih dijalankan menurut hukum borjuis, yaitu pertama: siapa yang tidak bekerja tidak akan makan, dan kedua “Seorang mengeluarkan tenaga yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama.”
Kedua hukum tersebut masih bersifat borjuis, sebab seperti juga diakui oleh Marx, orang memang tidak sama satu dengan lainnya. Yang satu kuat dan yang lain lemah, yang satu kawin dan yang lain tidak, yang satu beranak banyak yang lain tidak beranak. Oleh sebab itu, tidak adil sama sekali kalau yang lemah diharuskan mengeluarkan tenaga yang sama banyak dengan yang kuat. Begitu juga sebaliknya, yang kuat menghasilkan lebih banyak dari pada yang lemah (dalam tempo yang sama) menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang beranak-istri harus mendapat sama banyak dengan yang tidak; atau yang beranak banyak mendapat sama pula dengan yang tidak beranak. Persamaan macam itu adalah persamaan untuk semua orang yang tidak sama satu dengan lainnya atau persamaan yang palsu.
Tetapi Marx, Engels, Lenin, dan Soviet Rusia merasa terpaksa mempergunakan dasar tersebut sebagai titik melangkah ke dunia komunisme. Manusia yang baru keluar dari dunia kapitalisme itu haruslah mempunyai suatu pegangan buat melangkah. Masyarakat baru itu terpaksa terkait dengan masyarakat lama, seperti seorang bayi lahir masih disambungkan oleh ari-ari dengan ibunya. Kelak, setelah kelas dan ideologi borjuis lenyap dan kebiasaan serta kemauan bekerja sudah merata di seluruh masyarakat, di samping produksi yang dijalankan menurut rencana dan pemakaian teknik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat ganda. Dengan produksi yang melimpah-limpah itu, maka dengan sendirinya berlaku dasar komunisme yakni : "Seorang bekerja menurut kecakapannya dan menerima hasil menurut kebutuhannya”.
Sebanding dengan majunya kebiasaan bekerja dan naiknya produksi maka lenyaplah kelas dan ideologi borjuis. Akhirnya, akan lenyap pulalah diktator proletariat tadi (withering away) sebagai alat penindas kaum pekerja terhadap kaum borjuis. Bersama dengan lenyapnya diktator proletariat, timbullah komunisme, fase tertinggi. Zaman yang di sebut belakangan itu tidak lagi mengenal negara besarta alat penindasnya, melainkan merupakan satu masyarakat yang makmur, rasional, adil, serta penuh perikemanusiaan.
Kaum anarko-sindikalis (bukan yang berlagak-lagak anarkis!) yang seharusnya cukup kita hormati, tidaklah memikirkan apakah yang selanjutnya akan terjadi, kalau negara borjuis sudah diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya bahwa apabila semua orang yang memegang kekuasaan itu (raja, menteri, jendral dan lainnya) dibunuh saja di mana pun dijumpai, maka keadaan seperti dalam komunisme – fase tertinggi – akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka melupakan bahwa semua sifat borjuis dari kelas borjuis yang juga meresap ke dalam kelas proletar itu tidak akan lenyap begitu saja dengan terbunuhnya semua orang yang memegang kekuasaan negara.
Kaum sosialis berkeyakinan bahwa kekuasaan kaum borjuis akan bisa direbut dengan merebut kursi dalam parlemen saja. Dengan jalan membuat undang-undang oleh para wakilnya kaum terbesar dalam parlemen, yakni para wakilnya kaum pekerja, maka mereka percaya bahwa alat produksi bisa dijadikan milik bersama oleh negara. Mereka lupa bahwa negara itu ialah “suatu negara”, sebagai alat penindas yang kaya atas yang miskin. Mereka lupa bahwa dalam badan pemerintahan, seperti dalam tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan sebagainya, kaum intelek borjuislah yang menjadi pemimpin. Mereka ini dapat melakukan sabotase terhadap undang-undang yang menguntungkan kaum proletar dan merugikan kaum borjuis yang sudah diterima oleh parlemen, yang setelah itu harus dijalankan oleh berbagai alat negara. Dalam prakteknya sabotase itu selalu dilakukan oleh negara. Pengalaman kaum sosialis di Jerman yang memegang kekuasaan sesudah Perang Dunia I (pemerintah Ebort, Noske, dan Sheidemann) serta 3 kali masa pemerintahan sosialis di Inggris membuktikan bahwa kaum buruh tidak dibolehkan dengan bulat begitu saja mewarisi alat pemerintahan negara borjuis. Baik pemerintahan sosialis Jerman maupun pemerintah sosialis Inggris tidak berdaya menjalankan undang-undang sosialis yang bisa memotong akar-akar kapitalisme yang terpenting.
