Published On:Rabu, 23 Maret 2011
Posted by Unknown
L O G I K A MADILOG BAB VI
Tan Malaka (1943)
BAB V I
L O G I K A
Berikut sudah saya layani Logika Mystika, Filsafat Ilmu Bukti dan Dialektika. Sekarang saya sampai kepada perkara terakhir ialah Logika.
Ikutan (orde) itu sudah tentu boleh disusun dengan jalan lain, yaitu menurut penjuru masing-masing si pemandang. Saya sebut ikutan diatas, karena ikutan semacam itu ada sedikit cocok dengan genelogy, turun-menurunnya, menurut tuannya semua perkara tersebut. Saya pikir tiada bisa disangkal, bahwa Logika Mystika, ialah Logika yang berasalan kepercayaan semata-mata, bukan bukti yang dipancainderakan atau diperalamkan, itulah ilmu yang setua-tuanya didunia ini.
Dari Ilmu Mystika lahir Filsafat dan Filsafat ini pecah dua: Pada pihak satu terdapat Ilmu Bukti yang melayani Matematika, Ilmu Alam dan Ilmu Masyarakat. Pada lain pihak terdapat Dialektika dan Logika. Sudahlah tentu tiada bisa ditentukan dengan pasti, bila Ilmu Bukti itu dilahirkan oleh filsafat, atau pada tanggal berapa Ilmu Bukti itu dilahirkan oleh filsafat, atau pada tanggal berapa Ilmu Bukti berpisah dengan Dialektika dan Logika. Ilmu Bukti, Dialektika dan Logika, adalah rapat sekali seluk-beluknya satu dengan lainnya. Tiadalah bisa ditentukan dengan batas yang tajam dimana ketiga ilmu itu bisa ditentukan dengan batas yang tajam dimana ketiga ilmu itu masing-masing mesti ditempatkan. Perbedaan yang menyolok mata sudah ditentukan, tetapi masing-masing ada mempunyai bagian yang bersamaan. Tetapi dengan melakonkan semua perkara tadi keatas panggung menurut genealogie, dan mengemukakan perbedaan dan persamaan masing-masing bisa tercapai maksud saya: (1) memberi kebulatan dari Madilog, (2) menyingkirkan herhalingen, membicarakan satu perkara berulang-ulang, lebih dari mestinya.
Dahulu dalam lakon filsafat, saya masukan sebagian dari perkara Dialektika. Hal ini sudah tentu tiada bisa disingkiri, karena Filsafat dan Dialektika adalah ibu dan anak. Begitu juga ketika menguraikan Ilmu Bukti saya campurkan perkara Logika. Inipun tiada bisa disingkiri, karena Ilmu Bukti dan Logika itu adalah dua saudara kembar.
Pada beberapa Negara Barat dan Amerika, disekolah menengah-tinggipun Logika itu diajarkan sebagai vak (pelajaran) yang terkhusus bersama-sama dengan Ilmu Bukit yang lain-lain. Sudah tentu para mahasiswa, murid-luruh mendapat pelajaran, terkecuali tentang Logika, sebelum dianjurkan Ilmu Bukti. Sebaliknya dalam buku Logika zaman sekarang tak ketinggalan lagi contoh yang diambil dari Ilmu Bukti. Begitulah Ilmu Bukti dan Logika Isi-mengisi. Hal ini juga menggambarkan pentingnya Logika sebagai ilmu berpikir. Teatpi janganlah terlalu dilebihi kepentingannya itu, berapapun pentingnya dalam daerah sendiri.
Perlu diperingatkan lagi lebih dahulu, sebagai spring-board (papan-pelompat), tiga definisi Ilmu Bukti, yakni: (1) accurate thought, pikiran yang jitu, tepat atau (2) organisation of facts, penyusunan bukti atau (3) simplication by generalisation, penggampangan dengan mengumumkan. Maka semua hal ini pada geometry terbentuk oleh cara synthetic, memasang bukti sampai menjumpai teori, analytic, mengungkai (membuka) teori atas buktinya dan ad-absurdum, cara menyesatkan buat memperlihatkan kebenaran suatu teori. Maka ketiga cara dalam Geometry ini seperti sudah dijelaskan ada sangat berkenaan pula dengan caranya Ilmu Fisika & Co, bekerja: induction, dari bukti naik ke undang, deduction dari undang turun ke bukti dan verification, penglaksanaan, sesudah sesaat bertemu lagi.
Syahdan, maka penguraian tentangan INDUCTION, DEDUCTION dan VERIFICATION inilah pekerjaan yang terutama dari Logika. Inilah axis, sumbunya Logika. Berkeliling sumbu inilah roda Logika berputar-putar. Dan buat menyingkiri ulang-mengulang, maka tiadalah perlu perkara ini ktia uraikan lagi. Dengan cara Induction, diadakan undang, law, dalam Ilmu Alam & Co. Dan Undang ini mesti berdasarkan bukti yang kokoh, ialah bukti yang sudah diperamati dan diperalamkan (observation dan experiment). Semua perkara yang penting inipun yakni bukti, peramatan, peralaman dan undang sudah cukup dibicarakan. Tiada perlu pula lagi kita uraikan sekali lagi.
Walaupun kecil daerahnya Logika, karena takluk dan cuma sebagian dari daerah Dialektika-Materialistis, dan walaupun hal yang terpenting dari Logika, sebetulnya sudah diuraikan lebih dahulu, dalam pasal Ilmu Bukti dan Dialektika sendiri, masih banyak sekali sisanya Logika. Tetapi maksud saya tentulah tiada hendak menguraikan semua sisanya itu. Logika itu cuma salah satu perkara dalam “Madilog” dan seperti sudah dibilang, bukanlah perkara yang terpenting. Yang akan diuraikan pada pasal ini, cuma beberapa “puncak” yang nyata dalam barisannya sisa Logika itu. Barang siapa hendak ingin mempelajari Logika itu sepenuhnya, dipersilahkan membaca buku karangan John Stuart Mill, A system of Logic, rationative-inductive, buku besar dari 600 muka; Jovons (W. Stanley) The Principles of Science: A Treatise of Logic and Scientific Method, London 1874, 2 Vol XVI 463 and VII, 480 pages; Irendelenburg (ado), Logische Untersudschungen, Berlin 1840; Wondelband (W), Die Prinzpien der Logik, Tubingen 1913. Opzoomer, De Weg der Wetenschap, Een handboek der Logica, Amsterdam 1851; Opzoomer, Het wezen der kennis, Een Leesboek der Logika, A’dam 1863. 183 blz.
Saya mengajak dengan sungguh hati seseorang murid hukum berpikir mempelajari ilmu yang berguna sekali itu. Cuma saya peringatkan lebih dahulu akan batas, yakni limit dari Logika itu.
Pasal 1. SEKALI LAGI DIALEKTIKA DAN LOGIKA.
“Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.
“Sekali membuka puni, dua tiga utang langsai (lunas)”.
Kata pepatah Indonesia.
Walaupun perkara yang akan dibicarakan ini termasuk pada pasal lampau, yaitu Dialektika, tetapi sengaja saya tahan pena saya sampai sekarang. Perkara ini sangat bertentangan dengan Logika, jadi penting sebagai kritik dari Logika yang sangat gembar-gemborkan oleh para scientist dengan menguraikan perkara Dialektika itu, disini saya harap menyimpan banyak tempo dan tempat.
Sudah dipertentangkan Dialektika dan Logika lebih dahulu dari ini. Menurut Logika ya itu ya dan tidak itu tidak (A itu A, non A itu, ialah non A). Ya tak pernah sama dengan tidak (A bukan non A). Dua simpulan yang bertentangan, tak bisa benar keduanya. Kotak itu putih dan kotak ini hitam tiada bisa benar keduanya. Salah satunya bisa benar menurut Logika juga: Sesuatu barang mestinya A atau Non A, tak boleh keduanya.
Sebaliknya menurut Dialektika, kalau diperhubungkan dengan tempoh, kena-mengenanya perkara, pertentangan dan gerakan, maka ya itu bisa tidak (A itu pada saat itu juga bisa Non A). Dipandang dari satu penjuru kotak itu bisa hitam dan putih. Keduanya. sesuatu barang itu bisa A dan Non A keduanya. Semua ini sudah dikaji.
Sekarang saya mau kemukakan dua perkara yang penting baik buat Dialektika ataupun Logika, ialah: (1) quality dan quantity, sifat dan banyak atau bilangan. (2) Negation der Negation (Hegel) pembatalan kebatalan. Daerah Logika itu seperti sudah saya jelaskan lebih dahulu, takluk pada daerah yang lebih tingi, ialah daerah Dialektika. Bukan pula Dialektika yang beralasan benda yang nyata. Tetapi dalam daerah kecil, Logika pasti bersimaharajalela. Sebetulnya juga termasuk pada yang sudah-sudah, Cuma bentuk berlainan.
Sudahlah tentu Logika yang pisah-memisahkan sesuatu itu, pada kedua perkara ini juga berlaku main pisah. (1) Quality tinggal quality, quantity tinggal quantity. Sifatnya sesuatu barang itu tiada berhubungan dengan banyaknya bilangan barang itu. Air yang dimasak sampai umpamanya 80º buat Logika tinggal mempunyai sifat air yang berpanas (temperature) 80º itu. Tiada diperhubungkan dengan air yang sudah menjadi uap kalau sudah sampai 100º. Logika tiada perdulikan perhubungannya.
Menurut Dialektika, kenaikan quantity (banyaknya graad, derajat) bisa mengubah sifat, sifat mengadakan sifat quality baru. Sesudah quantity, banyak dari 80º sampai 100º, maka sifat tadi berubah: air jadi uap, quantity menjadi quality. Perubahan bilangan (banyak) menjadi perubahan sifat, dari air ke uap. Jadi “banyak” dan “sifat” quantity dan quality itu ada perhubungan, kena-mengenaan. (2) Menurut Logika seperti sudah lebih cukup dibicarakan lebih dahulu “ya” tinggal “ya” dan tidak itu tinggal tidak. Contoh tak perlu diberi lagi.
Dialektika menyimpulkan pergerakan “ya” dan “tidak” itu dengan “Negation der Negation”. Yang “ya” itu mulanya dibatalkan. Kebatalan ini dibatalkan pula. Umpamanya ambil sebiji padi, kita tanam. Sesudah beberapa lama biji padi tadi bukan biji lagi, melainkan sudah jadi pohon. Inilah satu kebatalan: Pohon membatalkan biji. Tetapi sesudah beberapa lama, pohon tadi mengeluarkan biji padi lagi lebih banyak dari bermula. Disini terjadi pembatalan dari pokok tadi; Biji membatalkan pohon. Pada seluruhnya proses, lakon padi tadi, kita peroleh biji padi, pokok padi (kebatalan) dan banyak biji padi (pembatalan). Inilah yang dinamai: Negation der Negation itu, pembatalan kebatalan.
Fredrich Engels banyak memberi contoh dari dua gerakan dalam Dialektika itu: Yang diatas ialah salah satu dari misalnya Engels. Tetapi Engels memakai gandum, bukan padi. Di bawah dituliskan beberapa lagi contohnya Engels (angkanya saya lupa!), tetapi semangatnya contoh tak berubah.
- Quantity menjadi quality. Satu serdadu berkuda Napoleon dikalahkan oleh satu berkuda Kalmuk (Mesir). Lima serdadu Napoleon sudah hampir sama dengan lima serdadu Kalmuk. Tetapi 10 serdadu Napoleon sudah bisa menewaskan 15 serdadu Kalmuk. Engels tiada bilang, tetapi saya percaya, bahwa 1000 serdadu berkuda Napoleon terhadap 10.000 Kamuk ada seperti kampak dengan pokok pisang. Pada perbandingan terakhir sudah bekerja kekuatan organisasinya Napoleon. Quantity sudah menjadi quality. Kenaikan banyak dari 1 sampai 10 dan dari 10 sampai 1000 pada pihak Napoleon sudah menjadi perubahan sifat, yang merupakan kemenangan.
- Negation der Negation. Pertama kita lihat seekor rama-rama. Rama-rama melahirkan ulat (Negation) pertama. Ulat sesudah beberapa lama lagi menjadi rama-rama pula (Negation kedua). Pada pembatalan kebatalan kita melihat beberapa rama-rama. Pembatalan kebatalan memberi hasil yang lebih baik dan lebih banyak.
Perubahan kecil dari sehari kesehari pada masyarakat feodal, mempertajam pertentangan hamba dan tuan. Akhirnya bahwa jadi begitu kuat sampai banyak sifat quantity jadi quality dan bisa batalkan kaum tuan. Sekarang hamba menjadi tuan, ialah klas hartawan: kebatalan pertama ialah masyarakat feodal bertukar menjadi masyarakat kemodalan dalam masyarakat kemodalan sekarang berlaku undang bilangan menjadi sifat dan kebatalan dibatalkan seperti sudah terjadi di Rusia: kemodalan dibatalkan oleh kolektivisme. Cuma pembatalan kebatalan itu jangan diterjemahkan seperti oleh Cratilus, murid Plato: Tidak saja dua kali, satu kalipun orang tak bisa pergi pada suatu sungai. Ini melewati Dialektika. Kata Hegel suatu barang itu ialah pembatalan dari kebatalan pertama kalinya.
Sudahlah tentu bapak Dialektika idealis, Hegel, penuh pula dengan penglaksanaan: 1. Quantitat dan Qualitat. 2. Position, Negation dan Negation der Negation atau thesis, anti-thesis dan synthesis. Semua undang ini sudah pula termasuk pada ahli filsafat Yunani, seperti Heraklit dan Demokrit dalam beberapa kalimat yang sekarangpun masih dikemukakan.
“Ada itu berarti tak-ada karena semua barang itu menjadi bertukar, dalam keadaan tumbuh dan tumbang”.
“Tidak ada, yang tetap, semuanya bertukar”.
“Kita tak bisa dua kali pergi ke sesuatu “sungai”, karena sungai pada saat ini sudah mengalir diganti dengan sungai yang lain”.
Pasal 2. LOGIKA TERHADAP: QUALITY DAN QUANTITY.
Terhadap single-proposition, simpulan yang tunggal, kita sudah tahu bagaimana Logika berlaku. Kalau dikata “kuda itu seluruhnya dipandang dari sudut ini warnanya putih, ini tidak mengandung arti “kuda itu seluruhnya dipandang dari sudut itu juga hitam”. (Ingat definisi Ueberweg!).
Terhadap “Universal-proposition”, simpulan bulat, yakni yang akan dibicarakan pada pasal ini, maka Logika mengadakan pembagian, yang terpisah seperti berikut:
1. Simpulan yang bulat dan ber-ya, mengesahkan atau genaral and affirmative proposition.
2. Simpulan bulat dan ber-tidak, membatalkan negative; general negative proposition.
3. Simpulan pecahan dan mengesahkan particular affirmative proposition.
4. Simpulan-pecahan dan membatalkan, particular negative proposition.
(Peringatan: Simpulan bukan kalimat. Dengan simpulan atau putusan saja maksud ialah sesuatu pemeriksaan, a judgment, Inggrisnya. Umpamanya: Semua yang bernyawa mesti akan mati. Kalimat itu tiadalah perlu satu kesimpulan. Umpamanya: si Ahmad menendang bola).
Perhatikan:
- Simpulan bulat yang ber-ya. Formule-ya: semua S (ter) masuk P.
- Simpulan pecahan yang ber-ya, sebagian S (ter) masuk P.
- Simpulan bulat yang ber-tidak, tak ada S (ter) masuk P.
- Simpulan pecahan ber-tidak, sebagian S (tidak) masuk P.
Misal:
- Semua manusia itu cerdik.
- Tak ada manusia cerdik.
- Sebagian manusia cerdik.
- Sebagian manusia tak cerdik.
Tetapi kalau A itu salah, maka B boleh jadi salah, tetapi boleh pula jadi benar. Kalau salah simpulan kita bahwa “semua manusia itu cerdik”, maka boleh jadi salah juga simpulan, bahwa “Tak ada manusia itu cerdik”. Karena boleh jadi “sebagian” saja manusia yang tak cerdik dan sebagian cerdik. Jadi tidak benar, ialah salah kalau dikatakan, bahwa “tak ada manusia itu cerdik”. Tetapi boleh jadi juga benar, bahwa tak ada manusia itu cerdik. Pendeknya kalau A itu salah B boleh benar dan boleh jadi salah. Begitu juga sebaliknya, kalau B itu salah, A boleh benar dan boleh salah. Kalau diuji dengan formule kita peroleh: Kalau semua S masuk P benar, maka “tak ada S masuk P” itu salah. Tetapi kalau semua “S masuk P” itu salah, maka “tak ada S masuk P” boleh jadi benar dan boleh jadi salah. Jadi mungkin A dan B salah keduanya. Definisi: Contrary proposition, simpulan bertentangan, ialah simpulan yang incompatible, berselisih tak bisa berna keduanya, tetapi bisa salah keduanya.
Sekarang kita bandingkan A dengan D. Kalau A benar, D mesti salah. Dan kalau D itu salah, maka A itu mesti benar. Kalau benar bahwa “Semua manusia itu cerdik”, maka salahlah kalau kita katakan, bahwa “sebagian manusia itu tak cerdik”. Dan kalau benar, bahwa “sebagian manusia itu tak-cerdik”, maka salahlah pula putusan kita, bahwa “semua manusia itu cerdik”. A dan D dinamai contradictory, berlawanan betul-betul, bertentangan.
Dengan formula: Kalau “semua S masuk P” itu benar, maka “sebagian S tidak masuk P” salah. Dan kalau “sebagian S itu tidak masuk P” benar, maka salahlah “semua S masuk P”. Definisi: Contradictory proposition, simpulan berlawanan, ialah dua simpulan yang salah satunya mesti benar, dan salah satunya mesti salah.
