Oleh : Epy Buchari
Salah satu objek wisata di Bukittinggi adalah yang namanya ‘Benteng’ atau lengkapnya ‘Benteng Fort de Kock’.
Dari arah Padang melalui jalan Sudirman lokasi ini dapat dicapai melalui jalan Haji Agus Salim dan jalan Yos Sudarso. Lokasi wisata Benteng terletak di ujung jalan Yos Sudarso ini sebelum berbelok ke kiri menuju jalan Panorama.
Kawasan Benteng merupakan sebuah bukit, dengan pemandangan terbuka ke arah Utara. Bukit ini dihubungkan dengan sebuah jembatan (untuk pejalan kaki) dengan bukit di sebelah Timurnya yang merupakan kawasan kebun Binatang Bukittinggi. Jembatan ini diberi nama jembatan Limpapeh.
Sebagai objek wisata, kawasan benteng jadinya berdekatan dengan kawasan wisata Kebun Binatang, dan relatif dekat dengan Jam Gadang dan Panorama yang merupakan ikon wisata Bukittinggi lainnya. Kawasan wisata terdekat lainnya adalah Ngarai Sianok.
Kawasan wisata kebun binatang merupakan peninggalan Belanda, dengan unsur edukatif berupa pengenalan dan penumbuhan rasa sayang terhadap beragam makhluk ciptaan Allah SWT yang terdapat di Sumatera dan daerah lainnya di Indonesia (malah sampai tahun 1950an masih ada beruang kutub; dan pada masa itu mungkin masih merupakan kebun binatang satu-satunya di pulau Sumatera). Di lokasi kebun binatang ini juga dapat dilihat prototype rumah gadang yang difungsikan sebagai musium yang memperlihatkan sebagian budaya Minangkabau.
Jam Gadang yang sekaligus merupakan landmark Bukittinggi merupakan bangunan bersejarah yang telah melampaui tiga zaman, dengan bagian atapnya yang telah berganti bentuk sebanyak 3 kali : zaman Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan.
Panorama dan Ngarai akan menumbuhkan rasa kagum akan ciptaan Allah SWT berupa kedahsyatan peristiwa geologi dan proses pembentukan dan perubahan muka bumi yang masih berlangsung sampai sekarang. Tangga (janjang) yang menghubungkan bawah Ngarai dengan Kotogadang di sisi Ngarai yang lain, setengah abad yang lalu di pagi hari dipenuhi oleh anak-anak Kotogadang yang dengan ceria berlari-lari kecil menuruni tangga itu menuju sungai Sianok dibawahnya untuk kemudian mendaki kembali dengan berjalan kaki ke Bukittinggi untuk pergi ke sekolahnya masing-masing. Siang hari mereka kembali menempuh rute yang sama ke Kotogadang. Semangat belajar yang luar biasa (!), yang menghasilkan segudang kaum terpelajar pada masa itu dan masa-masa setelahnya.
Di Panorama ini juga dapat dilihat dan dimasuki gua peninggalan Jepang yang tembus sampai ke jalan besar menuju Ngarai Sianok. Objek wisata ini dilengkapi dengan sketsa gua dan lokasi-lokasi yang dapat dilihat di dalam gua. Ini tentunya mengandung pelajaran dan merupakan peninggalan sejarah yang mengesankan.
Sekarang kita kembali ke benteng Fort de Kock yang disebutkan diatas. Kawasan ini lebih merupakan sebuah taman di punggung bukit, dengan sebuah bangunan beton yang dihiasi dengan tulisan ‘Fort de Kock’. Dapat dilihat pula beberapa buah meriam kuno dan sedikit informasi tentang benteng ini.
Informasi bersifat standard tentang benteng Fort de Kock ini juga dapat dibaca di berbagai brosur wisata atau blog/website di Internet menyebutkan bahwa benteng ini dibangun di Bukik Jirek pada masa perang Padri pada tahun 1825 oleh Kapten Bauer. Semula diberi nama Sterrenschans yang kemudian dirubah menjadi Fort de Kock mengikuti nama Lieutenant Governor General Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock.
