Headlines
Published On:Minggu, 20 Maret 2011
Posted by Unknown

Pandangan Hidup (1948)

1. MANUSIA MONYET

Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk ingatan kita sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia masih besartu antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan Australia, menurut seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil, makhluk setengah hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan pithecantropus erectus, manusia monyet. Di belahan bumi lain seperi di Tiongkok Utara, Afrika Selatan, serta Eropa Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu.

Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu hayat) mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selama ini tentang asal-usul dan hari akhir manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di alam raya kita ini, di Universe kita ini.




2. INDONESIA SEDERHANA

Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali mengamati penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih dapat menyaksikan manusia pada tingkat yang serendah-rendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang paling tinggi derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.

Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada Alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otaknya dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau untuk memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidup mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.

Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada beberapa bagian di kepulauan Indonesia. Ini saya majukan untuk memberi penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan alam dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tidaklah mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi dimana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak penduduk Indonesia menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyarakat yang berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan alam-jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker, insinyur, atau pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia berada dengan yang sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan oleh kodrat pendorong.


3. ANIMISME.

Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat adanya perbedaan Pandangan Hidup (Weltanschauung) Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti hal ini, maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di tengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan, atau Irian! Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk pulau Jawa, agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.

Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang selalu gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas atau berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya sebagai manusia menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam.

Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali mencerminkan alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar, yakni yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu, semua benda yang dahsyat di sekitarnya dianggap mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang dahsyat, air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya; bahkan batu dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.

Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum lagi begitu terpisah dalam pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang baik asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya, yang baik maupun yang jahat. Hantu yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di sanalah hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat perhatian lebih dari pada yang baik.

Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham yang oleh para ahli dinamai kepercayaan animisme. Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa, bernyawa.

Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan alamnya di mana mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa inipun berlakulah hukum dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).

Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala pengorbanan dan pemujaan kepada salah satu yang paling ditakuti di antara banyak-yang-ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu, yang paling penting-cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Dimana pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai Maha-Hantu.

Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih dari yang jahat. Konon kabarnya ada satu suku bangsa Irian yang menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang telah memberikan segala-galanya yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan yang sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai buat atap rumah. Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap ikan dan alat membela diri terhadap musuh.

Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang berurutan dari satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu. Selainnya itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi atau bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian.

Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada makhluk manusia di sekelilingnya.


4. KEPERCAYAAN INDIA.

Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke masyarakat lain, yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita peroleh setelah membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta Gautama, Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama kali India mempunyai penduduk asli dan penduduknya terdiri dari bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan!

Kedua, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas produksi yang dibuat dari logam.

Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa raja dan maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan komunis asli.

Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini, bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakatnya di masa itu buat mereka yang berpedoman dialektisme materialistis, jadi bukan dialektisme idealistis.

Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta sejarahnya (historical facts) dan sukar pula didapat konsistensinya, yakni persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sense. Malah tarikh pun, yakni salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.

Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu kesimpulan secara pasti dari Buku-Suci yang tidak berdasarkan historical facts itu. Cuma sekedar menimbulkan kesamaan petunjuk buat ahli pemeriksa.

Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan sendirinya timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet putih atau Hanoman itu benar penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa Hanoman si Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, yakni bangsa Kaukasia yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula bahwa perkataan monyet itu adalah satu ejekan dari bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling? Kita pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang asing-putih, penjajah, yakni kebo bule, siwer matan.

Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih itu adalah suatu petunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit kuat, yang kita peroleh dari dongengan Monyet itu ialah: India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau pun yang masuk menyerbu.

Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti terbentuk dalam kitab suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi kurang lebih 3000 kasta pokok, cabang, dan ranting di masa imperialisme Inggris – bersandar mulanya kepada perbedaan bangsa.

Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah adanya Trimurti, adanya tiga Mahadewa Hindu, yakni Wisnu Sang Pembangun, Shiwa Sang Perusak, dan Brahma Sang Pemelihara.

Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memang banyak ahli dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas dialektika idealistik, bukan dialektika materialistik, meskipun Hegel menganggap dialektika Hindu itu kurang kaitannya antara satu faktor dengan faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis. Bagaimanapun juga Trimurti dari mahadewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu cocok sekali dengan Pandangan Hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir ataupun batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada trimurti Hegel, yakni tesis, anti tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang ahli dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku dalam otak manusia. sedangkan buat orang Hidnu, Trimurti itu adalah Mahadewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita termasuk juga hidup dan matinya manusia.

Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu cukup tergambar dalam masyarakat Hindu yang kabur dan tiada logis-kronologis tercantum dalam Kitab Suci Hindu.

Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lain akhirnya mendapatkan tiga maharaja atau pun satu maharaja yang terutama. Terhadap tiga mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda dari tempo ke tempo dan tempat ke tempat.

Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu tempat Wisnu-lah yang dipuja. Pada lain tempo dan lain tempat Syiwa-lah yang diutamakan.

Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai raja dan maharaja di dunia lahir, yakni dunia politik, tetapi juga mendapatkan penyesuaian penuh pada dunia-sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarkat Hindu itu berpuncak pula pada tiga kasta pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya, atau Kasta Pendeta, Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua kasta itu berpuncak kepada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka menurut hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria (kelas rendah) mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia fana ini tiada diizinkan.

Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan Kasta yang tiada boleh bercampur gaul satu dengan lainnya. Lama sebelum Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu dalam beberapa kasta itu sudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung pri-kemanusiaan.

Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari pemikir besar Sidharta Gautama, putera mahkota dari raja Kapilawastu. Sidharta Gautama atau Budha membantah keras pembagian manusia ke dalam beberapa kasta itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahmana saja yang dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh.

Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai pada kurang lebih 500 tauhn sebelum Masehi itu berakhir dengan kemenangan Agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah pemerintah Ashoka. Tetapi aksi yang dilakukan oleh Sidahrta Gautama beserta para pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya 500 tahun itu diikuti pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat Hindu.

Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum imperialisme Eropa memasuki India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di Hindustan.


5. INDONESIA-INDIA

Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini. Di sini pun kita mengenal berlakunya diberlainan tempat dan diberlainan tempo Trimurti, Mahadewa Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Kita pun mengenal pengembangan dan perluasan agama Islam.

Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun demi setahun, berkembang dan berkuasa pula bansga Hindu (dibelakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu berkembang dan berkuasalah pula semua agama Hindu dan Arab (Islam) itu dalam masyarakat Indonesia.

Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama, Hindu ataupun Arab (Islam), kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, yakni animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarang pun para Hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun yang terus-menerus menuangkan airnya itu masih menekan jiwa orang Indonesia yang melihat dan mendekatinya.

Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu sesuai pula dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebut. Perdagangan dan perusahaan asing walaupun berkembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia, belumlah pernah Indonesia lepas dari tangannya. Tegasnya, sawah, ladang, serta hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah, air, dan udara masih tetap di dalam genggaman bangsa Indonesia asli. Dengan demikian masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah lampau.

Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah, air, udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga hebatnya perasaan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhana sekali.

Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh membunuh untuk mendapatkan nafkah, para arca dari bermacam-macam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu gedung berhala.

Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di Jawa-Swarga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Wishnu, sambil bersenyum-senyuman.


6. DI SEKITAR NABI MUSA.

Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah sungai Nil di Mesir, ketika di bawah pemerintahan Maharaja Fir’aun.

Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti sejarah yang banyak sekali dan paling tua sekali di antara bukti sejarah yang sudah diperoleh di bagian bumi mana pun juga.

Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu mengenal bermacam-macam dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, yakni Dewa Matahari yang mendapatkan kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa.

Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rah-lah yang memfirmankan bumi, langit, sungai Nil dan gurun pasir beserta hewan dan manusia. Semua itu terbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah kata saja, yakni Ptah. Jadi berlainan dengan pandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini menjelma dalam kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.

Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan Yang Ada, atau benda dari Yang Tak Ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa.

Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Fir’aun itu adalah bangsa budak terhina, berhijrah di kerajaan Fir’aun.

Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing di tengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka suatu waktu bangsa Yahudi itu memutuskan, hendak pindah ke “Tanah susu dan madu” yang menurut kepercayaan yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah-rebutan antara Yahudi dan Arab itu.

Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, maka satu daerah bumi dimana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.

Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke Palestina itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara Maharaja Fir’aun yang bersenjata lengkap patutlah disebut seorang pemimpin dalam arti kata sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke bawah penindasan Fir’aun, kalau yang memimpinnya bukanlah seorang pemimpin seperti Nabi Musa.

Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh orang biasa dianggap suatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua-muda, bayi, lelaki, perempuan, sehat dan sakit yang sering bercecok satu sama lainnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Fir’aun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan demikian cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.

Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta keadaan alam sekitarnya, yang dimiliki oleh Nabi Musa. Pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin terjadi di hari depan. Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak kurang artinya, kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh bahaya dan pertolongan yang dijanjikan oleh Jehovah kepada leluhur bangsa Yahudi dalam menuju ke “Tanah susu dan madu” yang dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang pemimpin dalam keadaan demikian yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi segala kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat yang aman dan bahagia, dengan tidak berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001 kali lebih kuat.

Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu tujuan dan satu tekad, sebagaimana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesusahan dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa, pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, …pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar the proof of the pudding is the eating (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah dimakan).

Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala juga mengenal beberapa dewa, menurut sukunya, maka sempurna jayalah pula kepercayaan monotheisme, percaya kepada ke-esaan Tuhan di antara semua suku bangsa Yahudi.


7. DI SEKITAR NABI ISA.

Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian dengan bagian, pertentangan dalam hal tarikh, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang ditemukan oleh para ahli dan saya sendiri dalam kedua kitab suci, yakni kitab Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi pusat perhatian saya di sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan teknik dan ilmu, bukti di masa Nabi Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab sudah pada tempat dan temponya. Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah moral (kesusilaan) dan ketuhanan yang termaktub dalam kitab suci itu. Pertentangan arti dalam hal susila dan ketuhanan, yang saya rasa terdapat dalam kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran kita, kalau kita berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelum Nabi Isa lahir ke dunia.

Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama Kristen yang berbunyi : “Kalau pipi kirimu dipukul orang berikanlah pipi kananmu kepadanya buat dipukul pula” dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi : “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”.

Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha-Esa, yang diutamakan Injil-Lama dan oleh nabi seperti kita bentangkan di atas dengan Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya, karena Katholik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh Suci.

Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan dengan tempo dan tempat. Dengan demikian maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya sudahlah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh agama Kristen dan Ideal Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli sejarah, yang mendapatkan kesimpulan bahwa di mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka bangkitlah soerang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan terang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi kaki tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya raja Yahudi, Mahdi, Yezus Nazarenus Rex Judiorum!

Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan di dalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan memang bersemangat pemberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul, berikanlah pipi kanan” maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi segenap Murba. Terhadap kaum pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, yakni kalau perlu dengan senjata di tangan menghancurkan kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki tangannya penjajah Romawi di masa itu.

Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila yang bertentangan itu. Salah satunya dikatakan bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba Yahudi.

Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang dianjurkan oleh nabi Isa itu berasal dari perasaan tidak berdaya menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki-tangannya, “inlanders-alatnya” kekuasaan Romawi itu.

Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi, terutama kaum Murba-nya, dibelakang kota seperti di Yerussalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asal Nabi Isa sendiri, jauh daripada sikap pasif atau nrimo. Pemberontakan besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula dengan Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi, para inlanders-alat itu, seperti di atas tadi.

Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan dengan Tuhan Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Yang Maha Esa. Filsafat ketuhanan, bahwa 1+1+1=3 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3=1 itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi Perancis banyak pula anasir masyarakat manusia ini yang menumbangkan filsafat 3=1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tidak menjadi soal pokok.


8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD.

Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1=1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula susila yang biasa, yang praktis, bagi masyarakat manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya, dimaafkan salah seorang yang mengakui kesalahannya dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari suku Qurays. Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut ilmu kebangsaan, dan kedua bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga nabi besar itu, yakni Nabi Musa, Isa dan Muhammad itu sebangsa dan seketurunan pula. Dalam kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun temurun dari Nabi Ibrahim.

Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita ialah cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi, malaise, madegnya, tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.

Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara dan Asia Barat sedang menderita keruntuhan akibat desakan dan serangan pelbagai bangsa Jermania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa baru yang perkasa (Bulgaria dan lain-lain) yang menyerbu ke dalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan, Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi almarhum.

Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas penguasa di sekitar Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan hidup enggan mati tak mau. Sedangkan semenanjung Arabia yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai kemakmuran, karena perdagangan dengan negara luar, dengan perantaraan para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada kalifah yang kuat bersenjata, tersusun sebagai laskar teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari bangsa asing. Dengan demikian maka bangsa Arab masih bersemangat tegak gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri. Cuma antar suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajah dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan terpecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliyah.

Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai sintesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu, inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.

Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.

Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat. (resourcefulness)

Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia “jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke negara-negara di sekitar Arab, bersama-sama dengan kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan Nabi di hari depan, saat Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin semacam itu.

Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad bin Abdullah, yang ingin mengetahui asal-usul semua yang ada di alam dan masyarakat itu dapat dipenuhi oleh masyarakat di sekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya.

Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh seorang yang mengamatinya akan menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh dengan percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke luar negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.

Terlatih tergembleng dalam “University of Life” (Universitas hidup) itu, maka apa bila Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-galanya maka tampillah Muhammad bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandis, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.

Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan kemahakuasaan pada permulaan abad ketujuh itu. Perhatikanlah sekali lagi Semenanjung Arabia dan sekitarnya di masa itu.

Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku. Lagi pula masyarakat itu memerlukan adanya satu kaum, yakni kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di Dunia. Semua keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa, yang menguasai serba sekalian alam dan manusia, bidadari dan malaikatnya.

Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, semangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai pusat, jiwa dan filsafat serta prakteknya suatu kepercayaan, memang belum lagi dikenal dalam sejarah manusia. Agama baru yang bertentangan dengan kepercayaan pelbagai suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan ataupun disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila dalam suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam satu rapat, supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat menimbulkan pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad menjawab : Bahwa walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan.

Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum Muslimin yang kian hari kian bertambah banyak juga anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa, dengan semangat tak mengenal damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka dibawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya setelah kira-kira dua puluh tahun berjalan propaganda Islam, persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia.

Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab, dengan semangat pantang menyerah, Islam, zonder (tanpa) janji kepada takdir Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder mengenal damai terhadap negara dan rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh kemenangan lahir dan batin, maka dalam kurang lebih 100 tahun dapatlah bangsa Arab menguasai hampir seluruh Laut tengah di Asia, Afrika dan Eropa.

Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh dunia Kristen kepada Arab Islam, di Abad Pertengahan sampai sekarang pun, jasa Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, sesungguhnya belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya!

Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan filsafat ketuhanan 1=1 sebagai tesis. Setelah Nabi Isa, maka timbullah tentangan berupa 3=1, sebagai anti-tesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah sintesis, yakni kembalinya filsafat 1=1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada semula.

Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu menoleh ke dunia lama, yakni masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapatkan bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali filsafat Yunani yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat Islam dapat memisahkan padi yang berisi dari padi yang hampa, menanam yang berisi sampai tumbuhnya di Abad Pertengahan.

Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakang masyarakat Islam yang jaya-mulia-makmur di Spanyol, Mesir, dan Bagdad dan kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani asli.


9. YUNANI ASLI.

Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli masih dianggap Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli filsafat, masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafat Heraklitos masih dianggap uratnya materialisme dan dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang pelbagai ahli ilmu pengetahuan empirik (scientis dalam sudut pandang positivisme) modern. Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern dapat dicari uratnya pada Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami semua ilmu modern itu lebih dengan dalam, sampai keuratnya.


10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.

Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat, yakni Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan. Semenjak 2500 tahun sejarah Dunia Barat, yakni dari kurang lebih tahun 500 SM sampai sekarang tiga garis pokok itu adalah garis agama, garis filsafat dan garis ilmu pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.

Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang 2500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran nilai dan kedudukan.

Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, agama memperoleh nilai kedudukan tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat cuma mengabdi kepada agama serta ilmu pengetahuan empirik boleh dianggap melalaikan otak dan pikiran belaka. Saat itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarkaat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam masyarakat dan negara.

Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun 1500 sampai 1850 masehi, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah agama terdesak ke belakang. Bahkan pada masa Revolusi Perancis agama mendapat perlawanan yang sekeras-kerasnya.

Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan sudah menjadi sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu, bukan lagi kaum pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, ilmu nyata.

Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka ilmu pengetahuan empirik (science)-lah yang memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi dalam masyarakat serta negara Eropa dan Amerika modern itu. Agama yang di masa Revolusi Perancis mendapat tentangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun kembali, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan seperti sebelum Revolusi Perancis.

Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya mulai turun dari singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, yakni filsafat materialisme dialektis, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu ilmu kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik. Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang.

Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat tetapi artinya berlainan dari semula. Artinya sekarang, terutama ialah weaving up general principles (penyusupan prinsip umum), seperti dikatakan Francis Bacon, salah seorang ahli ilmu pengetahuan empirik besar.

Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan buat Dunia Barat seperti tersebut di atas salaing beralihan nilai dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayan itu: agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok yang sejajar pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan negara (Social-political regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang ada.


11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI.

Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman pertengahan (kurang lebih tahun 1500 sampai 1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai dijalankan dengan mesin uap.

Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis) di mana kaum borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli. Tekonologi maju cepat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan sekarang tenaga atom.


12. SOAL AGAMA.

Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah mengetahuinya. Soal itu berpusat kepada : Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya Bumi, Bintang, dan langit pendeknya alam raya ini?

Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ketuhanan, yakni agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasib itu dipertimbangkan pula oleh amal dan ibadahnya. Amal dan ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadah dan bernasib baik akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia tetapi juga menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka.

Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir manusia itu. Budha, Sidharta Gautama, mengemukakan lima jalan untuk mendapatkan surga. Berbeda daripada tiga agama tersebut diatas, agama Budha lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab diri sendiri dan perbuatan diri sendiri.

Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “eine Privatsache” atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika, dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan sendi agamanya. Tetapi, yang jelas bagi penganut satu agama belum tentu jelas bagi penganut agama lain. Agama tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi masing-masing orang.


13. FILSAFAT

Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bsia memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di antara dua golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi : “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?


14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS

Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang pokok : “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.

Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide saja, yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada awal dunia ini dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia dalam sekejap mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog)

Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.


15. AHLI FILSAFAT YUNANI

Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan yang bersandar kepada dogma semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan panca indera manusia saja (illusion of the sense)."

Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato setelah memakai cara berpikir yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir yang abstrak, pilah-memilah (analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak persamaan Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu.

Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kita, yaitu :”Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich ist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.

Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat tersebut hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.


16. AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan Nasrani. Dunia filsafat Barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau Ariestoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita.

Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan ateis. Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai kepada kita, selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama resmi. Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa (Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah adalah Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana (rudimentary).

Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman pertengahan itu, kita sedikit sekali mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak mendengar nama Plato dan Ariestoteles.

Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah memberikan kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini diserahkan kepada para pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani oleh rakyat budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato cocok benar dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu. Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini.

Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah dari tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat di Abad Pertengahan itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsfaat di Abad Pertengahan itu.

Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis.

Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hayat yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principi).


17. AHLI FILSFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS.

Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan empirik sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab!

Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa.

Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan empirik, yang telah membikin jarak zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun lamanya itu memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori mereka.

Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka David Hume dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang alam raya itu. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa berakat bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah “saya” buat orang lain itu. Sebaliknya “saya” buat Hume adalah “kamu” buat orang lain itu.

Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich” “benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Imanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel.

Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli filsafat materialis Perancis yang termashur seperti Diderot dan Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu, maka mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak bergeraklah dia, kalau tidak berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism, yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan itu (mechanism of matter).


18. MATERIALISME DIALEKTIS.

Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat materialisme dari Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach, menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada idealisme”, sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam cara berpikir menurut cara dialektika materialistis.

Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme Perancis dan Inggris. mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan), yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourir, dan Robert Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis.

Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.

Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebabnya dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia, dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal. Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi what does this all mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik.


19. ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.

Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam perkembangan ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu pengetahuan empirik, Wissenschafft, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya (natura). Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.

Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya, ke zaman Yunani dan dari sini secepat kilat kita berlari ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada logika dan dialektika yang oleh Engels disebut sebagai sisanya filsafat itu.

Bersambung.......

sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz

Klik Bintang Untuk Voting Anda
Rating: 4.5
Description: Pandangan Hidup (1948)
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Pandangan Hidup (1948)


About the Author

Posted by Unknown on Minggu, Maret 20, 2011. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

By Unknown on Minggu, Maret 20, 2011. Filed under , . Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response

Latest Posts :

Hotel

Kuliner

Wisata

Artikel Lainnya » » More on this category » Artikel Lainnya » »

Musik

Tari

Ukiran

Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » »

Top Post

Coment

Adat

Artikel Lainnya»

Budaya

Artikel Lainnya »

Sejarah

Artikel Lainnya »

Tradisi

Artikel Lainnya »

Di Likee "Yaaa.." Kalau Postingan Di sini Sangat Bermanfaat Dan Membantu bagi Anda ..

VISITORNEW POST
PageRank Checker pingoat_13.gif pagerank searchengine optimization Search Engine Genie Promotion Widget ip free counter