(Peringatan: Incompatible sementara saya Indonesiakan dengan berselisih:contrary dengan pertentangan; contradictory dengan berlawanan. Jadi bertentangan lebih tajam dari berselisih dan berlawanan lebih tajam dari bertentangan).
Pada penguraian Logika diatas tercantum lagi A itu, ialah A bukan non-A. Kritik atas pengertian bulatnya “in the board sense” tentang perkara ini sudah cukup dijalankan! Tetapi arti terkhusus “A=A” itu yang oleh Ilmu Bukti mesti diperhatikan, tiadalah pula boleh kita lupakan. Lebih-lebih pada sesuatu karangan yang panjang atau pada suatu buku kita mudah melupakannya. Orang sering lupa dan kadang-kadang sengaja melupakan, bahwa pada permulaan karangan orang artikan sesuatu kata kalimat atau undang dengan arti lain dari arti pada pertengahan atau ujung karangannya. Pada hal ini kita bisa peringatkan, bahwa A mesti tinggal A. Arti yang kita pakai pada permulaan karangan mesti terus-menerus sampai ke ujung. A mesti terus A saja. Sekali-kali A itu tak boleh jadi lawannya, yakni non-A. Science, Ilmu Bukti, accurate thought, hasil pikiran yang tepat, sudahlah tentu tiada bisa mengabaikan arti terkhususnya dan A = A dan A bukan non-A: memakai sesuatu kata, kalimat atau undang yang berselisihan artinya pada berlainan tempat dan tempo. Sesuatu karangan atau buku yang scientific, menurut hukum Ilmu Bukti mesti pertama sekali self-consistent, mesti consequent, arti tak boleh berlawanan dengan dirinya sendiri. Selain dari itu dia tak boleh berlawanan, melainkan cocok, mesti self-consistent dengan undang yang syah, dan bukti yang diakui syah dan pengalaman biasa, yang syah pula. Pada sesuatu pekerjaan scientific, artinya terkhusus dari A = A dan A itu bukan non-A mesti sebagai pedoman buat si-pengarang dari pangkal sempai keujung.
Pasal 3. CONVERSION (PEMBALIKAN).
Hari ini Hari-Raya, Lebaran! Dikiri-kanan kelihatan dan kedengaran tanda permulaan dari kaum-Muslimin. Tiada mengherankan, kalau pikiran saya melayang pada perkara yang berhubungan dengan hal ini: ke rumah, lumbung dan halaman keluarga saya di seberang dan mesjid dan langgar yang didirikan oleh keluarga itu. Pelayangan pikiran itu akhirnya membentuk simpulan ini: “Semua Muslimin itu diwajibkan berpuasa”. Menurut ilmu saraf, gramatika, semua Muslim itu jadi pokok, subyek kalimat “diwajibkan berpuasa” jadi sebutan kalimat, predicate. Kalau simpulan itu dibalikkan artinya pokok dijadikan sebuah dan sebutan dijadikan pokok, maka kita peorleh: Yang diwajibkan berpuasa itu semuanya kaum Muslimin.
Teranglah salahnya pembalikan, conversion itu. Kita tahu bahwa tidak saja kaum Muslimin, tetapi ada kaum lain seperti di antara pendeta Hindu dan Budha yang diwajibkan berpuasa. Jadi pembalikan diatas sudah bermakna lain. Pembalikan yang benar mesti berbunyi: Sebagian dari yang diwajibkan berpuasa itu ialah kaum Muslimin.
Simpulan Asal (Original).
Semua S masuk P “Pembalikan: Sebagian dari P masuk S. Ahli matematika Euler, membentuk formule ini dengan gambaran Disini kita lihat S itu semuanya masuk ke dalam P.
Tetapi pembalikannya tiada semua P, melainkan sebagian saja dari P diliputi oleh S. Pembalikan semacamnya ini dinamakan: Pembalikan sebagian (part conversion). Ini tentang Perkara A, yakni semua S masuk P. Sekarang kita periksa pembalikan dari perkara B, yakni tak ada S masuk P.
Umpamanya: Tak ada Nasrani yang masuk di Mekah. Pembalikannya: Tak ada yang masuk di Mekah itu orang Nasarni. Dengan Formule:
Simpulan Asal : Tak ada S masuk P.
Pembalikan : Tak ada P masuk S
Gambaran Euler: S P
(Disini nampak tak ada S masuk ke daerah P dan dalam pembalikannya tak ada P meliputi S. keduanya tak tahu menahu. Kedua kalimat sama nilai dan kedudukannya). Pembalikan ini dinamai “pembalikan biasa” (Conversion simply).
Perkara C, yakni sebagian S masuk P.
Ump: Sebagian orang Nippon beragama Budha.
Pembalikannya: Sebagian dari yang beragama Budha ialah orang Nippon.
(Jadi tidak umumnya yang beragama Budha itu orang Nippon, orang Birma, Thai, Annam, dan Cylon banyak yang beragama Budha).
Dengan formule:
Simpulan asal : Sebagian S masuk P.
Pembalikan : Sebagian P masuk S.
Gambaran Euler: S P
Kelihatan cuma sebagian dari S yang diliputi oleh P. Dan sebaliknya juga sebagian dari P yang diliputi oleh S. tetapi kebenaran tidak terperkosa. Pembalikan semacam ini dinanami “pembalikan biasa”, seperti perkara B diatas. Perkara D, terakhir tiada dengan begitu saja bisa dibereskan. Simpulan D ini tidak mempunyai pembalikan.
Dalam hal balik-membalik itu, kita tidak saja mesti tukar tempat pokok dengan sebutan dan sebutan dengan pokok. Tetapi kita mesti awasi dua undang dalam balik-membalikkan. Kalau undang ini terlanggar, tiadalah syah pembalikan itu. Berlainanlah makna simpulan yang kita peroleh.
Undang pertama: Quality, “ya atau tidak” mesti tetap. Jadi ya atau tidak, syah atau betul pada “simpulan asal” mesti syah atau batal, ya atau tidak juga pada pembalikan. Dalam pembalikan kita diatas A, B, C undang itu ada diikuti. (Periksalah).
Undang kedua: Quantity mesti tetap pula. Tak boleh dimasukkan “term” berhubung dengan pokok atau sebutan kalimat atau simpulan! Kepada Pembalikan kalau term itu tak ada dalam simpulan asal. Sekarang kita periksa perkara D.
Umpamanya: Simpulan Asal: Sebagian orang beragama itu tidak (bukan) orang Islam.
Pembalikan: Sebagian orang Islam itu tidak beragama.
Teranglah salahnya pembalikan itu, karena tidak ada bagian atau seorangpun dari Kaum Muslimin yang tidak beragama Islam. Islam itu artinya Agama. Sebagian orang Islam artinya orang beragama Islam. Kalau orang beragama Islam itu dikatakan tidak beragama, maka simpulan semacam itu bertentangan dengan dirinya sendiri. Undang apakah yang dilanggar dalam pembalikan (D) ini? (Lihat kembali pembalikan diatas!).
Quality, ya atau tidaknya, memang tidak dilanggar. Pada simpulan Asal kita dapati kata “tidak” dan pada pembatalan juga kata “tidak”. Jadi kedua simpulan berdasarkan negative, bertidak. Begitulah undang pertama tidak dilanggar.
Undang kedua: Quantity. Pada simpulan Asal, kita lihat orang Islam sebagai sebutan (predicate) itu dimaksudkan semua orang Islam. Tetapi pada pembalikan orang Islam yang dimaksudkan itu cuma sebagian saja. Disinilah pelanggarannya terjadi, yaitu pada Undang kedua Quantity, banyak bilangan. Menurut undang bilangannya term (istilah) itu mesti tetap jumlahnya.
Dengan Formula, maka pembalikan itu juga tidak bisa dinyatakan dengan pasti, karena memang dalam pembalikan itu boleh jadi: (1) tak ada yang P masuk S (2) semua P itu S atau (3) sebagian P = sebagian S.
S P S P S P
(1) (2) (3)
Keterangan:
Pada gambar 1. P dan S tak ada bersangkutan satu sama lainnya.
Pada gambar 2 Semua P menutupi S.
Pada gambar 3 Sebagian P menutupi sebagian S.
Tiga kemungkinan semacam itu tidak bisa dipastikan dengan ya atau tidak saja dalam satu simpulan. Kalau berbuat begitu makna mesti terperkosa. Walaupun “conversion” itu sudah dicatat diatas, tak ada salahnya kalau disini kita kasih definisi cukup. Pembalikan ialah: Satu proses atau perubahan, dimana pokok pada simpulan (proposition) asal jadi sebutan pada pembalikan dan sebutan pada simpulan asal menjadi pokok pada pembalikan, pembalikan mana sama kebenarannya dengan simpulan asal.
Pembentukan semangat Revolusi Perancis tahun 1754, Rousseau mahaguru Filsafat Hegel dan Bapa Historical Materialis Marx banyak sekali menggunakan pembalikan itu. Dengan begitu daerah penyelidikan mereka bertambah dalam, arti bertambah luas dan bunyi bertambah merdu.
Pasal 4. OBVERSION (PERLIPATAN).
Permulaan kata, conversion, kata technical yang mengandung seluk-beluk yang dalam itu, saya terjemahkan dengan “pembalikan”. Kata obversion dengan “perlipatan”. Kalau kita membalikkan sesuatu barang, kain umpamanya, muka di bawah terbalik ke atas. Tetapi kalau melipat cuma sebagian kain saja yang terbalik.
Perlipatan kalau di-definisikan: ialah perubahan bentuk (bukan arti!) satu simpulan kepada simpulan lain, dimana “sebutan”pada simpulan asal bertukar jadi “sebutan yang berlawanan arti” pada perlipatan. Perlipatan juga mempunyai Undang: “Sebutan pada perlipatan itu mesti berlainan dengan arti sebutan pada simpulan asal”. A mesti ditukar dengan non-A. Tak boleh dipakai arti setengah-setengah, yang mengandung kompromis, permufakatan pada kedua belah pihak yang berlawanan.
Kita periksa sekarang 4 perkara yang sudah kita kenal .
- Simpulan Asal. Misal: Semua Haji pernah ke Mekah.
Kata “semua” dan “tak satu” bukan berlawanan pokok, melainkan berhubungan dengan kalimat seluruhnya. Kalau berlawan dengan pokok, yakni Haji, mestinya berbunyi semua tak Haji, jadi yang bukan Haji. Jadi perlipatan dari A ialah B.
- Simpulan Asal, Misal: Tak satu Kafir yang suci.
(Tak ada dan semua juga berhubungan dengan kalimat seluruhnya tidak melawan pokok simpulan! “Tak suci” itu ialah kata majemuk! Maksud saya dengan kafir bukan Kafir menurut Islam saja, tetapi Kafir dipandang dari penjuru tiap-tiap agama. Jadi perlipatan dari B itu ialah A.
- Simpulan Asal. Misal: Sebagian orang Islam itu murtad.
(“Tak murtad” itu berarti takluk pada undang Islam. Jadi “bukan murtad” itu berarti dan takluk lagi. Begitulah arti perlipatan tiada berlawanan dengan arti simpulan asal. Dalam Algebra negative (-) dari negative itu jadi positive (+). Perlipatan C jadinya D.
- Simpulan Asal, Misal: Sebagian orang Islam itu tidak jujur.
“Tak jujur” dan “Tak-jujur” dalam Logika terkhusus ini tiada sama. Tak jujur itu disambungkan dengan “-“ jadi kata majemuk. Artinya sama dengan munafik, ialah tak jujur terhadap undang agamanya. Diluar lain dari di dalam. “Haram riba” itu kata pada umum, tetapi riba lebih dari 1800% setahun diterima juga, malah jadi penghidupan bagi golongannya turun temurun. Perlipatan D ialah C.
Jumlah ujian: Perlipatan A ialah B, Perlipatan B ialah A, perlipatan C ialah D dan perlipatan D ialah C. Dengan lipat-melipat ini sekarang marilah kita hadapi Alam (universe) ini. Semua di Alam ini ialah Islam atau tak Islam. (Islam dipakai sebagai nama sifat), menurut filsafat Islam atau tidak, betul atau salah, P atau Non-P. Apa yang P bukan masuk non-P. Formulanya: P atau tak P. (Non-P)
Kalau “S itu P” maka “S itu bukan tak-P”; kalau S itu berada dikiri, maka S itu tidak dikanan. Sebaliknya kalau “S tak P” maka S itu tidak P; kalau tidak di kanan, maka ia dikiri.
Di Eulerkan.
Kalau S-P : maka S itu tidak masuk tak P
bukan:
S tak P
Kalau S – tak P : maka S itu tidak P
bukan:
S P
Sekarang kita sebentar balik kepada conversion, pembalikan. Tadi kita katakan D itu tidak bisa dibalikkan. Tetapi dengan memakai cara perlipatan, kita bisa mendapatkan hasil. Marilah kita ambil contoh yang dahulu:
Simpulan : Sebagian orang beragama itu tidak orang Islam.
Pembalikan : Sebagian orang Islam itu tidak beragama.
Kita ingat pembalikan itu salah.
Sekarang kita jadikan, tidak orang Islam itu kata majemuk seperti tak P. Kita peroleh sebagai ganti, tidak orang Islam itu kata majemuk tak Islam. Simpulan Asal sekarang kita tukar bentuknya dengan tidak menukar artinya. Kita dapati:
Simpulan Asal : Sebagian orang beragama itu tak Islam (non-Islam).
Pembalikan : Sebagian tak Islam (non-Islam) itu orang beragama.
Ini benar! Sebagian tak Islam, bukan Islam itu, seperti orang Kristen dan Yahudi memang dianggap beragama juga, walaupun oleh kaum Muslimin sendiri meskipun Kafir Nasrani dan Yahudi itu dianggap oleh Muslimin Cuma Kafir Kitabi, ialah memperkosa makna Kitab Injil dan Kitab Talmud masing-masing.
Formulanya:
Simpulan Asal : Sebagian S itu tidak P. Ini sama dengan sebagian S itu tak P.
Pembalikan : Sebagian tak-P itu S
Eulernya :
S tak P
(Kelihatan sebagian dari S ditutupi oleh sebagian tak-P).
Seperti pembalikan, maka perlipatan juga banyak dipakai oleh para pujangga yang jaya dan bergemilang.
Pasal 5. CONTRAPOSITION (PERLIPATAN-TERBALIK).
Menurut pelipatan terbalik itu suatu simpulan lebih dahulu, mesti kita lipat, kemudian lipatan itu kita balikkan. Pemeriksaan:
A. Misal:
Simpulan Asal : Tak ada barang di Alam ini yang tak berubah.
Perlipatan : Semua barang yang di Alam ini berubah.
Eulernya :
Pembalikannya: Sebagian dari yang berubah di Alam ini, ialah barang.
B. Misal:
Simpulan Asal : Tak ada Muslim yang makan riba.
Perlipatan : Semua Muslim tak makan riba.
Di-Eulerkan :
Pembalikan : Sebagian dari yang tak makan riba itu ialah Muslimin.
{Simpulan (Pembalikan) ini rupanya ganjil tetapi benar. Bermacam-macam golongan di Indonesia kita saja masih sederhana sekali hidupnya. Umpamanya orang Papua dan Dayak. Mereka belum tahu memakai uang. Jangankan lagi memakan riba. Jadi di Indonesia ini saja Cuma sebagian saja yang Muslimin, ialah yang tak makan riba; ....andaikata, semuanya Muslimin, juga termasuk Muslimin dari Hadramatu, tak makan riba}
C. Misal : Simpulan Asal : Sebagian Muslimin tidak bisa tak Sembayang.
Perlipatan : Sebagian Muslimin sembayang.
{Disini kita berjumpa dengan dua tidak, ialah ,tidak tak sembayang”.
{Belum pernah kita berjumpa dengan dua tidak (negative) dalam rangkaian begini}.
Pembalikan : Yang tak sembayang itu tidak sebagian Muslimin. Ini
Simpulan tidak bisa di artikan atau di Eulerkan. Tiada ada
Sedikit juga kepastian di dalamnya.
Sebutan simpulan ialah, tidak sebagian Muslimin ”Boleh jadi kalimat itu berarti, semuanya” Muslimin. Jadi pembalikan boleh jadi berarti: Yang tidak sembayang itu ialah semuanya. Ini tentulah bertentangan dengan arti Simpulan Asal. Tentulah juga melanggar filsafat Islam. Dalam Logika C itu juga dianggap sebagai simpulan yang tiada bisa dilipat-balik-kan.
D. Misal:
Simpulan Asal : Sebagian Muslimin tak puasa.
Perlipatan: Sebagian Muslim itu puasa.
DiEulerkan :
M P
Pembalikan : Sebagian yang berpuasa itu ialah sebagian Muslim.
(Kebenarannya nyata. Bukan saja kaum Muslimin, tetapi diantara Yahudi, Pendeta Hindu, atau Budha, ada juga yang berpuasa. Dan tidak semuanya Muslimin itu berpuasa).
Pasal 6. SYLLOGISM.
Bagian 1. PASANGAN SIMPULAN BESAR DAN KECIL.
Bermula diperingatkan yang sudah di uraikan lebih dahulu: Induction, ialah cara berpikir, “dari beberapa bukti naik ke undang”. Kawannya ialah Deduction, yakni cara “dari undang turun ke bukti”. Pada Geometry, cara berpikir Deduction ini mendapat lapang yang luas sekali. Juga dalam Ilmu Kodrat & Co, Deduction mendapat lapang yang luas sekali.
