Published On:Sabtu, 21 Januari 2012
Posted by Unknown
Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian III
(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Ketiga dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.
(Gambar : Penduduk pergi ke pasar)
Sumatera adalah daerah pengrajin emas. Di Fort de Kock, lereng gunung Singgalang, penduduk desa Kota Gedang mengolah semua jenis perhiasan, mereka juga membuat kain yang indah, membuat sulaman terawang, dan seni halus lainnya untuk mempercantik gadis manis di daerah indah ini.
Fort de Kock mempunyai ketinggian 930 M. Tinggi dan memiliki suhu yang sangat nyaman. Namun situasi kesehatan masih jauh dari sempurna, demam adalah biasa disini. Dokter Belanda banyak memberikan resep untuk nyamuk yang melayang di atas genangan sawah di sekitar kota yang membentuk rawa buatan yang besar. Dari perspektif ini, Padang Pandjang, meskipun jauh lebih rendah, jauh lebih disukai. Kecuraman dari lereng sana menghilangkan genangan air, dan berkat curah hujan yang melimpah dan teratur tidak ada variasi yang besar pada suhu. Selain nyamuk, bagaimanapun, kondisi orang Eropa di Fort de Kock dan koridor kecokelatan yang teduh menunjukkan tingkat kesehatan yang baik di sini.
Orang Eropa sebagian besar pergi berlibur kesini, dan banyak perwira datang dan pergi dari Aceh. Ada banyak garnisun, dan mereka hidup nyaman dan sederhana, dengan kenyamanan dan gaya hidup yang efektif, seperti yang saya lihat di Jawa. Barak kecil, bangunan rendah, yang tidak memiliki kesamaan dengan reuzentabernakels kami yang menghabiskan biaya besar di Saigon, Hanoi, Dakar dan Saint Louis.
Di sini semua orang tidak merasa tercela tinggal di rumah kecil. Sebuah rumah dengan taman di mana orang dapat berjalan ke rumah tetangga dalam tiga puluh langkah.
(Gambar : Rumah perwira di Fort de Kock)
Di luar hampir tidak ada apa-apa, dan tidak ada alasan untuk membangun sesuatu disana. Di Hindia Belanda barak menempati wilayah besar, mereka tidak di dalam kota, seperti di Saigon atau Hanoi, tetapi di luar. Bangunan biasanya dibuat di lereng landai, yang berdrainase baik dan dibedah oleh parit-parit yang dalam dari semen, yang masih banyak mengalir air. Ada taman bunga besar, banyak pohon dan udara segar, paviliun dan di belakang masing-masing rumah memiliki kamar mandi kecil dalam jumlah yang cukup. Kotak-kotak ini begitu kecil. Tidak ada rumah yang memiliki ruang dengan dinding bercat putih, , betapapun kecilnya, di mana terdapat sebuah bak mandi dengan air jernih, untuk mandi berendam.
Di luar barak ada klub para bintara dan prajurit. Para perwira juga pergi ke Club, Harmony, dimana pegawai negeri juga menjadi anggota, tetapi para prajurit memiliki lingkungan mereka sendiri. Mereka memiliki ruangan membaca dan permainan, lapangan untuk permainan bola dan tennis, dan yang mungkin dapat menjelaskan bahwa situasi kesehatan di Hindia Belanda lebih baik daripada di Indo-China.
Pada malam hari, para tentara kelihatan tampan berseragam coklat, dengan menggandeng atau memeluk pinggang seorang gadis. Di barak, para wanita bebas menemui pasangannya, dan ada dapur terpisahnya, dimana masing-masing menyiapkan hidangan untuk pasangannya tersebut. Area tidur dipisahkan menjadi dua, untuk bujangan dan keluarga. Para perwira yang membawa saya berkeliling, memuji kebebasan yang mereka dapatkan, yang mereka anggap sangat diperlukan untuk menghapus kerinduan pada rumah dan semua hal-hal sedih lain, dan saya pikir mereka benar.
(Gambar : Kamar di dalam barak tentara di Fort de Kock)
Bukan berarti sistem seperti itu dapat diterapkan pada seluruh koloni. Harus juga memperhitungkan karakter dan temperamen. Orang Belanda di sini senang dengan kehidupan yang tenang dan monoton. Di Fort de Kock, di Batavia dan di tempat lain ada sedikit perbedaan. Namun lingkungan disini indah. Kami suka itu. Kami akan mengunjungi danau Manindjoe dan kawah gunung Merapi.
Kami pergi dengan mengendarai kuda, pagi pada tanggal 22 April. Ketika pertama kali meninggalkan kota kami turun ke jurang yang dalam, yang mengalir anak sungai dari Masang, Si Anoq. Sungai berliku dengan kedalaman antara 2 M-300 M. Lembah yang luas, dikelilingi oleh dinding putih, yang curam dengan kedalaman 100 M. Lembah ini disebut Karbouwengat. Kami mengarungi sungai ke hulu dan mengikuti tepi sampai bertemu dengan sungai lain. Kabut pagi membuat batu berwarna terang dengan pegunungan yang tajam dan bentuk terpahat memberi kesan yang mendalam. Setiap jejak air ke dalam batu pasir yang lembut memiliki alur dalam, di mana banyak tanaman tumbuh. Di sana-sini blok terpisah, dimahkotai dengan pohon-pohon.
Di atas dataran tinggi kami melihat ke arah ngarai, sempit berkelok-kelok, karena ada begitu banyak di sini. Mereka membentuk tanjung dan pulau-pulau, dataran hijau tempat kerbau digembalakan. Kami segera turun ke dalam lembah Masang. Bambu dan semak yang menunjukkan tempat dimana sering dilewati, sekarang rata dengan tanah karena banyak hujan.