Mengambil pelajaran dari Revolusi Proletar di Perancis yang didirikan Comune Kota Paris (pemerintah kota Paris) pada tahun 1870, Marx dalam bukunya “Peperangan Saudara di Perancis” menyatakan bahwa kaum proletar tak boleh begitu saja mewarisi bulat-bulat negara (state) kaum borjuis, melainkan harus menghancurkan alat perlengkapan negara (birokrasi, tentara, polisi, mahkamah, dan lainnya) dan menukar alat negara itu dengan alat negara kaum proletar. Dari sinilah asalnya pengertian diktator proletariat yang oleh kaum Bolshewyk di Rusia di bawah pimpinan Lenin dilaksanakan dan oleh pihak internasional kedua dibawah pimpinan Karl Kautzky selalu dilupakan atau pura-pura dilupakan.
Lenin dalam State and Revolution, halaman 30-31 sepakat dengan Marx yang berpendapat bahwa pada tahun 1871 – ketika Inggris masih “sebagai contoh satu negara kapitalis tulen, tetapi tidak mempunyai unsur militerisme dan juga hampir tidak mengenal birokrasi” – adalah masa revolusi. Malah satu revolusi rakyat bisa dimengerti dan boleh jadi berlaku tanpa memerlukan satu jaminan, yakni lebih dahulu alat negara yang sudah siap itu harus dihancurkan. Tetapi, menurut Lenin, pada tahun 1917 dalam masa perang besar imperialis, paham Marx tadi tidak tepat lagi. Inggris dan Amerika sebagai buah kemerdekaan (liberty) Anglo-Saxon yang terbesar dan terakhir tanpa militerisme dan birokrasi, sebaliknya sekarang sudah terjun ke dalam lumpur perlengkapan birokrasi militerisme yang kotor berlumuran darah itu, yang menguasai dan menginjak-injak segalanya. Saat ini, baik di Inggris maupun di Amerika, bagi Lenin, hal terpenting sebagai syarat terjadinya revolusi rakyat yang sejati adalah memecahkan dan menghancurkan alat negara yang sduah siap itu (ready made state machine yang dimasukkan ke dalam ke dua negara itu antara tahun 1914 dan 1917). Selanjutnya menurut Lenin yang kini harus dilakukan adalah memberi perhatian istimewa kepada peringatan Marx bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan militerisme itu adalah syarat terpenting penjamin tiap-tiap revolusi rakyat yang sesungguhnya.
Sistem ditaktor proletariat bukanlah satu mimpi atau ciptaan Marx. Sebagai seorang scientist, Marx tak pernah memimpikan atau menciptakan sesuatu seperti kaum utopis : Thomas Moore, Saint-Simon, Fourir, dan Robert Owen. Sebagai scientist maka Marx membentuk suatu tesis atau suatu pengalaman, yakni suatu bukti. Perbuatan kaum proletar para pemimpin Comune di Paris pada tahun 1871 mewarisi alat negara secara bulat begitu saja. Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang terus dalam semua alat negara dan melakukan perlawanan diam-diam terhadap kaum proletar, serta mensabotase semua putusan dan undang-undang kaum proletar yang memegang kekuasaan di masa itu. Para pemimpn proletar tidak menukar alat negara borjuis dengan alat negara proletar, oleh dan untuk kaum proletar.
Kealpaan kaum proletar Paris itulah yang oleh Marx dianggap menjadi sebab utama Comune Paris dapat dihancurkan oleh kaum borjuis dari dalam dan dari luar dalam waktu singkat.
Proletar Rusia di bawah pimpinan Partai Komunis tidak mewarisi bulat-bulat alat negara yang dipusakakan oleh Tsar, seperti yang berturut-turut diwarisi oleh kaum borjuis Rusia, di bawah pimpinan profesor Miljukoff dan oleh partai sosial revolusioner yang mewakili kaum borjuis kecil, di bawah pimpinan Kerensky dan kawan-kawannya. Kaum komunis menghancurkan alat negara peninggalan Tsar beserta ningratnya yang diwarisi bulat-bulat oleh borjuis besar dan kecil itu, sambil menggantinnya dengan alat negara proletar. Pemerintahannya lama diganti dengan Soviet, tentara feodal borjuis diganti dengan tentara merah, polisi feodal borjuis di babat dan ditukar dengan polisi proletar, mahkamah feodal borjuis dihapuskan dengan mahkamah proletar, Pendidikan feodal borjuis ditukar pendidikan proletar dan sebagainya.
Dengan diktator proletariatnya, maka Soviet Rusia, sudah berdiri lebih daripada 30 tahun dan sudah sanggup mengganti negara setengah kapitalis dengan negara industri kelas satu : sudah menang berperang dan sudah saggup memusatkan tenaga lebih dari pada 300 juta manusia, atau sepertujuh dari jumlah seluruh manusia, serta menduduki seperlima dari seluruh daratan di dunia.
Tetapi komunisme sejati yang meliputi seluruh dunia haruslah lebih dahulu melalui zaman peralihan, yakni zaman diktator proletar yang menguasai seluruh dunia pula. Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk dan berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan negara pada pelbagai macam kondisi geografis serat kebudayaan di lima benua, memang sedang mengorganisasi dan mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum ningrat-borjuis beserta kaki tangannya di seluruh dunia.
sumber : http://www.tanmalaka.estranky.c Rating: 4.5
Description: Pandangan Hidup (sambungan)
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Pandangan Hidup (sambungan)