Satu bentuk dari cara berpikir menurun dari undang ke bukti itu, yakni satu bentuk “penglaksanaan”, dalam Logika dinamai SYLLOGISM. Jadi SYLLOGISM ini Cuma bentuk lain dari berpikir menurut cara Deduction.
Perhatikanlah bentuk berpikir dibawah ini:
- Semua manusia bakal mati.
- Socrates manusia juga.
- Socrates itu bakal mati.
- “Semua manusia bakal mati”, dinamai mayor-premise, simpulan besar.
- “Socrates manusia juga”, dinamai minor-premise, simpulan kecil.
- “Socrates itu bakal mati”, dinamai conclusion, simpulan akibat.
Pada akibat kata persamaan itu hilang, tak ada lagi. Kita lihat pula, bahwa simpulan pertama mengandung bukti lebih besar, lebih luas dari yang kedua. Pada simpulan pertama, kita berjumpa “semua” manusia, sedangkan pada simpulan kedua kita berjumpa dengan satu manusia saja, ialah Socrates. Sebab (luas artinya) umumnya simpulan pertama itu, maka ia dinamai dalam Logika, simpulan besar yang mengenai seorang saja, ialah simpulan 2 dinamai simpulan kecil.
Pasangan tiga serangkai mesti takluk pada hukum dibawah ini:
- Simpulan Umum (Universal proposition) mesti dipakai sebagai simpulan besar (mayor premise).
- Kata persamaan (common-term) mesti jadi sebutan dari simpulan kecil (minor-premise).
Semua M B
S M
Jadi S B
Di Eulerkan :
Perhatikanlah SYLLOGISM dibawah ini:
- Semua manusia itu berakal.
- Tetangga saya berpikir morat-marit.
- Tetangga saya ini berakal.
Marilah kita pasang satu persatu simpulan menurut hukum
M B
- Semua manusia itu berakal. M
- Tetangga saya, yang berpikir morat-marit ini, ialah manusia.
- Tetangga saya, yang berpikir morat-marit ini (S) ialah berakal (B).
Semua M B
S M
Jadi S B
Rupanya salah, tetapi sebetulnya benar dan pasangan simpulan bisa dibetulkan. Orang boleh berpikir morat-marit. Tetapi bagaimana juga ia masuk golongan (binatang) berakal. Kalau tidak begitu, berapa bagian manusia diatas bumi kita yang berpikir menurut Logika Mistika, kaki ke atas, kepala ke bawah, yang mesti kita keluarkan dari golongan “berakal”. Dalam arti umumnya, bulat, in the board sense, memang semua manusia itu berakal. Tetapi pada arti terkhususnya, in the narrow sense, ada diantara manusia itu yang mempunyai akal miring dari akal sempurna.
Bagian 2. PASANGAN 2 SIMPULAN BESAR.
Misal (saja) : Semua Muslimin mesti sabar (terima nasib dari Tuhan).
Semua orang sabar mesti juga terima kezaliman.
Diatas ada dua simpulan besar, mayor premise, bagiamana kita mesti susun?
Dalam hal ini kita mesti cari pasangan yang bisa menimbulkan akibat. Hukuman yang pertama tiada bisa kita jalankan, karena kedua simpulan itu tidak berbesar dan berkecil, melainkan keduanya besar. Jadi kita mesti lari kehukum kedua.
Lebih baik kita formulakan lebih dahulu, supaya mudah ditinjau. Semua Muslimin dipendekkan jadi B, sabar dengan M dan penerima kedaliman C.
Kita peroleh formula:
Semua B M
Semua M C
Di Eulerkan:
Semua C M Semua M C
Bagaimana perhubungan C sama B?
Pada formula itu kita tak bisa lihat perhubungan C dengan B. Pada gambaran Euler perhubungan itu nyata sekali.
Pada Euler, kelihatan dikiri B masuk M, dan dikanan M masuk C. Jadi B mestinya masuk C, yang terbesar diantara itu. Jadi akibat boleh di Eulerkan dengan:
Apakah sebabnya maka pada formule kita tak bisa mengambil akibatnya?
Jawab: Sebab kita melanggar hukum kedua, yang berbunyi:
Kata persamaan (common term) mesti jadi “sebutan” dari simpulan kecil.
Sebab disini tak ada simpulan kecil, maka simpulan kedua mesti kita anggap sebagai simpulan kecil, yakni semua M masuk C.
Mudah sekali mendapat pasangan menurut hukum kedua itu. Kalau simpulan pertama kita jadikan yang kedua dan sebaliknya, maka kita peroleh:
Semua M C
Semua B M
Jadi Semua B C
Kembali kepada simpulan tiga serangkai, ialah umpama tadi, maka kita mendapat:
Semua penyabar mesti juga terima kezaliman.
Semua Muslimin mesti penyabar.
Semua Muslimin mesti terima kezaliman.
Ini betul menurut Logika, Tetapi apakah betul menurut hukum Islam? Itu terserah pada para Muslimin. Kewajiban saya pada pasal ini Cuma buat menguraikan Logika saja.
Satu Contoh lagi:
B M
Cuma calon surga itu Muslimin.
M C
Tak ada Muslimin yang Kafir.
Formulenya.
Semua B M
Tak ada M C
Pada formula inipun kita tak bisa mengambil akibat. Sebabnya karena ia melanggar hukum 2. Jadi formula inipun mesti di balikkan, seperti diatas tadi, yang pertama menjadi yang kedua dan sebaliknya.
Kita peroleh :
1. Tak ada M C
2. Semua B M
Di Eulerkan:
1 2
Sekarang akibat bisa ditarik, yakni:
Tak ada B C (Lihat peng-Euler-an!)
Bentukan sempurna: Tak ada calon surga yang kafir.
Kembali pada tiga Serangkai sebagai umpama diatas kita bisa bentuk:
Tak ada Muslim yang kafir.
Semua calon surga itu Muslimin.
Tak ada calon surga yang kafir.
Menurut hukum pembalikan, maka yang diatas ini bisa pula kita balikkan dengan tiada mengubah artinya: Tak ada kafir yang calon surga.
Bukan sebagai foya-foya, melainkan sebagai “pelaksanaan” Logika, dan buat dipikirkan dengan tenang seksama, kita persilahkan pembaca menyelidiki susunan simpulan yang dibawah ini:
Tak ada Muslimin yang kafir.
Semua calon surga itu Muslimin.
Tak ada calon surga itu yang kafir.
Tak ada kafir itu bisa masuk surga.
1.800.000.000 manusia yang hidup sekarang kafir.
1.800.000.000 manusia sekarang calon neraka.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, maka semua orang Indonesia itu kafir.
Ribuan juta orang Indonesia dalam sejarah manusia yang + 500.000 tahun itu semuanya kafir. Ribuan juta Indonesia dizaman sebelum Islam itu masuk neraka.
Billiunan, Milliunan, juta-jutaan manusia diatas bumi sebelum dan sesudah Nabi Muhammad SAW lahir, terhitung kafir. Jadi billiunan-billiunan anusia masuk neraka. Tuhan Allah itu Maha Kuasa, Maha Suci, Maha Mulia, Maha Tahu, hadir pada semua Tempo dan pada semua tempat. Jadi pada tiap-tiap detik dan tempat bisa betulkan hati dan laku mahluk-Nya dan terutama Dia Maha-Pengasih.
Ergo.
Jadi Tuhan Allah, sarwa sekalian Alam, yang Maha Pengasih itu akan sampai hati berabad-abad melihatkan ribu-jutaan hambanya yang lemah dan fana itu diazab dibakar api neraka, berkali-kalis sesudah dijadikan sebesar gunung! Allahu Akbar!
Bandingkanlah dengan Logika.
Ingatlah sama definisi Ueberweg, pertanyaan yang pasti yang berarti pasti, apakah satu sifat termasuk pada satu benda? Mesti dijawab dengan pasti: A = A, A bukan non-A.
Apakah Tuhan itu Maha Kasih atau Maha Kejam. Kalau Tuhan itu Maha Kejam, dia tak bisa Maha Kasih (Ingat perkataan maha, yakni sempurna). Kalau Tuhan itu Maha Kasih, maka DIA tak bisa Maha Kejam.
Kalau satu detik saja, satu manusia saja DIA biarkan dimakan api Neraka yang Maha Panas itu, Tuhan tidak lagi Maha Kasih. Jangankan lagi kalau sekiranya DIA membiarkan juta-jutaan manusia dibakar berabad-abad!!
Pasal 7. SEMUA BENTUK SYLLOGISM.
Tiadalah akan saya terangkan dan laksanakan semua bentuk Syllogism. Beberapa bentuk yang sudah dimajukan dan dilaksanakan sampai sekarang sudah cukup untuk pembaca buat memeriksa dan melaksanakan semua bentuk yang dibawah ini akan terlampau panjang sekali kalau saya mesti periksa semua bentuk dibawah satu persatunya.
Bukan maksud saya bahwa semua bentuk itu tiada penting. Seperti dahulu saya anjurkan pada pemuda buat melatih otak dengan Matematika, maka tiada kurang kerasnya permohonan saya pada pemuda melatih otak dengan persoalan Logika.
Tiap-tiap buku Logika biasanya mempunyai persoalan yang mesti diselesaikan oleh muridnya. Menyelesaikan itu artinya tidak saja menegapkan pengertian yang sudah ada, tetapi juga menambah kecerdikan dan kecepatan menyelesaikan sesuatu persoalan yang berhubungan dengan Logika. Terutama dalam satu perdebatan latihan semacam itu akan nyata sekali memberi keuntungan besar. Karena sesuatu pendekatan menuntut jawab yang “tepat dengan cepat”. Jawaban semacam itu bisa mendiamkan lawan seperti kilat dan petus.
(Petunjuk: Periksalah semua bentuk Syllogism dibawah ini satu persatu dengan cara Euler. Sesudah nyata kebenarannya, cobalah cari contoh yang hangat).
Kadang-kadang semua bentuk itu dibagi atas 4, dan kadang-kadang atas 3 golongan. Semua bentuk itu dari masa Aristoteles, Ahli Logika Luhur itu, sampai sekarang hampir tiada berubah. Pembagian dibawah ini dijalankan oleh John Stuart Mill. Ingatlah lebih dahulu kedua hukum Logika, dan ingatlah bahwa pada contoh dibawah ini “kata-persamaan” common-term itu, ialah B, bukannya M lagi.
è artinya “masuk” ...artinya “jadi” atau “sebab itu”.
BENTUK PERTAMA
Semua B C Tak ada B C Semua B C1 º Semua A B 2 º Semua A B 3 º Sebagian A B
(Jadi)
Semua A C Tak ada A C Sebagian A C
Tak ada A C
4 º Sebagian A B
Seb. A tak C
BENTUK KEDUA
Tak ada C B Semua C B Tak ada C B5 º Semua A B 6 º Tak ada A B 7 º Sebagian A B
.. .. ..
Tak ada A C Tak ada A C Seb. A tak C
Semua C B
8 º Seb. A tak B
..
Seb. A tak C
BENTUK KETIGA
Semua B C Tak ada B C Sebagian B C9 º Semua B A 10 º Semua B A 11 º Semua B A
.. .. ..
Sebagian A C Sebagian A C Sebagian A C
Semua B C Seb. B tak C Tak ada B C
12 Sebagian B A 13 Semua B A 14 Sebagian B
.. .. ..
Sebagian A C Sebagian A C Seb. A tak C
BENTUK KEEMPAT
Semua C B Semua C B Sebagian C B
15 º Semua B A 16 º Tak ada B A 17 º Semua B A
.. .. ..
Sebagian A C Seb. A tak C Sebagian A C
Tak ada C B Tak ada C B15 º Semua B A 16 º Tak ada B A 17 º Semua B A
.. .. ..
Sebagian A C Seb. A tak C Sebagian A C
18 Semua B A 18 Sebagian B A
.. ..
Seb. A tak C Seb A tak C
Pasal 8 “C U M A”.
Umpamanya: “Cuma” orang Arab yang jadi tukang jual mahal dan beli murah barang gadaian orang tersempit.
Simpulan semacam ini berarti: Semua orang yang jual mahal dan beli murah barang gadaian orang tersempit itu, ialah orang Arab.
(Sekarang Oktober 1942).
Simpulan yang berupa “Cuma” ini tiada satu dua kali kita berjumpa. Simpulan semacam ini boleh rubah bentuknya dan susun menjadi Syllogism biasa:
Misal : Simpulan Besar : Cuma kaum Nasrani yang balas jahat dengan baik “kalau orang
tampar pipi kirimu, kasihkanlah pipi kananmu”, kata Nabi
Yesus.
SK : cuma pembalasan jahat yang bisa bikin manusia berdamai. Dijadikan Syllogism biasa.
Akibat : cuma kaum Nasrani yang bisa bikin manusia berdamai. Dijadikan Syllogism biasa.
M C
SB : Semua orang yang membalas jahat dengan baik itu, ialah kaum Nasrani.
B M
SK : Semua manusia berdamai itu, ialah orang pembalas jahat dengan baik
B C
Akibat: Semua manusia berdamai itu ialah kaum Nasrani.
Formulanya.
S B : Semua M C
S K : Semua B M
A : Semua B C
Cuma lawan Cuma: “Cuma” yang diatas boleh dibalas dengan ”Cuma” pula.S B : Semua M C
S K : Semua B M
A : Semua B C
S B : Cuma Negara Nasrani yang menjajah dan menimbulkan Perang Dunia.
S K : Cuma penjajahan dan perang dunia yang memusnahkan harta dan jiwa seluruh dunia.
Akibat : Cuma Negara Nasrani yang memusnahkan harta dan jiwa seluruh dunia (Nasrani, Kapitalist, Imperialist, ialah mesti dianggap sebagai Tiga Serangkai Pula).
Syllogism biasa:
M C
S B : Semua penjajahan dan Perang Dunia ditimbulkan oleh Negara Nasrani.
B
S K : Semua pemusnahan harta dan jiwa ditimbulkan oleh penjajahan dan perang dunia.
B
Akibat: Semua pemusnahan harta dan jiwa diseluruh dunia itu ditimbulkan oleh Negara Nasrani.
Formule dan Eulernya seperti diatas juga!
KETERANGAN:
Contoh diambil terutama sebagai bahan buat pelaksanaan saja.
Yang dimaksud dengan menjajah, ialah perbuatan Negara Barat, resminya beragama Nasrani dan berdasarkan kapitalis serta imperialistis dalam arti modern terhadap bangsa yang tinggal di Afrika, Asia, Australia, dan Amerika!
Jepang tak turut, tentu akan turut nasib satu jajahan, kalau ia kalah dan turut menjajah kalau menang.
Tapi yang dimaksudkan dengan Perang Dunia, ialah peperangan yang meliputi seluruh dunia dalam arti sebenarnya. Contoh yang tepat ialah, peperangan tahun 1914 – 1918 dan peperangan 1939 – 1945.
Pasal 9. SEBAB DAN AKIBAT DLL.
Mulanya akan dibicarakan sedikit “dll” itu Ariestoteles meninggalkan beberapa kata Logika sebagai pusaka yang sampai sekarang berurat berakar dalam science. Diantaranya ialah genus dan species; differentia dan accident. Perkara ini sedikit akan diraba karena penting buat membikin definisi genus dan species. Dalam kalimat “Manusia itu termasuk hewan”, maka hewan itu dinamai “genus” dan manusia itu dinamai “species”. Kalau genus itu kita terjemahkan bangsa, maka species itu boleh di terjemahkan jenis. Tetapi boleh juga genus itu kita terjemahkan jenis, dan dalam hal ini manusia itu diterjemahkan ragam atau macam. Pendeknya genus lebih luas daerahnya dari pada species, seperti rumah lebih luas daerahnya dari pada bilik, ialah bagian dari rumah; kaum dari golongan dsb. Yang genus itu pada satu perhubungan boleh jadi species menurut perhubungan lain. Sebab itu diatas tidak saya terjemahkan. Pentingnya menentukan daerah yang lebih luas itu sudah nyata, kalau kita ingat bagaimana kita membikin definisi. Pertama kita cari daerah yang lebih luas dari barang yang mau didefinisikan itu (Ingat juga gambaran Euler!) kemudian kita cari differentia, perbedaan.
Differentia, ialah sifat atau jumlah beberapa sifat itu termasuk pada satu benda, sifat atau jumlah sifat mana memisahkan benda itu dari benda lain yang sama klasnya dengan benda tadi.
Accident, kebetulan, ialah sifat atau jumlah sifat yang tiada berkenaan dengan namanya benda itu, ataupun dengan sifat terkhususnya dari benda itu. Yang menamai seseorang “tukang besi” umpamanya, ialah kepandaiannya mengerjakan barang besi. Kalau selainnya dari pada itu dia juga pandai memancing ikan atau bertukang kayu, maka hal dibelakang ini Cuma accident saja, sifat kebetulan saja buat dia sebagai yang umum namai tukang besi.
Bagian 1. SEBAB DAN AKIBAT.
Sebab dan Akibat, cause and effect, causality, oorzaak en gevolg. Ini memang bikin repot ahli filsafat kolot dan lebih-lebih ahli agama yang mau mencemarkan kaki pula pada Dunia Filsafat atau Ilmu Bukti. Science, jaman sekarang tiada bayak lagi memusingkan kepala seperti ahli filasfat kolot dan ahli agama itu.
Marilah sebentar kita takjub! Layangkan pikiran keratusan ribu tahun kebelakang. Perhatikanlah nenek dari nenek moyang kita yang tinggal di gua batu atau diatas pohon kayu. Pada satu hari ia patahkan dahan kayu dan pisahkan ranting dan daunnya.
Sekarang pekerjaan semacam itu kita sebut “dia membikin tongkat”. Dengan tongkat ini dia pukul kepala ular, menjangan atau monyet buat dimakan. Berkali-kali dia membuat tongkat dan membunuh binatang dengan tongkat itu, dari bapak turun keanak dan cucu.
Sesudah kerja dan makan, nenek kita itu sering kita juga melayangkan mata dan pikirannya ke horizon, cakrawala batas pemandangan dan kelangit. Ajaib semuanya! “Siapa yang bikin?” Inilah pertanyaan yang timbul padanya: Cocok dengan pekerjaan buat penghidupan sehari-hari dan barangkali juga sudah termasuk kedalam “bahasanya”, dia pikir, bahwa semuanya itu ada mempunyai “pangkal dan ujung” seperti tongkatnya. Berkepala dan berekor seperti ular makannya. Ada pikiran dan pembikinnya, seperti dia dan tongkatnya. Ada bersebab dan akibatnya: seperti ular mati karena pukulannya.
“Semua di Alam ini” katanya ada bersebab dan berakibat. “Yang bikin Alam ini, ialah pohon sagu” katanya, pada satu tempat dan pada satu tempo. “Yang bikin Alam ini Naga” katanya pada lain tempat dan lain tempo. Berlain-lain “pembikin” creator itu, ialah menurut keadaan perkakas dan pencahariannya. Tetapi semua “pemikir” diantara nenek moyang kita yakin, bahwa mesti ada yang bikin alam ini seperti dia “bikin” tongkat. Mesti ada asal, sebab, dari “semua” ini, seperti ular tadi mati sebab pukulannya.
Semua itu pasti “menurut pikirannya”. Sebab atau asal dari tongkat tadi, ialah dia sendiri. pasti yang menjadi sebab matinya ular tadi, ialah pukulannya. Pasti sebab dari alam ini ialah pokok sagu atau Naga.
Atas rel aliran pikiran semacam itu juga, sebetulnya selang belum berapa lama, cuma beberapa ribu tahun saja, sedangkan sejarah manusia sudah 500.000 tahun dan di Egypt lahir ahli filsafat, yang pikir, bahwa Dewa Ra bikin langit, udara, bintang, bumi, sungai Nil dan Sahara dibikin dengan satu perkataan saja: P t a h, lebih cepat dari nenek moyang kita membikin tongkat. Lebih besar Kodratnya “pembikin” baru ini dari pada nenek moyang kita dalam 500.000 tahun dikumpulkan jadi satu.
“Sebab dan akibat” itu tak bisa bercerai lagi semenjak zaman Ptah ini. sebab dan Akibat ini masuk theology, ilmu ketuhanan. Tuhanlah yang asal dari semua ini: Bintang dan Bumi, Air dan Udara, Manusia dan Hewan, lembu dan ular, Malaikat dan setan, Kapitalis dan Buruh, bajingan dan mangsanya.
Sebab itu mestinya punya sebab pula. Sifatnya sendiri dari causality (sebab dan akiba) itu ialah: Semua akibat (barang atau kejadian) itu mesti mempunyai sebab. Tetapi kalau ditanya kepada ahli ketuhanan tadi, siapa atau apa sebabnya Tuhan itu, dengan perkataan lain, siapa pembuat itu, maka jawabnya: “Tuhan sendiri”. jadi pada jawab ini semua filsafat yang berdasarkan “semua akibat itu mesti ada sebab” berhenti sama sekali. Disini sebab tak mempunyai sebab lagi. Disini dasar “akibat ber-sebab” tadi membatalkan dirinya sendiri.
Sebab itulah kita katakan diatas ahli-agama itu ”mencemarkan” kaki pada dunia kotor, zat nyata, ialah filsafat, science. Kepercayaan itu baiklah tinggal pada daerahnya saja, yakni kepercayaan. Kepercayaan itu adalah perkara masing-masing orang. Disini paksaan tidak berguna dan tak boleh dijalankan. Yang dipercaya itu tak perlu dibuktikan, diuji lagi. Itulah bedanya kepercayaan dengan Ilmu Bukti. Kepercayaan boleh dikatakan daerah pada perasaan “feeling” semata-mata. Dialektika dan Logika ialah perkakas otak, tak bisa dimasukkan pada daerah kepercayaan itu.
Kalau ada orang yang percaya pada Naga, Setan atau Tuhan, itu tanggungan masing-masing. Percaya itu tak perlu pula consequence dan consistent, yakni: Akibat mesti terus cocok dengan undang. Jadi kalau dijadikan dasar, bahwa semua akibat ada sebabnya, dasar ini mesti juga diteruskan dengan consequen, bahwa sebetulnya Tuhan, sebagai sebab terakhir itu tidak ada. Karena semua sebab mesti mempunyai sebab pula: jadi Tuhan itu mesti punya pembikinnya pula. Pendeknya barang yang terakhir itu tak ada, dalam “semua akibat mesti punya sebab”, pangkal.
Lagi! Ahli filsafat mentah, pada zaman nenek moyang kita itu tak bisa disalahkn benar, kalau dia pandang “pembikin” tongkat itu sebagai “sebab” dari tongkat semata-mata. Tongkat itu sebaliknya sebagai “akibat” semata-mata. Tetapi kalau sekejap mata saja kita layangkan Dialektika dimata kita, nyatalah sebab itu cuma sebab dipandang dari satu penjuru, jadi relative. Kalau dipandang dari penjuru lain, maka sebab tadi menjadi akibat. Kita mesti juga insyaf, bahwa tongkat yang dianggap akibat bikinan itu, sebetulnya juga sebab, ialah pembikin hidupnya nenek kita tadi. Dari penjuru penghidupan, maka tongkat perkakas tadi jadi sebab. Begitu juga nenek kita sebagai sebab matinya ular tadi, menjadi akibat kalau dipandang dari penjuru hidupnya. Ular mati itu jadi sebab hidupnya si nenek, ialah makanan si nenek. Demikianlah sebab dan akibat itu masing-masing sebagai terdiri sendirinya, tetap, pasti absolute, dalam Dialektika tak ada.
Akhirnya ahli filsafat mentah tadi menganggap nenek kita tadi sebagai sebab yang tunggal, tak berseluk-beluk, kena-mengena dengan yang lain, seperti menurut penganggapan Dialektika. Betul dahan kayu bertukar menjadi tongkat. Dalam hal ini si nenek mesti mempunyai kekuatan cukup buat mematahkan dahan tadi. Dan tak bisa dilupakan, bahwa masyarakat si-nenek mesti sudah sampai ketingkat membuat perkakas semacam itu. Ketiga, dahan kayu mesti ada. Kalau tidak tongkat juga tak bisa dibentuk, walaupun kedua syarat yang pertama ada. Jadi kalau si nenek pindah ke gurun pasir dan kutub utara, bagaimanapun juga si-nenek tak akan bisa bikin tongkat. Tentu banyak perkara lain yang “serta” menjadi sebab, antecedent namanya dalam hal ini ialah perkara yang mendahului akibat.
Science tentulah sudah insyaf akan hal diatas. Sebab atau cause itu tidak lagi diartikan dengan arti sempit seperti diartikan oleh ahli filsafat mentah atau ahli ketuhanan. Sebab itu sudah dianggap seperti salah satu dari beberapa sebab, seperti lebih dahulu sudah saya bilang sebagai alat adanya, sebagai condition saja.
Kita lihat saja satu “weather forescast”, pengarian hari. Disini perkataan mesti itu sudah tak ada lagi; diganti dengan mungkin (possible) dan boleh jadi (probably). Karena bukan satu perkara, antecedent yang berada disini, melainkan bermacam-macam, seperti: panas, tekanan-udara, angin, hujan dll. Ilmu hari, tak berani berkata, mesti hujan atau mesti panas. Beberapa perkara tadi masing-masingnya bisa jadi “sebab”. Pada satu macam susunan dari beberapa antecedent atau dari beberapa perkara tadi, hujan itu mesti jatuh. Pada susunan lain tak mungkin atau cuma boleh jadi jatuh. Apalagi political “forecast” pengiraan politik (bukan dimaksud nujum seperti nujum pa Belalang atau Joyoboyo), karena pengiraan diatas mesti berdasrakan ekonomi, masyarakat, dalam dan luar negeri, lebih susah dicari cause, sebab itu, lebih aman dipakai sebab dalam arti luas sekali, ialah condition alat adanya, salah satu alat saja.
Oleh ahli Logika Mill, antecedent yang mesti menerbitkan akibat itu dinamai cause, sebab: beberapa antecendet lain yang menyertai saja, dia namai conditions.
Tetapi menurut pikiran saya, arti terkhusus dari sebab ini jarang didapat pada dunia bukti ini. kalau saya hempitkan jari saya pada semut ini dan pada saat ini juga semut itu mati, maka jari saya, menurut Mill, dan lain-lain, betul sebab dari matinya semut tadi. Kalau saya tidak hempitkan jari saya, memang semut tak mati pada saat itu. Kecuali kalau memang si-semut sudah sakit dan kebutulan mati pada saat itu juga. Tetapi kalau sesudah saya hempitkan jari saya, saya kasih lepas semut tadi barang satu detik saja. Jadi sudah ada tempo antara pekerjaan saya yang buas tadi dengan matinya semut, mungkin satu atau beberapa antecedent, perkara lain mencampuri.
Begitulah ringkasnya kalau kita pandang dengan mata Dialektika, kalau sebab itu kita perhubungkan dengan tempo, kena-mengenanya, pertentangan dan gerakan barang, maka arti mentah dari sebab tadi melayang keudara ether, kosong, seperti Logika Mistika sendiri.
Begitulah science zaman kini berjaga-jaga, mengartikan dan melaknakan sebab itu. Tidak lagi sebab itu dianggap “barang terakhir” yang tak mempunyai sebab lagi. Tiadalah pula dianggap barang yang absolute, tungal sendirinya. Melainkan kena-mengena dengan akibat. Akhirnya tidak tunggal, melainkan disertai oleh sebab, yakni antecendent yang lain-lain.
Demikianlah sering science, tak jawab lagi pertayaan why? Apa sebab, melainkan how? Bagaimana? Karena apa sebab tadi terus-menerus menerbitkan “apa sebab” pula.
Dalam Ilmu Jiwa (Perkara pikiran, Kemauan dan Perasaan), maka sebab dan akibat itu juga diganti dengan “drive and mechanism”, penumpu (seperti gasoline atau listrik) dan mesinnya. Tetapi kedunya pun ada perlantunannya.
Cocok dengan pemandangan diatas, saya baca pada salah satu tempat science menetapkan maksudnya, sebab itu: buat mendapat pemandangan (peninjauan) pada sistem (susunan) yang diperiksa, baik dalam umumnya ataupun terkhususnya dengan memperingatkan persamaan dan perbedaan, atau undangnya beberapa Bukti dalam sistem tadi, supaya dengan begitu bulatnya susunan bukti tadi bisa dipahamkan dengan secara teratur, tersusun. Jadi cause itu cuma buat mengadakan pemandangan bulat saja; buat sementara saja. Seperti sudah dibicarakan pada Induction dahulu, buat menyusun beberapa bukti yang kacau-balau. Berkenaan dengan hukum, Law, maksdunya ialah satu general statement, pengumuman, penyusunan saja. Hukum ini bisa dipakai sebagai “working hypothesse”, pekerjaan periksa-memeriksa saja, kalau perlu boleh ditukar. Bukanlah maksudnya buat mencari “ultimate cause” sebab yang penghabisan atau “permanent cause”, sebab yang tetap.
Dengan arti inilah kita maknakan “sebab”, kalau kita uraikan pasal berikut.
Pasal 10. LIMA METODE PERALAMAN.
“Apa sebab maka bandanku terapung, kalau saya mandi”, beginilah kira-kira pertanyaan yang mendengung-dengung ditelinga Archimedes sebelum ia mendapatkan hukumnya. Sebab ialah karena badannya ditolak keatas oleh air.
Begitulah, dahulu cara “Induction” dari Bukti naik ke Hukum, kita laksanakan pada Ilmu Alam, dengan mengambil Archimedes sebagai contoh.
Memang Induction mencari sebab dari akibat. Archimedes mencari sebab dari akibat: badannya terapung dalam air”. Memang pula Ilmu Alam (Ilmu Kodrat, Ilmu Kimia) dengan jalan pengalaman (experiment) bisa jitu memperlihatkan perhubungan sebab dan akibat.
Mencari sebab – dengan arti luas ialah alat adanya – dilaukan oleh Ahli peralaman dengan 5 jalan: (1) Jalan persamaan, method of agreement, (2) Jalan Perbedaan, method of Difference, (3) Jalan sisa, Residue, (4) Jalan perubahan bersama, Concomitant variation, (5) Jalan paduan, Joint Method.
- Jalan Persamaan.
Dia baca buku lama dan baru, tanya dokter dan dukun! Dia peroleh beberapa perkara (atecendet) yang mungkin jadi sebab. Kemudian semua perkara itu dia susun menurut jalan persamaan.
Bagaimanakah kedudukannya jalan persamaan itu?
Persamaan diantara beberapa bukti atau kejadian itulah yang barangkali menjadi sebab: dari beberapa bukti atau kejadian tadi.
Si Pemeriksa, menyususn beberapa bukti, yang diperolehnya tadi.
Pertama: Nyamuk Anopheles, teguran hantu, makan rujak, semuanya disangka berkumpul dan disangka menimbulkan demam (dingin-panas).
Mana yang menjadi sebab dari akibat, belum diketahui. Dia main formula: Nyamuk Anopheles itu dia pendekkan dengan huruf A dan akibatnya a (dia belum tahu, bahwa akibatnya itu demam). Teguran hantu dirimba atau ketika mandi hari panas itu H dan akibatnya h, makan rujak itu R dan akibatnya r.
Kedua: Nyamuk Anopheles, Angin Malam, melangkahi kubur orang keramat, semuanyaberkumpul pula menimbulkan demam (panas). Mana yan jadi sebab, belum diketahui. Dia bikin formula lagi: Nyamuk seperti pada barisan ke 1 juga terus bernama A dan akibatnya yang belum diketahui itu terus bernama a. Angin Malam, calon sebab yang baru dia namai M dan akibatnya m. melangkahi kuburan orang keramat itu, dinamai K dan akibatnya k. Dua barisan (1 dan 2) dari calon sebab tadi dan akibatnya dia diajarkan pada dua baris ditinjau:
Pertama : A H R akibatnya a h r: a itu ialah: demam, panas, dingin dan h r masing-masing
penyakit satu.
Kedua : A M K akibatnya a m k: a itu ialah demam, panas, dingin juga dan m k penyakit
Satu-satu
Pada dua jajar itu kita lihat akibat ialah demam selalu ada dan A diantara tiga antecedent, yakni para calon-sebab juga, selalu ada.
Sekarang dia periksa mulai dari akibat: demam panas (a) tak bisa disebabkan oleh H dan R, karena pada jajar kedua H/R tidak ada, tetapi akibatnya yakni demam itu sebaliknya ada. Juga M/K tidak bisa menerbitkan demam, karena pada jajar pertama M/K itu tidak ada, sedangkan sebaliknya demam-panas itu ada. Jadi nyatalah A yakni nyamuk Anopheles yang jadi sebab. Bukan H, hantu, R, rujak, M, angin malam atau K, yakni kuburan Sang Keramat. H/R dan M/K pada dua jajar itu boleh dibuang dengan tiada menggangu akibat.
Dalam peralaman, experiment, dimana si Pemeriksa ingin tahu akibat dari beberapa calon sebab, maka ia mulai dari sebab:
A pada jajar kesatu tidak bisa menimbulkan hr, karena pada jajar kedua A juga ada tetapi hr tak ada.
A pada jajar kedua tak bisa menimbulkan mk, karena jajar kesatu A juga da tetapi MK tak ada.
Jadi akibat dari A yang hadir pada dua jajar itu, mesti juga hadir pada dua jajar. Dia itu tak lain, malinkan a, yakni demam, dingin, panas. Ini gampang saja dari pemeriksaan science, buat memberi pemandangan sederhana saja.
Sesuatu pemeriksaan scientifik, tiadalah begitu gampang, kadang-kadang sebab itu kembar dengan sebab lain. Jadi akibatnya berpadu pula. Ingatlah satu perahu dihanyutkan arus, umapama dari barat ke timur kalau angin kuat bertiup dari utara keselatan maka perahu itu tak akan jatuh ditimur, melainkan diantara timur dan selatan, ditenggara umpamanya.
Dua sebab seperti Oxigen dan Hydrogen dalam kimia dahulu berpadu jadi barang ketiga yang berlainan sifat dari dan asalnya, bernama air. Selain dari sebab itu bisa kembar, boleh jadi dua sebab itu berlawanan. Kalau keduanya sama kuat seperti 2-2 = 0, maka mereka keduanya bungkam, berdiam diri saja, walaupun hadir.
Tiadalah sempat kita memeriksa semua hal tersebut diatas. Tetapi jalan mencari sebab dengan Jalan Persamaan seperti diatas itu boleh diiktisarkan: Calon sebab yang hadir pada semua jajar itulah yang sebabnya kejadian. Asingkanlah dia, yang hadir pada semua jajar itu. Dia itulah yang sebab, dimana si ,”Polan” ada, disana ada “akibat”. Kalau begitu si “Polan”lah yang menjadi “sebab” yang menjadi “biang” keladinya”.
- Jalan Perbedaan.
Ini kebalikan dari jalan persamaan. Menurut jalan persamaan tadi: dimana Anopheles ada, disana malaria ada. Tetapi menurut jalan perbedaan; dimana nyamuk Anopheles tak ada, disana pula demam, dingin, panas tak ada. Pada jalan persamaan kita susul saja si Polan (calon sebab) itu pada beberapa jajar dimana si Polan selalu hadir dan akibat selalu ada.