Di desa pasangrahan Matoea kami meninggalkan barang-barang kami. Pengawas laki-laki pribumi telah menunggu kami, dia telah menyewa kuda segar dan setelah istirahat beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan. Daerah ini menawan. Kanan dan kiri jalan tanah naik secara bertahap, dan ada gundukan bulat di atas dengan kanopi hutan. Kampung terdiri dari deretan rumah sepanjang sawah, dan di mana-mana kita melihat atap dengan ujung runcing, sehingga tampak akan terbang segera. Belakang punggung bukit nampak tidak teratur, mendekati cakrawala, kabut naik dan menyebar ke semua sisi. Kami masih berada di ketinggian, saat tampak seolah-olah tujuan menghilang di depan kami, dan tiba-tiba tenggelam dan kemudian tanah di bawah kaki juga menghilang, kami melihatnya. Danau Manindjoe.
Lingkaran danau yang tenang, adalah sebuah kawah kuno berdimensi raksasa. Danau itu sendiri memiliki panjang 16 KM dan lebar 8 mil. Sekitar pantai, air mengikis tebing, dengan ketinggian antara 11 M-1200 M. Tinggi di atas tepi danau. Jalan di mana kami lewat dan seolah-olah akan jatuh tadi berada 700 M di atas danau. Lereng ke sisi danau sangat terjal dengan jurang dan jalan yang berkelok-kelok mengitari pegunungan, di mana sawah bertingkat-tingkat, dengan taman di sekitarnya.
Yang tidak menggembirakan adalah langit gelap dan mengancam. Di sekitar danau berkabut tebal. Ketika melihat ke selatan hanya terlihat dinding hitam, naik di atas air, di mana kabut putih pucat merayap. Sesekali petir menerangi dinding ngarai, dan terbayang adegan mengerikan saat aliran lava pijar datang bergelombang dulunya. Sinar itu menerangi sawah yang berwarna emas pucat, kebun kelapa, atap besi dan kayu, dan kami terus berlanjut mendekati permukiman. Kami dengan cepat menurun ke bawah, memotong jalan tanah licin, kuda kami gesit dan cepat seperti kambing. Tidak ada angin, kami hanya melihat sedikit riak di permukaan air, di atas kabut menggantung, lalu tiba-tiba beberapa tetes air mulai jatuh. Kami berada di hutan di ngarai yang sempit,tiba-tiba hujan lebat, membuat kami basah kuyup sampai di Manindjoe.
Auditor Manindjoe telah diberitahu sebelum kedatangan kami. Kebaikan luar biasa dari penerimaan nya membuat kami segera melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan tadi, dan saat kami menyesal bahwa kami hanya sedikit menyaksikan pemandangan yang indah karena kabut, dia mengajak kami untuk melanjutkan pada sisa hari. Saat matahari muncul lagi, langit cerah, dan kami jadi lebih dapat melihat dengan cara yang berbeda. Kami menerima tawaran agar seorang pelayan dikirim ke Matoea untuk mengambil barang-barang. Kami menghabiskan sore yang menyenangkan. Hujan telah berhenti. Kami berdayung di danau. Air, bergerak dalam membuat jurang di antara perahu.
Malam jatuh, malam yang indah dan hening, garis-garis warna merah dalam kabut abu-abu membuat suasana seperti di surga. Tidur nyenyak tanpa terganggu oleh apa-apa, tidak ada angin, tidak ada tangisan, dan hanya beberapa lampu malu-malu bersinar sepanjang tepian, di bawah pohon palem tinggi.
Keesokan paginya saat fajar kami meninggalkan Manindjoe dengan rasa sedih. Inilah surga tempat dimana orang-orang bisa hidup dengan tenang , dengan udara yang lembut dan indah! Tidak ada tempat di dunia ini yang pernah saya rasakan begitu memberi kedamaian dan kebahagiaan.
(Fakta menarik :
1. Memang sudah kodratnya bahwa kaum ibu itu kalau ke pasar selalu full asesoris. Sejak jaman dulu ternyata....:)
2. Koto Gadang sudah terkenal sebagai daerah produsen perhiasan dan sulaman.
3. Meskipun banyak nyamuk, tapi orang-orang Belanda di Bukittinggi sehat-sehat.
4. Bukittinggi sudah jadi lokasi berlibur bagi orang-orang Belanda, terutama dari Aceh. Ini tentu karena di Aceh waktu itu masih perang basosoh. Jadi refreshing itu perlu untuk yang baru pulang dari front pertempuran.
5. Lokasi garnisun di Bukittinggi (lapangan kantin sekarang) berada di luar kota.
6. Rumah perwira dianggap terlalu kecil di mata orang Belanda. Juga kamar mandinya, yang tidak pakai bath-tub. Meski demikian, toh mereka enjoy-enjoy saja....
7. Para prajurit dan para perwira memiliki club atau tempat ngumpul yang berbeda. Disana mereka membaca dan main bola atau tenis.
8. Para tentara bebas membawa wanita ke dalam barak. Katanya obat kangen kampung halaman....
9. Perjalanan ke danau Maninjau dilakukan lewat bawah ngarai Sianok dan naik lagi menjelang Matur. Jadi bukan lewat jalan umum. Ini yang menyebabkan pemandangannya menjadi menakjubkan.
10. Deskripsi tentang danau Maninjau, kabutnya, awan mendung dan hujannya serta suasananya sungguh detail dan luar biasa. Sampai sekarang Maninjau masih seperti itu.....)
(Sumber : www.gutenberg.org)
Description: Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian III
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian III