PARIAMAN mungkin rantau yang agak unik dalam sistem geopolitik Minangkabau tradisional. Islam yang kemudian mewarnai kebudayaan masyarakat di pedalaman Minangkabau konon dikembangkan dari Pariaman. Di abad ke-17 di Ulakan sudah berdiri ‘sekolah Islam’ pertama yang dirintis oleh Syekh Burhanuddin. Dan…hanya di Pariaman pula, sejak zaman lampau orang sudah merintis ‘sekolah beruk’.
Kali ini Singgalang Minggu menampilkan foto klasik sebuah ‘sekolah beruk’ di Pariaman. Foto ini berasal dari artikel J. Jongejans, berjudul ‘Apenscholen’ (Sekolah Beruk). Jongejans yang mengunjungi Sumatera Barat akhir 1930-an mengagumi alam dan masyarakat Minangkabau. Di Pariaman ia tertarik melihat kebiasaan masyarakat setempat memanfaatkan
baruak (beruk) untuk memetik buah kelapa. Ia kagum kepada ketelatenan dan kesabaran orang Pariaman mengajari anak-anak beruk yang ditangkap di rimba hingga akhirnya binatang liar itu bisa dimanfaatkan untuk memetik buah kelapa.
Foto di atas memperlihatkan cara mengajari anak beruk memetik buah kelapa. Seekor anak beruk disuruh memilin atau menggigit tangkai buah kelapa yang diberi tali dan digantungkan di tiang berpalang panjang. Dengan telaten seekor anak beruk disuruh berkali-kali memilin buah kelapa yang digantungkan itu. Buah kelapa itu akan dijatuhkan oleh tuannya, kemudian ditarik kembali ke atas. Hal dilakukan berkali-kali sehingga anak-anak beruk itu jadi mengerti, sampai setelah besar ia dapat disuruh memetik kelapa dari pohonnya. Kurang jelas kenapa para ‘guru’ di ‘sekolah beruk’ ini tidak pakai baju. Mungkin juga karena mereka ingin mendekatkan dan mengakrabkan diri dengan para ‘muridnya’ yang juga tidak pakai baju. Bukankah ada pepatah bahwa guru adalah teladan bagi murid-muridnya: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Seekor beruk dewasa bisa memetik ratusan kelapa sehari. “Setiba di atas beruk itu mulai memetik sembarang buah, tetapi oleh tuannya di bawah buah itu dianggap terlampau kecil atau masih muda, ia tidak hanya mengatakan tidak, tapi juga menarik tali sedikit. [B]eruk itu mengambil kelapa yang lain sambil melihat ke bawah untuk mendapat isyarat apakah tuannya menyetujui ini. Apabila ya dan dikatakan baik, baru ia mulai menggigit tangkainya dan memutar-mutar dengan kaki depannya, sehingga kelapa putus dari tangkainya dan jatuh. Apabila malang kelapa itu tersangkut pergilah beruk itu ke sana untuk melepaskannya dan menjatuhkannya, dan mulai lagi bekerja sesuai dengan keinginan tuannya. [S]aya sendiri kemudian beberapa kali memperoleh beruk seperti itu, tetapi dari jenis yang istimewa sebab saya sudah perhatikan tidak semua beruk dapat mempelajari cara mengambil buah kelapa itu”, demikian tulis J.C. Boelhouwer, seorang komandan militer Belanda yang pernah bertugas di Pariaman tahun 1830-an dalam bukunya Herinneringen van mijn verblijf op Sumtra’s Westkust gedurende de jaren 1831-1834 (Kenang-kenangan masa tinggal saya di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834) (1841:66). Namun, kadang-kadang ada pula beruk yang ‘berulah’ dan melawan kepada tuannya, terutama beruk jantan gedang yang wajahnya kelihatan sangar.
Beruk memang dekat dengan kehidupan orang Pariaman, sehingga di daerah ini dikenal beberapa idiom yang terkait dengan binatang ini, seperti ‘tukang
baruak’, ‘garogok
baruak’, ‘bajapuik jo
baruak’, ‘batuka
baruak jo cigak, [taimbuah sikua karo]’, ‘sugi sagadang tumbuang
baruak’, ‘bantuak
baruak tampak ulek’, ‘bantuak
baruak dapek camin’, bantuak
baruak kanai cirik ayam’, ‘induak
baruak’ (istilah untuk kartu joker dalam permainan kartu remi) dan, tentu saja yang harus dihindari adalah: ‘parangai
baruak’. Dan tentu kita teringat pula pada ungakapan lama: ‘Anak dipangku dilapehan,
baruak di rimbo disusukan.’
‘Sekolah beruk’ yang unik ini mungkin bisa pula dikembangkan jadi objek wisata budaya Sumatra Barat, khususnya di Padang Pariaman. Siapa tahu banyak bule yang berminat merasakan pengalaman menjadi ‘guru’ di sekolah beruk ini. Pembayaran training jadi guru sekolah beruk itu bisa dalam bentuk Dollar, dan tentu bisa disatu paketkan dengan training manyulo karambia.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: J. Jongejans, “Apenscholen”, Onze Aarde 12de Jrg., 1939: 254-256)
Dimuat : Singgalang, Minggu, 24 Oktober 2010
sumber : http://niadilova.blogdetik.com/