Pada jalan perbedaan kita bandingkan jajar yang berakibat dengan jajar lain, yang semuanya bersamaan dengan jajar pertama kecuali tak berakibat. Pada jalan persamaan si Polan yang dicurigai, jadi sebab itu sama pada dua (atau lebih 1) jajar, tetapi perkara yang lain H/R semua berlainan dengan M/K.
Pada jalan perbedaan kedua jajar bersamaan semua perkaranya kecuali pada satu jajar “si Polan” itu ada dan pada jajar keuda si Polan “minggat” tak ada:
Jajar ke-1 .................................................... A/H/R ahr.
Jajar ke-2 .................................................... H/R hr.
Si pemeriksa simpan saja dalam hatinya hal ini: Ketika Si Polan ada, akibatnya juga ada (seperti tuan Resersir pikir hal ini kalau “die vent” ada, maka selalu ada keributan). Coba saja periksa bagaimana jadinya, kalau dia tak ada. Kalau akibatnya tak ada pula, maka teranglah sudah, bahwa “die vent” si Polan itulah yang sebab.
Pemeriksaan: kalau akibat ke-1 dari AHR itu ahr dan
ke- 2 akibat dari HR itu hr sudahlah ternyata bahwa akibat dari A itu
ialah a.
Dimana A itu ada, akibatnya juga ada, ialah a (jajar ke-1) Dimana A tak ada disana, akibatnya a pun tak ada (Jajar ke-2).
Teranglah A yang jadi sebab.
Kalau nyamuk Anopheles, Hantu dan Rujak ada, maka akibatnya, ialah: deman, panas, ada. Tetapi jika Sang Nyamuk tak ada walaupun Hantu dan Rujak keduanya ada, demam panas tak ada. Tentulah Sang Nyamuk biang keladinya. Jadi A tak boleh dibuang, kalau dibuang akibatnya juga hilang. Boleh juga kita mulai dari belakang.
Ke 1 kita susun akibat, yakni ahr, disebabkan AHR.
Ke 2 akibat, hr, saja.
Kalau dalam hal kedua ini antecedentnya calon sebabnya ialah HR, maka kita tahu, bahwa a pada jajar ke-1 itu dilahirkan oleh A, tidak oleh HR. Kalau kita tahu bahwa hr, umpamanya pusing kepal dan sakit perut itu diterbitkan oleh mandi hari panas (ditegur Hantu) dan makan rujak, maka yakinlah kita bahwa a, yakni demam panas disebabkan oleh A, Anopheles (nyamuk).
- Jalan Sisa (Residu).
Pada Induction, pemeriksaan dahulu seudah kita ketahui bawah, akibat dari A ialah a, dari B ialah b. Sekrang kita kurangkan semua akibat dari abc dengan jumlah bc: kita peroleh sisanya:
- Kita tahu, bahwa akibat a ini mesti disebabkan oleh A. Aturan bekerjanya pada jalan ini ialah:
Contoh yang populer:
Seorang mendapat demam, dingin, panas dari buku bacaan seorang dokter dan dukun. Dia kumpulkan semua calon sebab: nyamuk Anopheles, teguran Hantu dan makan Rujak, mandi dihari panas, ABC akibat abc.
Dia tahu, bahwa akibat dari teguran Hantu B, cuma pusing kepala, b, dari makan rujak C, cuma sakit perut c. Jumlah sebab BC dan jumlah akibat ialah bc. Tinggal lagi akibat abc – bc = a. Dengan yakin dia putuskan, bahwa sakit demam, dingin-panas mesti dia peroleh dari nyamuk Anopheles (A). Jalan ini daam Ilmu Bintang banyak pakai dan banyak pula hasilnya.
Contoh:
Saat bintang peredarannya tentulah dibentuk oleh beberapa bintang yang lain. Sudah diketahui beberapa bintang lain yang membentuk jalan peredarannya, umpamannya bintang ABC akibat abc. Tetapi masih ada akibat, x, misalnya yang belum diketahui bintang yang membentuk akibat x itu. Si Ahli bintang main hitung dan main teropong. Kemudian dia dapati bintang itu, x umpamanya.
- Jalan Perubahan Bersama (Concomitant variations).
Kalau kita jajarkan beberapa contoh, yang bersamaan cuma dalam hal panas saja (A), dan semua hal lainnya, berbeda satu-persatu, maka kita bisa pakai jalan Persamaan. Disini panas sebagai sebab atau akibat bisa ditangkap dan diasingkan. Tetapi selainnya dari perkara panas semua contoh itu juga bersamaan dalam hal badan. Semua contoh itu punya badan. Tak ada barang yang mempunyai panas dan tak punya badan. Jadi jalan persaaam tak bisa dipakai.
Kalau kita bisa jajarkan beberapa contoh pula, yang satu jajar mempunyai panas (A), jajar yang lain tiada mempunyai panas (A) itu, maka kita boleh pakai jalan perbedaan. Kalau pada jajar tak-ber-A itu, tak punya panas itu, akibat juga lenyap, maka nyatalah bahwa panas (a) itulah yang menjadi sebab. Tetapi keberatan diatas kita juga jumpai disini. Kita gampang susun pada satu jajar, beberapa benda yang sama-sama punya panas (A), tetapi mustahil mendapatkan benda pada jajar kedua yang tak-ber-panas.
Pun jalan perbedaan juga tak bisa dipakai. Kalau kita bisa kurangkan jumlah semua sebab dengan jumlah sebab yang sudah diperalamkan ABC-BC = A dan sisanya cuma satu (A) ialah panas, maka kita bisa pakai jalan sisa. Kita tahu bahwa A, panas itulah yang menjadi sebabnya akibat (a). Tetapi sisanya tiada saja A (panas) tetapi juga badan, ialah badan yang perlu buat mengandung panas. Jadi kita tak bisa tahu, apakah panas ataukah badan yang menerbitkan akibat. Jadi jalan sisa-pun tak bisa dipakai. Untunglah ada lagi satu jalan. Walaupun calon sebab itu (disini panas) tak bisa sama sekali kita ceraikan dari bendanya, kita bisa ubah calon sebab itu dengan tidak melenyapkan (panas) itu sama sekali. Kalau perubahan sebab itu (A) mesti diikuti pula oleh perubahan (modification) dari akibat (a), maka kita tahu, bahwa calon sebab (A) itulah yang sebab sebetulnya. Jadi kita turun-naikkan (quantity, banyak) panas itu. Turun-naiknya itu menyebabkan turun-naiknya akibat pula.
Penunjuk jalan, bekerja, menurut Jalan Perubahan Bersama ini: Apabila perubahan satu bukti atau kejadian diikuti oleh perubahan bukti atau kejadian lain, maka bukti atau kejadian itulah yang menjadi sebab atau akibat dari bukti atau kejadian lain itu.
Galilea dan Ahli Bintang tadi mesti lari pada jalan perubahan tergantung disebabkan tarikan bumi, seperti buaian pendulum (gandulan) jam, galilea berjumpakan pengaruh gunung. Gunung ini seperti panas tak bisa dilenyapkan. Ahli Bintang yang memeriksa “pasang naik dan pasang turun” berjumpakan pengaruh bulan. Bulan pun tak bisa dilenyapkan dari pengalaman (experiment).
Galiliea dan Ahli Bintang tadi mesti lari pada jalan perubahan bersama. Tetapi contoh dari jalan keempat ini, akan diberikan bersama dengan jalan terakhir yang akandiuraikan dibelakang ini. jadi seperti membuka pundi, dua tiga hutang langsai. Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
- Jalan Campur Aduk (Joint method).
Sebagai perkara terakhir dari uraian cara bagaimana seorang scientist bekerja, mencari hakekat berupa sebab atau hukum, sebagi perkara terakhir itu, kita ambil contoh dibawah ini: Contoh itu diambil oleh J. S Mill dari pemeriksaan Dr. Brown Seguard. Contoh itu akan susah dimengerti kalau disalin begitu saja. Sebab itu saya akan ambil maknanya saja. Kalau perlu ditambah sama-sini. Sudah tentu contoh ini cuma salah satu dari contoh scientist bekerja.
Seorang Mistikus tak perlu menghirauakn bukti, benar atau banyaknya bukti yang mau diperiksa. Tak perlu memperamati atau memperalami buktinya itu. Tak perlu memperdulikan perhubungan sebab dan akibat. Tak perlu ia memperdulikan apakah simpulan yang diperolehnya itu benar buat semua tempo atau tempat. Apalagi jalan mencari undang atau sebab itu. Ini semua perkara diluar perhatian dan maksudnya hal gaib tadi. Kalau impiannya bisa melayang kesemua penjuru Alam melalui semua Bintang dan awang-awang, atmosphere, stratosphere dan sebagainya melalui dunia fana dan baka, surga dan neraka, kalau perut kosong mata tak tidur beberapa hari, pikiran memang bisa melayang lebih cepat dari flying fortress dan bisa pula berjumpa dengan yang digambar dalam otak: malakat atau bidadari yang bermata seperti burung merpati; kalau “teori” berupa kepercayaan baru yang didapatnya menyelimuti semua kegelapan zamannya, memberi pengharapan dan menghilangkan ketakutan manusia dalam masyarakatnya; kalau seterusnya lidahnya cukup liat seperti karet dan urat leher ditangannya kuat seperti baja: terutama kalau dalam pertempuran mulut dan tangan dia bisa kuat “menang”, maka kepercayaan dia tadi jadi kepercayaan umum.
Dia bisa dianggap sumber kekuatan dan bisa dianggap Nabi atau Tuhan sendiri. Tetapi si Scientist tak bisa menetapkan tinggal namanya dalam sejarah manusia dengan kalah atau menang berperang mulut atau jiwa saja.
Kalau “simpulan akibat” yang diperolehnya dengan jalan scientific tak bisa dilaksanakan, diperalamkan disemua tempat dan tempo, gagallah teori atau hukum yang diperolehnya. Sebagai pemeriksa atau perintis jalan dia bisa terus dihargai, tetapi hasil pemeriksaannya tak akan diangap sebagai sumber hakekat, tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas (seperti adat asli Minangkabau). Akhirnya “hakekat” yang diperoleh scientist, bukanlah hakekat yang mesti diterjemahkan dengan pasti atau dilaksanakan dengan tepat dan tak putus-putusnya. Satu kali saja berjumpa kegagalannya, semua hakekat itu mesti dicurigai, buat dibentuk baru atau dibuang sama sekali.
Barang siapa tiada menganggap simpulan science itu sebagi “working hypothesis”, teori buat dilaksanakan, dipakai dan kalau perlu dilemparkan, maka jatuhlah ia pada dunia dogma, dunia kepercayaan semata-mata.
Kembali pada Dr. Brown-Seguard, sebagi salah satu contoh pemakai jalan Campur Aduk.
Pasal 11. UNDANG Dr BROWN-SEGUARD
Lebih tinggi goncangannya (gemetarnya) urat (hewan atau manusia) ketika mati, lebih lambat urat itu tegng dan lebih lama ketegangan itu dan lebih lambat urat itu jadi busuk. Dengan perkataan lain: keras kendurnya goncangan urat selalu diikuti oleh cepat-lambatnya ketagangan urat. Hukum inilah yang dia mau uji dengan peralaman dan Jalan Logika.
Ke-1. Dia potong satu (urat) sarafnya satu hewan, pada kaki kiri. Ini kaki jadi lumpuh. Kaki kanan tinggal sehat. Kedua kaki pada satu binatang tadi semua bersamaan, kecuali kirinya lumpuh dan kanannya sehat. Hewan tadi segera dibunuh. Sedang mati kelihatan goncangan uratnya kaki lumpuh lebh cepat dari kaki sehat. Jadi perbedaan itu dalam hal goncangan dan tegang urat itu terdapat pada lumpuh dan sehat (Jalan Perbedaan).
Dia peralamkan dua, tiga sampai empat kali. Dia takut kalau ada perbedaan lain dari lumpuh dan sehat saja. Sebab itu dia ambil bermacam-macam hewan, tetapi hasilnya sama. Sekarang hewan tidak segera dibunuh sesudah dilumpuhkan. Sebulan sesudah itu, sekarang goncang dari urat kaki lumpuh tadi berhenti. Akibat juga berlainan dengan pembunuhan, pada saat hewan dilumpuhkan; sekarang ketegangan urat lebih keras datang dan kurang lama. perbedaan pada dua pembunuhan itu cuma satu, ialah: Perbedaan kerasnya goncangan urat.
Pada pembatasan pertama, goncangan urat keras dan ketegangan sesudah mati lebih lambat datang dan lebih lama. pada pembunuhan kedua sesudah satu bulan goncangan urat sudah kendor, ketegangan sesudah mati lebih lekas datang dan kurang lama. Perbedaan pembunuhan pertama dengan yang kedua cuma satu: Pada pembunuhan pertama goncangan urat keras, sebab lekas dibunuh sesudah dilumpuhkan. Pada pembunuhan kedua goncangan urat, kendor, sebab dibunuh hasbi satu blan. Perbedaan sebab cuma pada keras-kendornya goncangan urat.
Perbedaan ini mendapat perbedan lama lekasnya datang, akibat ketegangan (disini juga dipakai Jalan Perbedaan).
Calon - sebab : A/B/C akibat abc.
Calon – sebab : B/C akibat bc.
Jadi sebab : A berakibat a.
Bahwa goncangan urat itu disebabkan kematian, dengan Jalan Perbedaan juga sudah lama diketahui. Goncangan urat itu berbeda pada binatang hidup dan mati. Tetapi lekas-lambat datangnya ketegangan tiadalah bergantung pada kematian, melainkan pada keras-kendornya goncangan (gemetarnya) urat sesudah mati.
Sebetulnya perbedaan keras-kendornya goncangan urat itu pada dua peralaman tadi sudah mengandung Jalan-Perubahan-Bersama. Disini ktia tiada berjumpakan goncangan keras dari urat dan goncangan berhenti (hilang) saja, melainkan perubahan keras bergoncang saja. Kalau goncangan sama sekali hilang, barulah boleh dinamakan semata-mata Jalan Perbedaan.
Ke-2. Lebih rendah (dingin) hawa urat ketika mati, lebih keras goncangannya urat. Berhubung dengan ini lebih lama pula datangnya ketegangan. Jadi hawa panas atau dingin dirubah. Juga disini sebetulnya dipakai Jalan-Perubahan-Bersama.
Ke-3. Makin lama gerak badan (sport) dijalankan lebih kendor goncangan (gemetar) urat. Mangsa pemburuan, kalau di bunuh sebelum berhenti lelah, uratnya tegang dan busuk lekas sekali. Jago mati dalam kalangan begitu juga. Sama dengan itu juga, nasibnya serdadu mati dimedan peperagang. (Disini dipakai Jalan-Perbedaan). Perbedaan diantara sebab cuma perbedaan cape yakni payah dan tak lelah.
Ke-4. Makanan baik memperkeras goncangan urat. Seseorang sehat mati dengan diperkosa, uratnya bergoncang keras dan lama, ketegangan urat lambat datangnya. Begitu juga lama baru busuk. (Kita mendapat akibat sebaliknya, kalau makan dikurangkan). Tidak satu bukti saja pada masing-masing peralaman diatas ini, yang diperiksa, melainkan beberapa bukti, berhubungan dengan makanan baik dan makanan buruk itu. (Lihat formula saya dimuka ....).
Disini sebetulnya kita sudah berjumpa dengan Jalan-Campur-Aduk antara Jalan-Persamaan dan Perbedaan, malah juga dengan Jalan-Perubahan-Bersama. Pada satu jajar kita dapati beberapa bukti yang bersamaan dalam satu hal, ialah beberapa ketegangan urat lama itu, semuanya disebabkan makanan baik. (Jalan-Persamaan). Pada jajar kedua kita dapati begitu juga: Beberapa ketegangan yang lekas datang dan perginya itu, disebabkan oleh satu persamaan pula: makanan buruk (Jalan Persamaan). Tetapi pada jajaran pertama kita dapati makanan baik dan pada jajar kedua kita dapati makanan buruk. Jadi calon-sebab ada pada jajar pertama dan tak ada pada jajar kedua (Jalan-Perbedaan). Sebetulnya juga ada pada jajar pertama, tetapi berubah pada jajar kedua( Jalan-Perubahan-Bersama).
Ke-5. Gemetar urat seluruh badan, seperti sport yang menghabiskan tenaga, juga mengendorkan goncangan urat. Uratnya tegang dan busuk lekas sekali. Gemetar urat seluruh badan yang membawa kekubur itu disebabkan oleh bermacam-macam perkara: satu jenis Kolera, satu jenis racun, dsb (Jalan-Persamaan).
Ke-6. mati karena petus. Ini perkara lebih sulit dan mesti diperiksa lebih dalam. Pada satu jenis mati ditembak putus “ketegangan urat” atau sama sekali tak ada atau begitu cepat sehingga tak kelihatan. Dalam hal ini urat lekas busuk. Pada jenis lain, mati ditembak petus juga, akibat seperti biasa: ada ketegangan urat itu. Apa perbedan petus dan petus itu?
Pada jenis pertama, kematian tadi mungkin langsung disebabkan: ketakutan: terbang darah disekeliling otak atau dalam rabu, gempa otak, dsb (hersenschudding). Tetapi tak ada di antar calon sebab ini (terbang darah, dsb) yang bisa perhentikan ketegangan urat seperti hal pertama ditas.
Pada jenis kedua, kematian tadi boleh jadi langsungnya disebabkan: gemetar (convulsion) tiap-tiap urat badan.
Akibat dari gemetar tiap-tiap urat ini, ialah: sama sekali berhentinya goncangan urat itu dengan segera. Begitu cepat perhentian itu sampai tak bisa dilihat. Kalau ketegangan itu seperti biasa, maka mati ditembak petus itu berlainan dengan hal dibelakang ini, artinya bisa dilihat.
Ujian? Hal ini tentu tak bisa diperalamkan! Tuan dokter tak boleh ambil orang dan dibiarkan ditembak petus. Dia bisa ambil hewan dan tunggu petus. Tetapi berapa lama? Boleh jadi pula tali binatang tadi saja yang kena, dan bintangnya bisa lari. Tuan dokter ambil hewan lain dari orang, dan petus yang lain jenis, ialah listrik.
Binatang dibunuh oleh Listrik: ketegangan uratnya singkat dan busuknya lekas datang. Lebih hebat listriknya, lebih singkat ketagangan dan lebih cepat kebusukan. Listrik sehebat-hebatnya, goncangan urat pada saat saja diperhentikan, cuma lebih kurang 15 menit.
Jadi disini, ialah listrik diturun-naikkan, dirubah dan akibat juga turun-naik, berubah. Kalau tabrakan listrik maha-hebat, seperti petus, maka ketegangan itu juga dicepatkan dengan angka perbandingan, sampai hilang atau tak kelihatan sama sekali. (Nyatalah disini cuma Jalan-Perubahan-Bersama yang bsia dijalankan!). Begitulah dengan peralaman ke-6, peralaman listrik ini, diuji undang Dr. Brown Seguard tadi, yang menunjukkan perhubungan sebab dan akibat antara keras-kendornya “goncangan urat” dan “cepat-lambatnya ketegangan urat”.
Dr. BROWN me-ikhtiarkan.
Pertama: Apabila tingkat “goncangan urat” itu tinggi, pada saat mati ditimbulkan dalam keadaan: (a) makanan baik; orang mati terperkosa dalam sehat; (b) berhenti, goncangan urat karena kelumpuhan; (c) kena pengaruh kedinginan. Maka dalam semua hal ini (a, b, c) ketegangan urat, datangnya “lambat” dan lama tegangan itu; urat itu lama baru busuk dan perlahan busuknya (lawan diatas).
Kedua: Apabila tingkat “goncangan urat” itu rendah, pada saat mati, ditimbulkan dalam keadaan: (a) makanan buruk; (b) lelah sampai kehabisan nafas; (c) gemetar urat seluruh badan disebabkan racun atau penyakit kolera, maka dalam semua hal ini (a,b,c) ketegangan urat itu datangnya “cepat” dan perginya cepat pula dan kebusukan urat itu cepat pula datangnya dan perginya.
Pada contoh pertama dan kedua ini dipakai Jalan-Campur-Aduk dari Jalan-Persamaan dan Perbedaan. Pada jajar pertama kelihatan persamaan akibat, ialah “lambat” datang dan berhentinya ketegangan urat, walaupun dalam keadaan berlain-lain (a, b dan c). Persamaan akibat itu didapat pula pada calon-sebab yang sama, ialah keras goncangannya urat pada saat mati, walaupun dalam keadaan berlainan pula. Jadi pada jajar kedua ini terpakai Jalan-Persamaan juga. Tetapi kalau jajar dibandingkan dengan jajar, maka nyatalah bahwa Jalan-Perbedaan yang dipakai. Pada jajar pertama kita jumpai goncangan urat yang cepat bagai persamaan-calon-sebab. Sedangkan pada jajar kedua calon-sebab yakni goncangan cepat itu tak ada.
Sebetulnya bukan tak ada sama sekali, berbeda sama sekali seperti hidup dan mati, melainkan berubah tingkatnya. Pada jajar pertama kita peroleh “goncangan cepat”, sedangkan pada jajar kedua kita ketemukan “goncangan kendor”. Disini sebetulnya dipakai Jalan-Perubahan-Bersama.
Sudah diperlihatkan pada lain tempat oleh para Pemeriksa, bahwa “goncangan urat’ itu sebabkan oleh kematian. Ini ditunjukkan dengan Jalan-Perbedaan mati dan hidup. Dan mati itulah pula sebab asli dari “ketegangan urat” dan seterusnya “kebusukan urat”. Tetapi bukan sebab asli itu yang menjadi pangkal dan ujung peralaman Dr. Brown. Yang dinyatakan oleh peralaman ini, ialah: Keras kendornya gonacangan urat itu selalu diikuti oleh cepat lambatnya ketegangan urat. Walau “sebab” yakni “keras kendornya” itu dalam berjenis “keadaan mati” (a, b, c) sebab tadi selalu diikuti oleh akibat, yakni cepat, lambatnya ketegangan urat.
Memang susah memahami semua peralaman, ikhtisar dan Logika yang dipakai oleh Dr. Brown. Satu kata saja yang dipakainya akan lupa, atau kurang jelas, maka lumpuhlah usaha kita. Semua kata mesti dipahami dan diulang membaca, lebih-lebih oleh kita yang bukan dokter. Marilah saya coba formulakan ikhtisar Dr. Brown. Mudah-mudahan bisa menambah kejelasan:
Pertama : Sebab, goncangan urat itu keras (dalam bemacam-macam keadaan); akibat ketegangan urat lambat.
Kedua : Sebab goncangan urat itu kendor (dalam bermacam-macam keadaan); akibat ketagangan urat cepat.
Persamaan goncangan urat keras pada jajar pretama, kita pendekkan (A) dan akibat persamaan ialah (a).
Persamaan goncangan urat kendor pada jajar kedua, kita pendekkan (X) dan akibat persamaan ialah (x).
BC, DE, FG, pada jajar kiri menujukkan berlain-lain keadaan (A).
LM, NO, FQ, pada jajar kanan menunjukan berlain-lain keadaan (X).
Pedeknya:
Sebab : ABC akibat abc. Sebab : XLM akibat xlm.
Sebab : ADE akibat ade. Sebab : XNO akibat xno.
Sebab : AFG akibat afg Sebab : XPQ akibat xpq
dll dll
Jajar kiri bersamaan. Sebab A dan bersamaan akibat a (Jalan Persamaan).
Jajar kanan bersamaan. Sebab X dan bersamaan akibat x (Jalan Persamaan).
Sebab pada jajar kiri (A) hilang pada jajar kanan (disini X yang sebab) (Jalan Perbedaan). Sebetulnya sebab itu tiada hilang, melainkan berubah banyaknya (quantitave). Sebetulnya juga dipakai Jalan-Perubahan-Bersama. Jadi adalah tiga jalan, campur-aduk dipakai pada pemeriksaan yang sulit ini ialah: Jalan-Persamaan, pada masing-masing jajar dan Jalan-Perbedaan serta Jalan-Perubahan-Bersama pada kedua jajar itu.
Penunjuk jalan dalam pemeriksaan menurut Jalan-Perubahan-Bersama ini: Kalau diantara dua jajar bukti peralaman, pada satu jajar selalu ada persamaan (calon-sebab), sedangkan pada jajar lain selalu tak ada persamaan, maka calon-sebab pada jajar pertama itulah yang menjadi sebab dan akibat atau kalau ada pula persamaan tetapi berlainan tingkatnya dari jajar pertama, maka perbedaan (ada dan tak ada) itulah yang jadi sebab dan akibat.
Pasal 12. LIMA KESILAPAN.
Sudah begitu sempit dan sukarnya jalannya seorang Scientist, Ahli Bukit mencari sebab atau hukum, karena disempitkan oleh batasan Dialektika. Kesempitan itu diberatkan pula oleh ranjau dan kawat berduri yang diadakan oleh kesilapan bermacam-macam. Kesilapan itu dalam Logika bukanlah dimaksudkan kesilapan disebabkan mengantuk, lapar atau terharu pikiran dsb, melainakn kesilapan sebab lupa atau salah memakai beberapa cara Logika walaupun tiada jarang, perut kenyang (tak berlaku) dan pikiran tenang.
Kita peringatkan sekali lagi pekerjaannya seorang scientist: (Induction) ke-1 mengumpulkan Bukti, ke-2 mencari undang atau sebab, ke-3 melaksanakan hukum tadi (Deduction).
Pada ketiga perkara inilah pula dia bisa mendapat kesilapan. Kesilapan ketika mengumpulkan bukti, boleh jadi:
Ke-1. sebab paham dianggap bukti, ke-2 salah atau lupa mencermati sesuatu bukti, ke-3 kesilapan disebabkan salah menyusun bukti buat hukum, ke-4 kesalahan melaksanakan, ke-5 silap karena keliru.
Satu persatunya akan dibicarakan dengan pendek sekali.
Bagian ke-1. PAHAM DIJADIKAN BUKTI.
Paham dijadikan bukti, disebutkan dalam buku Logika juga salah a priori. Saya namakan kesilapan ini mystification. Atau Ide itu dianggap sama dengan bukti, dengan barang yang nyata yang boleh dipancainderakan. Semua ahli mistikus, seperti ahli filsafatnya, dipancainderakan. Semua ahli mistikus, seperti ahli filsafatnya.
Dewa R a, Mystikus Hindu, Ahli Filsafat Descartes, Hegel, Ahli Hantu dan Setan masuk golongan ini.
Apa yang bisa digambarkan oleh otak itu dengan terang, mesti satu bukti, mesti ada, kata Descastes: Gambaran geometry terang diotak, dan mestinya Tuhan itu ada. Jadi kalau diturutkan Logikanya Descartes, kita mesti juga bilang: Gambaran Naga, Hantu, atau Setan itu bisa terang diotak. Sebab itu semuanya ada. Emas tulen sebesar gunung Himalaya juga terang bisa digambarkan diotak. Jadi gunung Himalaya dari emas semuanya itu mesti ada.
Umpamanya lain: Dibentuk dengan Syllogism. Semua yang bisa digambarkan dalam otak itu benar mesti ada. Bumi diujung tanduk kerbau itu bisa digambarkan dalam otak. Jadi bumi di ujung tanduk kerbau itu benar ada.
Saya ingat satu cerita, saya dengar disurau (langgar) semasa kecil, demikian bunyinya: Seorang Alim (Mistikus) mengajarkan kodratnya rohani itu. Apa yang diyakinkan itu mesti ada. Murid membawa sebutir kelapa dan minta supaya guru, mengadakan ikan dalam kelapa itu. Guru membaca doanya: Ada air ada ikan, ada air ada ikan, beratus kali. Kemudian sesudah keyakinan ini sampai kepuncak, si Guru menyuruh belah kelapa tadi. Nah Betul ada ikan .......kata “cerita”.
Kepercayaan ini tentu boleh ditambah berlusin-lusin. Rakyat Indonesia boleh ketinggalan dalam hal Ilmu Bukti; membikin kapal apapun dan meriam apapun dengan jenis doa
”ada air ada ikan” tadi ,tanggung tak akan kalah.
Hegel, umpamanya, hidup di negeri Jerman pada abad ke-19, ada berbatas sekali kesanggupannya, dalam menyamakan Ide dan Reality, paham dan benda itu. Tetapi Rakyat Indonesia tak mengetahui batas dalam hal ini. Pendeknya masih dalam kebanyakan percaya pada kemanjuran doa-mendoa, begitu saja dengan tak ada batasnya. Kalau kalah, barangkali oleh Rakyat Hindustan saja!
Salah satu sebab maka keduanya Hindustan dan Indonesia bisa ditaklukkan oleh Negara sepuluh kali lebih kecil. Penganggapan Rakyat Indonesia dan gurunya Hindustan terhadap bukti, juga sekurangnya sepuluh kali lebih gelap dari bangsa Barat sekarng. Tetapi pada waktu Scholastisme bersimaharajalela di Barat men-da’a “ada air ada ikan” itu, juga dianggap manjur sekali. Agama diantara lain-lainnya mengajarkan bahwa semua bintang itu melekat pada langit yang padat, seperti lampu melekat, terikat pada loteng. Kepercayaan tadi menjadi anggapan bukti. Itulah maka berpuluh tahun teori Copernicus dibantah keras. Sebab teori Copernicus, semua bintang itu ada diawang-awang satu menarik yang lain menurut kodrat yang bisa dihitung, tidaklah melekat pada langit.
Bruno dibakar oleh gereja Katholik, berhubung dengan hal persoalan bukti dan paham juga. Kalau Galilea dan Copernicus tak cerdik, main akal kancil dan hal ini, kepada Dewa Ilmu Bukti inipun pasti akan masuk api pula. Sesudah Bruno, Copernicus, Galilea dan Bacon, maka sesuatu paham itu, walaupun dianggap sakti oleh gereja itu, tetapi oleh Ilmu Bukti tiadalah diterima “benar” begitu saja sebagai “bukti”, sebelumnya diuji dengan Logika dan perkakas Ilmu Bukti.
Bagian ke-2 SALAH ATAU LUPA MEMPERAMATI SUATU BUKTI.
“Salah” mengamati suatu bukti, adalah umum sekali. Dengarlah kabar dari beberapa orang yang sama melihat satu hal yang mendahsyatkan: satu kebarakan atau satu perkelahian, misalnya. Yang diceritakan sebetulnya bukan yang dilihat oleh mata dan dindengar oleh telinga, melainkan simpulan dari satu aliran pikiran masing-masing (inference). Susah sekali mendapatkan keterangan yang sama dari beberapa saksi, yang sama-sama melihat dan mendengar sesuatu kejadian.
Bukanlah yang dimaksudkan disini ketarangan dari saksi atau pesakitan yang sengaja memutar-mutar, melainkan bukti yang berputar-putar, berlain-lain, disebabkan salah mengamati. Hakim yang cerdik atau advokat yang bijaksana juga selalu tanyakan, apakah bukti atau kejadian itu dilihatnya dengan matanya sendiri atau didengar dari orang lain atau cuma menurut persangkaan saja. Biasa sekali persangkaan itu timbul, karena berhubung dengan keperluan atau pengharapan seseorang. Karena pengharapan itu memang keras, maka mata dan telinga itu seolah-olah mengitkuti pengharapan yang keras itu saja, “Pengharapan itu, ialah bapak berpikir” kata pepatah Eropa.
Sebaliknya walau beberapa kejaian sudah berlaku, kejadian itu dilupakan saja, kalau memang pengharapan itu keras sekali dan kejadian yang berlaku itu tiada membenarkan kepercayaan tadi. Beberapa banyaknya orang Kristen yang ceritakan kepada saya ketika Perang 1914-1918, bahwa millieunisten, negara (surga) 1000 tahun akan datang, karena menurut apocalypse, firman dalam Kitab Injil, Surga yang kekal, dimaksudkan dengan 1000 tahun itu mesti didahulukan oleh peperangan yang maha hebat. Pada peperangan inipun – 1939 – sudah cukup saya dengar cerita semacam ini dari pihak Kristen juga. Jutaan Kristen Orthodok yang percya sama tulisan dan isinya Kitab Injil itu, tentu lupa bahwa perang 1914-1918 membatalkan “nujum” tadi.
Jutaan Kristen Orthodok lupakan pada, bahwa sudah berlusin-lusin perang dari semenjak nujum tadi timbul, membatalkan nujum itu. Dan kalau perang inipun lalu, dan perang lebih hebat lagi akan timbul pula, percayalah tuan, bahwa masih jutaan Kristen Orthodok yang percya akan datangnya Surga Kekal itu, dan melupakan 13 atau lebih peperagan yang sudah membatalkan. Di dusun Tanjung Ampalu, dusun kecil saja dekat Sawah Lunto, dua kali saya ketika masih kanak-kanak menghadiri sembayang di mesjid; sembayang luar biasa. Pada pertama kalinya sebab keganjilan alam yang dilihat ialah pohon pisang yang mempunyai dua jantung. Yang kedua kalinya pohon pisang juga atau lain pohon yang ganjil sekali. Tanda lain-lain, kaum Muslimin mengira bahwa “dunia akan kiamat”. Berapa kali dunia akan kiamat sebelum atau sesudah pohon pisang berjantung dua itu, menurut Muslimin Tanjung Ampalu dan dunia lain tentu saya tak bisa bilang. Pasti lebih dari 13 kali. Tetapi walaupun selamanya ini “nujum” gagal, tentu semua kejadian diantara nujum Pak Belalang di Jawa. Walaupun begitu kalau lewat tengah malampun kita sebut nama Joyoboyo dan bongkar lagi satu nujumnya.
Pasti si Pendengar hilang “ngantuknya”, seperti diusir oleh semangkok besar kopi puan. Semua kegagalan nujum yang dahulu dilupakan. Begini kerasnya “pengharapan” dan begitu lemahnya mata, telinga dan peringatan manusia pada bukti yang sudah terjadi, yang menentang “pengharapan” tadi.
Pak Belalang tukang sulap dan dukun palsu memang pintar sekali memakai sifat “kesalahan dan kelupaan” manusia dalam hal mempermati sesuatu kejadian itu!
Bagian ke. 3 KESILAPAN DISEBABKAN SALAH MENYUSUN BUKTI BUAT UNDANG.
Kesilapan pada bagian ini ada beberapa macam pula:
(a). Kesilapan Analogy, persamaan namanya; (b) Kesilapan berhubung dengan tempo dan tempat;
(c) Kesilapan yang masyhur, Latinnya: Posthoc, Ergo propert hoc .... ialah salah satu sebab disebabkan “tunggal”.
Perkara (a): Kesilapan Analogy (Persamaan rupa).
Cara berpikir menurut Analogy, memang biasanya mengadakan peruraian terkhusus dalam Logika. Tetapi sebab berpikir menuut cara ini banyak mengandung kelemahan dan terutama sebab akan terlampau memanjangkan kalam, maka seperti banyak perkara lain yang tidak memuncak kepentingannya, saya terpaksa lampaui saja. Banyak simpulan yang benar yang dapat oleh cara Analogy. Tetapi banyak pula yang palsu.
Disini akan diuraikan sedikit kepalsuanya. Cara Analogy tak seluruhnya memakai induction, naik dari bukti kehukum ataupun deduction ujian, dari hukum turun kebukti. Cara Analgoy tiap kali karena induction dan deduction itu memang tak bisa dijalankan.
Umpamanya: Dua benda “berupa” persamaan. Pada salah satunya terdapat sifat (S) misalnya. Tidak diketahui, apakah benda yang lain bersifat (S) juga.
Sudah diketahui bahwa kedua benda ada mempunyai sifat yang sama, (P) misalnya. Apakah (P) berkenaan sama (S) tiada pula diketahui. Tetapi si Pemeriksa memutuskan saja bahwa benda yang lain itu bersifat (S) pula.
Sudah bisa dilihat, bahwa misalnya bulan dan matahari punya persamaan.
Sudah diketahui umpamanya bahwa matahari mengeluarkan sinar sendiri.
Si Pemeriksa belum tahu umpamanya, apakah bulan itu punya sinar sendiri pula. Lebih dahulu sudah diketahui bahwa keduanya mempunyai persamaan: sama bundar dan sama bergantung diawang-awang. Apakah sinar itu ada bergantung dengan bentuk bundar dan penggantungan diawang-awang tadi, tidaklah diketahui. Sekarang si Pemeriksa dengan lancang saja putuskan. Bahwa Sang Bulan juga menerbitkan sinar sendiri seperti matahari atau kita ketahui bulan menerima sinar dari matahari (tidaklah menerbitkan sinar sendiri).
Sebab unta banyak persamaan dengan lembu, dan lembu itu berperut empat, maka disimpulkan juga bahwa untapun punya empat perut. Bukan tiga, ialah menurut bukti yang benar.
Seorang Pak Tani umapamnya, pertama kali berjumpakan Yahudi. Dia acapkali sudah “berurusan” dengan Tuan Arab di desanya. Dia simpulkan bahwa Yahudi dengan Arab ini sama, sebab bentuk badan dan hidungnya sama. Sekarang timbul simpulan kedua dalam otaknya: Tuan Arab hidup dengan menyewakan rumahnya dan meminjamkan uang. Tentu Tuan Yahudi ini hidup dengan menyewakan rumah dan meminjamkan uang pula. Simpulan ini umumnya betul kalau disempitkan di Asia Timur saja. Baik Tani yang terlatih oleh Yahudi yang sebentuk badan dan hidung dengan Tuan Arabnya meneruskan aliran pikirannya seudah mendapat kabar dari temannya, bahwa tuan Yahudi juga disunat. Kalau begitu katanya “tuan Yahudi juga pengiktunya Nabi Muhammad SAW”. Disini dia dijerumuskan oleh Logika Analogy.
Persamaan dalam beberapa hal itu tak memberi pertanggungan, bahwa Yahudi dan Arab se-Agama (bernabi satu). Demikianlah berpikir menurut Analogy sering silap sebab tiada menghadapi bukti yang diumumkan atau dikenal “pelaksanaan hukum”. Tidak saja orang berpikiran sederhana, orang ber-intelek-pun banyak memakainya dan sering terpaksa memakainya. Kalau persamaan dalam dua benda yang dibandingkan itu terus-menerus dalam semua hal, maka Analogy itu besar sekali gunanya.
Perkara (b): Kesilapan berhubung dengan tempat dan tempo.
Seperti katak dibawah tempurung, inilah pepatah Indonesia yang umum sekali. Orang itu terpaut pada tempat dan temponya. Apa yang benar pada tempatnya dia simpulkan, benar juga pada tempat lain. Apa yang salah menurut zamannya, salahlah pula menurut zaman yang lain.
Seorang Eropa yang baru datang di Tiongkok, selalu berpikir bahwa orang Tionghoa itu mestinya tamak dan kejam. Si Tionghoa menonton saja dan ketawa pula terbahak-bahak melihat bangsanya jatuh dari becak umpamanya. Sedangkan si Eropa tadi belas kasihan sampai kejatuhannya, cocok dengan Agama “pipi kiri kalau dipukul, kasihkanlah pipi kananannya”.
Memang Si Tionghoa cuma melihat yang lucunya dan terus terang perlihatkan kesukannya, kegeliannya kalau ada orang lain dapat celaka, yang tidak berbahaya betul. Tetapi kalau betul-betul dalam ada marabahaya, tak ada bangsa lain yang lebih bersifat kasihan dan lebih berani membela dan banyak memberi pertolongan dari si Tionghoa. Berkali-kali saya saksikan hal ini dengan mata sendiri pada bahaya air bah atau pembakaran di Tiongkok. Pada bekas orang yang dia bencipun, tidak bersifat tinggi sekali. (Dalam buku lain hal penting ini akan saya ceritakan dengan sempurna).
Memang si European menterjemahkan dan melaksanakan paham “pipi kiri kalau kena pukul kasihkanlah pipi kanan” kalau hal itu tak berapa merugikan! Dalam perkara kecil memang umum sekali mereka memperlihatkan kesedihan, kebelasan, kemanusiaan. Si European yang sedih melihat si Tionghoa jatuh dari becak dan diketawakan oleh bangsanya sendiri itu, memang boleh jadi menghampiri si atuh, mengangkat dan menolong, kalau perlu belikan satu gelas air batu dan marah pula pada yang mentertawakan. Cocok sekali dengan “pipi dikiri kalau dipukul kasihkan pipi dikanan”. Tetapi kalau berjuta-juta orang Tionghoa teraniaya, terpelanting, disebabkan pemerintahannya si European tadi menjalankan politik Opium terhadap Tiongkok (Ingat perang Opium tahun 1841) dan menerima untung ratusan juta dengan jalan yang berlawanan dengan, pipi kiri kalau dipukul kasihkan pipi kanan itu” perkara ini tak akan menyinggung consciencenya.
Bukan satu dua perkara yang kebetulan saja (munafik atau tidak) yang saya kemukakan disini. Saya kemukakan disini, terjemahan yang sudah jadi kebiasaan dari mereka yang mengaku dasar Kristen tadi. Bukan hal kebetulan atau terkecuali melainkan terjemahan dan kebiasaan Kristen, yang datang ke Asia kita ini. misal diatas bisa kita tambah di Indonesia ini (Kelakuan dari Rakyat Indonesia, diukur dengan moral yang terikat pada masyarkat Eropa dan zamannya).
Sudahlah tentu Rakyat Indonesia umumnya, berlaku begitu pula. Saya tak akan sangkal perkara ini karena kaum ibu di Indonesia selama ini dalam sejarah sebagai kaum, belum pernah menunjukkan kecerdasan, sebab itu pada zaman depanpun tak akan dapat “pendapatan” (inventor) diantara kaum ibu itu. Begitulah umum berpikir.
Di Eropa pun sebelum dan sesudah ada satu Madame Curie masih banyak yang dipengaruhi oleh: “Sebab begitu dahulu maka nanti akan begitu juga”.
Perkara (c): Posthoc, ergo propter hoc.
Tidak saja Hitler & Co, tetapi ada beberapa pemikir jerman yang lain kabur matanya disebabkan kejadian Kultur, kesopanan Jerman pada belakang ini. kejayaan dalam segala yang berhubungan dengan kecerdasan dan moral semua ditumpahkan pada kebangsaan. Terutama menurut teorinya Jerman-Nazi, maka cemerlangnya Kultur Jerman itu, Science, Filsafat.
Strategy, dan Musik terkhususnya, tidak lain karena superiority yakni kelebihan bangsa Jerman dari bangsa-bangsa lain diseluruh dunia semenjak alam terkembang. Umumnya kelebihdan bangsa Aria dari Tartari dan Negro, dan terkhususnya kelebihan bangsa Nordic dari semua suku bangsa di Eropa dan semua bangsa lain di Dunia.
Yang menjadi Karakteristis, ialah tanda bagi Nordic itu: badan, kulit putih, kepala luncung (panjang), rambut pirang dan mata biru. Terutama kepala panjang, rambut pirang dan mata biru inilah yang dianggap terkhususnya Nordic, bangsa Utara Eropa dan membedakan mereka dari penduduk Eropa Tengah dan Selatan, atau bangsa Hindustan.
Tanda lahir, terdapat pada kebangsaan itulah yang oleh ahli filsafat dan politik Nazi yang selalu dikemukakan sebagai sebab dari pesat majunya dan tinggi sifatnya Kultur Jerman itu “uebermensch” dari Nietzsche itu sebenarnya Nordic yang sempurna.
Disini tiadalah tempatnya buat memeriksa beberapa besarnya tuntutan (Claim) pemikir Jerman tadi dalam perkara atau haknya dalam perkara Kultur Dunia. Ini memang salah satu perkara yang hangat yang dari dulu saya ikuti. Saya sendiri tiada seberapa memberikan hak itu kepada Jerman umumnya. Dalam banyak sekali cabang Ilmu Bukti yang penting seperti Kimia, Ilmu Kodrat, matematika, Biologi, dsb, malah saya jumpai bapaknya kebanyakan teori baru tidak di Jerman, melainkan di Inggris dan Perancis. Kalau di Jerman Ilmu diatas tadi merupakan kemajuan lebih tinggi atau baru, maka biasanya urat dan pokoknya terdapat di Inggris atau Perancis atau Italia, Cuma sampai di Jerman dia mengeluarkan daun yang rindang dan bunga yang cantik dan harum. Inggris sendiri mengakui dirinya bangsa campuran, dari bangsa Nordic sampai Negro dari zaman Romawi. Perancis dan Italia ialah bangsa Laut Tengah; berbeda dengan Nordic: badan sedang, kulit kekuningan, rambut dan mata hitam dan kepala bulat. Lagi pula Marx, satu puncak dari ahli Filsafat dan Ekonomi, walaupun dapat latihan Jerman, bukanlah Nordic, melainkan Yahudi. Einstein, sekarang masih puncak diantara barisan ahli Ilmu Kodrat, Matematika dan Biology, walaupun dapat didikan Jerman, juga Yahudi, yang dianggap Timur, rendah, dibenci, ditentang, dibunuh oleh nazi. Begitu juga penyair Heinrich Neins, juru Negara Walter Rathenau, industrialist Hugo Stennes dll sebagai umumnya bangsa yang paling dikuti oleh Nazi itu. Pendeknya tuntutan nazi Jerman tadi sangat melebihi. Kultur itu tiadalah lahir dan tumbuh, semata-mata pada bangsa Jerman dengan tiada sendiri juga dipengaruhi bangsa lain dari Nordic. Lagi pula sebagian dari Kultur yang digembar-gemborkan itu hanyalah militerisme, ialah kesopanan jilat keatas tendang kebawah. Akhirnya bangsa Jerman itu bukanlah Nordic belaka. Lebih-lebih kesebelah Selatannya banyak bercampur dengan Alpino, yang dahulu banyak bercampur dengan bangsa Tartari, ketika Tartari lama sekali menguasai sebagian bear dari Eropa. Menurut Bernard Shaw turunan Nordic yang ada di Inggris itu cuma baik buat “Main Cricket” saja. Tetapi walaupun sudah begitu banyak mesti dikurangkan tuntutan Nazi atau Kultur Dunia itu. Memang masih banyak sisa yang mesti dipulangkan pada bangsa Jerman, Nordic atau campuran itu. Tetapi sisa inipun tiadalah “sebab tunggal”, Logika “Post hoc” diatas tadi salah satu dari sebab atau pengaruh sebagai sebab “tunggal”. Boleh jadi sebagai bangsa yang mempunyai tabiat kecondongan pikiran yang terkhusus itu bisa jadi alat adanya Kultur terkhusus. Tetapi tak boleh dilupakan, bahwa tabiat atau kecondongan pikiran terkhusus itu (particular, character and inclination).
Disertai oleh beberapa hal lain yang penting: Iklim, bahan, susunan masyarakat, ekonomi, politik dll. Letaknya Jerman memang ditengah, menyebabkan Jerman dari dulu jadi medan.peperangan dan menjadikan Jerman bersifat Militeristis. Iklim memang sangat bagus buat menimbulkan nafsu bekerja. Pada pegunungan Hars terdapat besi berdekatan dengan arang. Keduanya jadi alat adanya yang terpenting buat kemajuan pesawat dan ekonomi. Masyarakat dan politik Jerman jauh lebih banyak dipengaruhi beberapa perkara diatas dari pada oleh “kepala luncung, rambut pirang, dan mata biru” itu saja. Dalam perkara Ilmu yang “langsung” mengandung science, saya pandang bangsa Yunani yang terbesar diantara semua bangsa sampai pada masa lahirnya science modern, ialah beberapa ratus tahun dibelakang. Semasa, sebelum atau beratus tahun sesudah Yunani jatuh, semau bangsa lain dalam hal yang berkenaan dengan science tak bisa menyamai Yunani atau cuma menyamai sebagi muridnya Yunani saja (Arab!).
Tetapi ini hal juga tak berapa berhubungan dengan “kulit putihnya” bangsa Yunani, sebagai bangsa Aria. Sebagian besar dari kemajuan itu terdapat pada iklim, geography, ialah keadaan bumi dan laut Yunani, bahan masyarakat dan politiknya. Dan pusaka yang diterima oleh Yunani dari bangsa Egypte, Syria, Persia, Hindustan dsb juga. Salah satu sebab dijadikan sebab tunggal atau post hoc ................
Kalau tartari semua sedia betul-betul menaklukkan dunia seperti Nazi bersombong mengatakan: perawakan pendek, muka lebar, rambut dan mata hitam, hak yang menyebabkan tartari menjadi “Bangsa Tua, Herren Folk”, maka tak ada ahli filsafat nazi yang jujur dengan teorinya bisa bantah perkataan itu. Kalau begitu keadaan bumi Tartari, penghidupan dan perkakas yang dipakai Tartari dan Strategy Tartari sama sekali dilupakan.
Kalau “Suku tartari” yang disebut oleh para ahli Bangsa juga di Eropa, Oceanic Mongols, ialah Tartari-Samudra sekarang, kita namai bangsa Indonesia yang lebih kurang 2500 tahun sebelumnya nabi Isa sudah mengidari lebih dari 2/3 lingkaran bumi, semasa Nordic Hitler & Co masih tinggal dalam gua batu menepuk dada berkata: bahwa kulit coklat, kepala bunder, rambut dan mata hitam, serta hidung ......peseklah, yang jadi “sebab tunggal dari kejayaan itu, maka nenek moyang Indonesia sekarang juga dilekati oleh kesilapan propter hoc.........”. Kalau begitu mereka lupa akan Iklim, keadaan hidup, pesawat yang sudah dikenal pengetahuan tentang bintang, susunan masyarakat dll.
Bagian 4. KESILAPAN DALAM PENGLAKSANAAN
Dalam pelaksanaan, dalam perjalanan dari undang turun ke bukti (Deduction) tiadalah heran kalau seseorang banyak menderita kesalahan pula. Tetapi kalau diperhatikan semua aturan dan ranjau yang terdapat pasal berkepala Conversion (muka 160), Obversion (muka 162), Contra-position (muka 165) dan terutama pula Syllogism (muka 166), maka kebanyakan dari kesalahan dalam penglaksanaan itu bisa terhindar. Tiada sedikit kita mesti berjaga-jaga. Sudah tentulah tak perlu kita ulangi lagi semua hal itu. Juga akan kepanjangan kalau kita berikan ikhtisarnya. Cukuplah sudah kalau kita peringatkan dua puncang tertinggi saja.
Pertama, penting sekali buat diperhatikan bahwa simpulan bertentangan itu tak bisa benar keduanya, tetapi bisa salah keduanya (lihat pasal Logika terhada: Quality dan Quantity. Definisi dari Contra-Position muka 165). Jadi kalau akibat itu salah memang calon-sebab juga salah.
Kalau akibat itu benar, silaplah kita kalau kita katakan calon-sebab juga benar. Dalam pemeriksaan kebenaran satu teori dengan cara (reductio ad absurdum) (muka 62), maka kita menyalahkan akibat itu. Sebagai hasil pemeriksaan itu, maka kita terpaksa menjalankan dasar, yang sudah kita akui sahnya. Tetapi juga supaya kita jangan pula berlaku sebaliknya: Membenarkan akibat dan membenarkan pula calon-sebab.
Kedua, kalau semua S = P, janganlah sekali-kali dikatakan bahwa sebaliknya, semua P = S. kalau benar kalimat: Semua Muslimin itu diwajibkan berpuasa itu semuanya Muslimin saja. Ingatlah selalu gambaran Euler yang sebenarnya: Sebagian yang diwajibkan berpuasa itu ialah Muslim.
Bagian 5. SILAP KARENA KELIRU.
Ada tiga macam kesilapan karena keliru:
a). Kesilapan karena arti kata yang berlipat (ambiquous, dubbelzinning).
b). Kesilapan karena akibat sama dengan pokok. Kesilapan ini dalam Ilmu Logika dinamai Petitio Principli (latin) atau Begging of the question (Inggris).
c). Kesilapan berhubung dengan akibat yang tak bersangkutan dengan pokok pembicaraan, Ignoratio Elenchi.
Kesilapan dalam golongan ini tiada ditimbulkan oleh salah emnimbang beratnya bukti semata-mata, melainkan karena salah pengertian tentang bukti tadi. Sumber dari kesilapan ini ialah kata yang dua artinya, arti berlipat, arti yang terkhusus dipakai pada satu tempat, dipakai pula pada tempat yang lain. Jadi bukanlah salah menimbang bukti sebagai keterangan (Ingatlah dalam perkara yang pasti A itu mesti A).
Perkara (a): Kesilapan karena arti kata yang berlipat, misal: Permbunuhan itu mestinya seorang yang paling kejam. Pangeran Diponegoro banyak membunuh musuhnya. Diponegoro mestinya seorang yang paling tamak dan kejam. Dengan pembunuhan pada simpulan besar (mayor proposition) dimaksudkan arti umumnya dari pembunuhan: seorang yang mengambil jiwanya manusia lain atas dasar yag buruk dan maksud yang jahat. Membunuh pada simpulan kecil berarti menewaskan musuh atas dasar dan maksud yang diakui suci. Bukanlah semuanya yang melakukan “pembunuhan” itu boleh dianggap sebagai pembunuh dalam arti biasa. Pasalangan Syllogism diatas memang beres. Dua kata pembunuh dan membunuh memang ada pada tempatnya. Kedua kata itu seperti sudah ktia ketahui dinamai common-Term (kata tengah) dan Kata Tengah itu betul dipakai sebagai sebutan (predicate) dari simpulan kecil. Sebab kesilapan semacam ini juga dinamai kesilapan dari perlipatan arti kata tengah.
Misal yang klasik, yang tua dari golongan ini:
Umpamanya Archilles bisa lari 10 kali lebih cepat dari penyu. Tetapi kalau Archilles menjalani 180 meter, maka penyu sudah 180 meter lebih dimuka. Sebab? Kalau Archilles habiskan pula yang 180 meter ini, penyu sudah 180 meter lebih maju. Begtiulah seharusnya: Simpulan: archilles boleh “seterusnya (infinitely)” mengejar dengan tak bisa menangkap penyu.
Memang persoalan ini tak bisa diselesaikan dengan jalan begitu. Banyak Ahli Filsafat yang pusing kepalanya sebab persoalan ini. ada yang mengatakan memang tak bisa diselesaikan.
Tetapi kita di sekolah Rakyat acapkai berjumpa dengan persoalan semacam itu. Kita tahu, bahwa kalau seandainya Archilles bisa lari 200 meter dalam satu menit, jadi penyu cuma 20 meter, Archilles tiap-tiap menit 200 M – 20 M = 180 M lebih dekat pada penyu. Antaranya ada 1800 M = 10 X 180 M.
Jadi dalam 10 menit Archilles bisa pegang Sang Penyu.
Ahli Filsafat Hobbes memang sudah paham dimana kesalahannya para ahli Filsafat yang lainnya tadi. Letaknya kesilapan itu ialah pada kata “Seterusnya”.
Memang antar Archilels dan Penyu yang 1800 M itu bisa dibagi seterusnya. Bisa dibagi dengan 10, 100, 1000 ...............seterusnya. jadi pembagian dari antara itulah yang berarti seterusnya, infinitely. Bukan tempo yang berarti seterusnya itu. Nah ahli Filsafat tua pada satu tempat memperhubungkan seterusnya itu dengan pembagian antara, ialah antara Archilles dengan Penyu. Pada simpulan ia maksudkan dengan seterusnya itu ialah seterusnya sebagian Sang Tempo yang memang terus-menerus infinite katanya dalam filsafat. Pada umpama diatas yang 10 menit itulah yang teranggap inifinte, seterusnya tak putus-putusnya. Bukan yang 1800 M ialah antara Archilles dan penyu sebelum berlomba.
Perkara (b): Kesilapan karena akibat sama dengan pokok.
Petitio Principli namanya yang umum dalam Ilmu Logika. Begging the Question, Inggrisnya. Arguing in a circle, seperti menghasta kain sarung juga termasuk pada kesalahan ini. dalam sesuatu peruraian umumnya pada perdebatan terkhususnya, hal ini mesti diawasi betul-betul.
Dalam kebanyakan buku bagian dari Aristoteles sampai Mill tentulah banyak sekali contoh dari kesilapan ini.
Sebetulnya dalam menguraikan ini acapkai didapat yang bersangkut-paut dengan ini sudah dibicarakan dalam definisi yang berputar-putar, dircule-indefinicudo kita memperlihatkan bahwa barang mesti di dedifinisikan itu, diganti dengan nama baru bahwa yang sama artinya, jadi mesti diterangkan lagi. Begtiulah “Ahimshanya” Mahatma Gandhi dengan “Kodrat Jiwanya” sama-sama gelap keduanaya buat orang ber-intelek.
Petitio Principli, Begging the Question, Arguing in a circle, tak berbeda dengan itu. Kesilapan pada hal ini disebabkan karena sebetulnya akibat sama dengan pokok perkara (premise), atau berseluk-beluk dengan premise itu.
“Tuhan itu ada” kata seorang. Kita bertanya: “Apa keterangan, apa ujiannya”. Dia akan menjawab “sebab ada dalam Kitab Suci”, atau dia jawab dengan pertanyaan pula: “Kalau tak ada tuhan siapa yang bikin Alam ini?”.
Sekali lagi saya peringatkan: Ada atau tidaknya Tuhan itu semata-mata perkara “kepercayaan” dan kepercayaan “masing-masing” orang. Maksud contoh ini dan yang lain-lain yang berhubungan dengan ketuhanan, bukanlah mau menguraikan ada atau tidaknya Tuhan, melainkan buat melaksanakan “Cara berpikir” berdasarkan Mistika. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu kepercayaan orang lain.
Jadi kalau adanya Tuhan itu diuji, dijelaskan dengan sebab adanya Kitab Suci, maka menurut Logika penjelasan semacam itu berputar saja. Maksudnya dengan kitab tentulah Kitab sebagai Firman Tuhan, ialah Kitab Injil, Talmud, Qur’an dll. Jadi kembali kepada pokok perkara yang mesti dijelaskan ialah: adanya tuhan itu tadi. Kalau Tuhan itu ada, barulah boleh dikatakan Kitab itu bikinan-Nya atau Firman-Nya. Kalau tak ada, bagaimanakah kita bisa membilang bahwa kitab itu bikinan-Nya atau Firman-Nya, ialah Kitab Suci. Jadi ujian diatas tiadalah cocok dengan ujian Logika. Sebab itu menurut Logika tak memberi penjelasan, jadi bukanlah ujian menurut Logika.
Begitulah juga kalau penjelasan menjawab dengan: Kalau tak ada Tuhan siapa yang bikin Alam ini? Disini pokok perkara (premise) dan akibat, Alam dan Tuhan sebagai pembikin Alam ada dua perkara yang berseluk-beluk. Adanya Alam dijelaskan dengan adanya Tuhan. Ada tak adnya Tuhan dijelaskan pula dengan adanya Alam. Kita tak bisa maju selangkah pun berjalan dengan cara berputar-putar dari ujung ke pangkal semacam ini.
Periksalah sendiri oleh pembaca, dimana terletaknya kesilapan pada beberapa contoh klasiek (tua) dibawah ini:
- Satu Ahli Ketuhanan Zaman Tengah:
- Plato, dalam Sophistis:
Sebab: keadilan dan kebijaksanaan (wsidom) itu tak berbeda (tak nyata0.
Dan keadilan dan kebijaksanaan itu adalah sesuatu barang (perhatikanlah arti sesuatu barang yaitu benda yang nyata itu).
- Tiap-tiap bagian benda itu berapaun kecilnya, mesti punya muka atas dan muka bawah.
Perkara (c): Ignoratio Elenchi, menyimpang jalan.
Kesalahan ini timbulnya karena akibat yang mesti diuji kebenarnnya itu sama sekali tak bersangkut-patu dengan okok pembicaraan pendebat tiada memberi pengujian yang cocok dengan Logika, dengan membentangkan perhubungan ujung dan pangkal, akibat dan sebab. Melainkan ia membangunkan kepercayaan, kegelian, kemarahan atau kebencian para pendengar. Dengan begitu pikiran tenangnya para pendengar menjauh atau menerima saja uraian tadi. Sopist dan demagogue yang pada zaman Yunani berarti “pengapusan ramai”, menurut musuhnya banyak mempergunakan cara Ignoratio Elenchi itu. Indonesia dan negeri manapun juga di dunia sekarang tentulah tiada asing dengan penghapusan itu.
Demikianlah kalau seorang pendebat tiada membentangkan kesalahan paham lawannya tentang ekonomi atau politik umpamanya: Melainkan dia majukan agama atau tingkah lakunya lawannya itu. Dengan begitu bangunlah perasaan geli, marah, benci atau fanatik pada para pendengar dan lupa akan pokok perkara. Kalau pendebat dan para pendengar misalnya beragama Islam, sedangkan lawannya bukan Islam atau tidak beragama sama sekali, tentulah dengan cara begitu pendebat mudah membangunkan perasaan terhadu dan melenyapkan pikiran yang tenang para pendengar.
Kalau pendebat menjelaskan, bahwa si Anu itu salah pahamnya dalam hal politik atau ekonomi, karena itu tak kawin secara Islam, pernah makan babi atau tak pernah bersembahyang, maka pendebat semacam ini menjalani kesalahan Ignoratio Elenchi (menyimpang jalan).
Seorang pokrol bambu yang bukan menjelaskan, bahwa lawannya betul membuat sesuatu pekerjaan jahat dengan memberi beberapa bukti yang sah, melainkan majukan bahwa pekerjaan jahat semacam itu amat merusak masyarkat, juga kesilapan Ignaratio Elenchi. Dengan pidatonya yang bersemangat dia bangunkan nafsu buta para pendengarnya.
Begitu juga kalau si Pokrol bambu tadi tiada menjelaskan bahwa si Tertuduh yang dibelanya tiada berbuat pekerjaan yang dituduhkan, melainkan kemukakan kemelaratan yang membangunkan bekas kasihan dan mencucurkan air mata para pendengar. Kalau dimajukan, bahwa si “inlander” ini juga mestinya malas, sebab semuanya “inlander” itu malas, masuk golongan yang diatas juga.
Disini sifat yang disangka melihat pada umum dikira juga dapat pada satu contoh yang terkhusus!
Pasal 13. KRITIK ATAS LIMA KESILAPAN.
Saya tiada bisa habiskan pasal tentang Logika ini sebelum mengadakan kritik atas lima kesilapan itu. Tiap-tiap buku Logika menganggap kesilapan itu berarti perkara yang penting sekali. Tentulah pula penting, karena seorang yang mau berpikri tepat itu tidak saja mesti tahu mana undang berpikir yang betul saja, tetapi pada ketika itu mesti ketahui mana yang salah. Dalam pikiran seorang Nahkoda tidak saja disimpan jalan yang ebtul, tetapi bersama-sama dengan itu jalan yang salah, karang yang bisa menenggelamkan kapalnya. Postif dan negatif memang tak bisa diceraikan. Tetapi oleh ahli Logika kesilapan itu dianggap kesilapan Logika atau berasal dari psychology (Tata Jiwa) belaka. Disini saya mau kemukakan bahwa kesilapan itu tidak berdasarkan Logika atau Psychology belaka. Marilah kita periksa kesilapan itu satu persatu.
Pertama: Kesilapan yang timbul pada pemeriksaan bukti yang dinamai kesilapan “a priori”, dan saya namai “mystificatie” itu. Mystificatie kata saya sebab memang kesilapan ini tiada berhubngan dengan kecerdasan si pemikir memakai Logika, diantara mereka kebanyakan ahli filsafat seperti Hegel dan ahli matematika seperti Descrates, melainkan berhubung dengan kepercyaan mereka yang mistik; Ide yang pertama yang berkuasa dan bisa menimbulkan Benda Bukti; Dewa R A dan Alam!
Kedua: Kesilapan yang berhubung dengan pekerjaan mencari butki seperti diatas juga, ialah kesilapan sebab lupa atau salah memperhatikan bukti itu. Juga disini salah dan lupa itu tiada bisa dianggap salah dan lupa memakai pancaindera buat memperamati bukti. Seorang cukup umur, cukup didikan, dan cukup mengalaman kalau berkali-kali menghadapi kejadian yang berlawanan dengan kepercayaannya, tetapi terus percaya bahwa kejadian itu cocok dengan anggapannya bermula, tiadalah salah atau lupa dalam arti biasa. Walaupun berkali-kali sudah peperangan besar, tiada mendahlui surga 1000 tahun itu, dan sipercaya masih terus percaya bahwa peperangan yang akan datang itu niscaya akan mendahlui surga kekal gilang-gemilang itu bukanlah ia lupa atau salah menganggap kejaian yang sudah-sudah dalam arti biasa. Kalau kejaian itu berhubngan engan kantongnya pasti matanya akan terbuka! Lain dari pada ini memang ada kesilapan psychology, lupa atau salah memperamati sebab kejaian amat mendahsyatkan. Jadi kesilapan kedua ini setengah mistifikasi dan setengan psychologis.
Ketiga: Kesilapan dalam menyusun bukti mendapatkan undang. Kesilapan ini ada dibagi atas tiga ragam pula: (a) Kesilapan Analgoy, persamaan rupa; (b) kesilapan berhubung dengan tempo dan tempat; (c) Kesilapan post hoc .......sebab tunggal: lalu saya pandang kesilapan ini juga bersifat dua macam. Pertama bersifat terutama berhibung dengan Logika. Kedua dan lebih banyak berhbung dengan Point of View, penjuru dari mana si pemeriksa memandang. Dalam perkara berhbungan dengan Benda semata-mata Ilmu Alam & Co boleh jadi kesilapan itu disebabkan salah memakai undang Logika. Tetapi dalam Ilmu Masyarakat, seperti Agama, Politik, Ekonomi & Co, pasti kesilapan itu berhubung dengan penjuru memandang. Pemikir kapitalisme mesti menyalahkan simpulan pemikir Sosialist dan Komunist. Begitu juga pemikir Soialis dan Komunis tak akan membenarkan simpulan ahli kapitalis dalam Ilmu Masyarakat itu! Hidup si Kapitalis, si Komunis mesti mati. Hidup si Komunis mesti mati si Kapitalis. Disini ada perlawanan dan peperangan mati-matian.
Keempat: Kesilapan dalam penglaksanaan. Kalau penjuru memandang sudah ditentukan lebih dahulu, lebih-lebih dalam Ilmu Masyarakat, dan bukti cukup, quality dan quantitynya, sifat dan bilangannya dan undang diperoleh dengan syarat Dialektika dan / atau Logika yang sempurna, maka penglaksanaan mesti awas sekali memperhatikan Undang Syllogism, dsb. Pada penglaksanaan ini terutama Logika berimaharajalela. cuma disini saja.
Kelima: Kesilapan karena keliru. Kesilapan ini terbagi pula atas tiga ragam, a) Karena arti kata berlipat, b) Petitio Principli. Begging the Question, menghesta kain sarung, c) Ignoratio Elenchi, menyimpang jalan. Disini juga mesti dipisahkan antar Ilmu Masyarakat itu sendiri. ilmu yang bisa mengandung banyak objectivity, ketenangan pikiran dan Ilmu yang mesti mengambil pihak mengambil penjuru memandang lebih dahulu. Sesudah si pemeriksa mengambil pihak lebih dahulu, barulah awasi: a) kata berlipat, b) cara mengesta kain sarung dan c) cara menyimpang jalan menipu.
Dengan peninjauan sepintas lalu diatas, teranglah bahwa tiada berapa sisa daerah kesilapan yang semata-mata berdasarkan Logika. Sebagian besar dari kesilapan diatas dari 1-5 pertama sekali berhubung dengan Mistifikasi, ialah dengan persoalan Ide dan Matter, Rohani atau Jasmani. Kedua berhubung dengan pendirian dalam masyarakat, dengan point of view, penjuru memandang wujudnya dengan Dialektika. Ahli Logika yang silap itu tidak memperhatikan tempo dan tempat, gerakan, seluk-beluknya perkara dan pertentangan dalam badan masyarakat sendiri. seorang pemeriksa harus memisahkan Ilmu dan buktinya yang berhubungan langsung dengan masyarakatnya dan Ilmu yang tidak langsung berhubngan. Ilmu Ketuhanan, Sejarah, Politik, Ekonomi, Sociologi, pada satu pihak, Ilmu Matematika, Ilmu Bintang, Ilmu Kodrat, Ilmu Kimia, Ilmu Bumi, Ilmu Biologi dsb pada lain pihak. Pada bagian pertama terkhususnya mesti ditentukan lebih dahulu pihak mana yang mesti diambil si pemeriksa. Pada bagian keduapun kalau kaji pemeriksa jadi mendalam, si pemeriksa mesti mengambil pihak. Sesudah mengambil pihak dalam masyarakat, pihak penindas atau tertindas, jadi sesudah menentukan Point of View, Penjuru Memandang, barulah bukti bisa dikumpulkan dengan berhasil, disusun menjadi undang, dengan sempurna menurut cara pihak masing-masing. Sesudah undang semacam itu diperoleh, barulah penglaksanaan bisa dijalankan. Pada jalan dari bukti naik keundang umumnya dan dari undang terus ke bukti terkhususnya, kita mesti perhatikan aturan dan undang berpikir yang sudah dipastikan oleh Logika.
Para ahli Logika dari Aristoteles sampai Mill tiadalah memperhatikan dan memperdulikan persoalan Benda dan Pikiran itu serta dimana daerahnya Logika borjuis itu akan terus-menerus tercantum dalam buku yang sduah terutlis dan akan tertulis sampai masyarakatnya punah seolah-olah sudah dinasibkan Tuhan sebagai akibatnya dosa Nabi Adam dan Siti Hawa.
Hanyalah pada masyarakat baru dosa tadi akan hilang dan kesilapan tadi akan mendapat pengertian lain.
SUMBER : http://www.tanmalaka.estranky.cz/ Rating: 4.5
Description: L O G I K A MADILOG BAB VI
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: L O G I K A MADILOG BAB VI