Bagi mereka yang mungkin pernah melihat benteng Marlborough di Bengkulu, atau benteng Kuto Besak di Palembang, atau benteng Rotterdam, atau benteng Vasterberg di Solo, pertanyaan pertama yang timbul sewaktu berkeliling di kawasan benteng Fort de Kock adalah : lho…mana bentengnya…? Ya, memang tidak tampak sesuatu benteng atau sisa-sisa bangunan benteng di kawasan ini.
Benteng Rotterdam Makassar
Satu-satunya struktur yang ada adalah bangunan beton bertulang (yang berarti dibangun pada masa awal abad ke 20) yang dihiasi dengan tulisan ‘Fort de Kock’ yang disebutkan diatas. Hampir semua tulisan, brosur, blog atau website yang bercerita tentang benteng Fort de Kock selalu mencantumkan struktur bangunan beton ini sebagai ilustrasinya.
Inikah benteng atau sisa benteng Fort de Kock ? Dapat dipastikan bahwa sekurang-kurangnya ini bukanlah benteng yang dibangun oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 tersebut. Teknologi beton bertulang (reinforced concrete/gewapend beton) belum ditemukan pada masa itu.
Dilihat dari fungsinya, bangunan ini adalah sebuah reservoir/tandon/water toren/menara air untuk air bersih kota Bukittinggi yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Air dipompakan ke bak penampungan diatasnya, dan dengan gaya gravitasi dialirkan ke seluruh bagian kota yang terletak lebih rendah dari bak penampungan ini.
Di Bukittinggi mereka tidak perlu membuat menara tinggi sebagaimana yang dibangun di berbagai kota lain di Indonesia seperti Palembang atau Medan yang terletak di daerah yang relatif datar/rata.
Lokasi terbaik adalah lokasi diatas Bukit Jirek yang sekarang ini dengan elevasi sekitar 930an meter diatas permukaan laut (dpl). Ini adalah lokas tertinggi untuk kawasan kota
Bukittinggi yang umumnya berada pada elevasi 900 meter dpl atau kurang.
Dapatlah diperkirakan bahwa bangunan ini tidak ada keterkaitannya sama sekali dengan perang Paderi; dan jika tetap ingin dikaitkan dengan sejarah, dia tampaknya hanya sekadar terkait dengan sejarah sistim air
bersih/ledeng Bukittinggi dan tentunya tidak mengandung sesuatu unsur heroik apapun. Ini mungkin sekadar terkait dengan politik etis Belanda di awal abad ke 20 yang mulai membangun sekolah-sekolah dan berbagai bangunan yang tentunya juga ada hubungannya dengan kepentingan dagang mereka dan keberadaan sejumlah besar orang Belanda di kota Fort de Kock yang terus berkembang ini (nama Fort de Kock kemudian berubah menjadi nama kota yang berkembang di sekeliling benteng tersebut, yang kini bernama Bukittinggi). Bangunan menara air ini jadinya dibangun jauh setelah periode perang Paderi yang heroik itu.
Kawasan ‘Benteng’ juga tidak meninggalkan sisa-sisa atau puing sutu bangunan yang mirip benteng sebagaimana benteng Marlborough dan lain-lain diatas.
Juga tidak pernah ada catatan sejarah atau legenda yang menyebutkan penghancuran benteng Fort de Kock oleh pasukan Paderi atau pasukan pejuang Indonesia di masa perang Kemerdekaan.
Dan…pemerintahan Belanda atau bangsa Belanda dari rekam jejaknya bukan tergolong bangsa yang ‘hobby’ menghancur-hancurkan peninggalan sejarah yang terkait dengan mereka, apalagi yang merupakan hasil karya bangsa mereka sendiri.
Jadi…..manakah ‘benteng’ sebagaimana yang terekam jelas dalam sejarah yang dibuat oleh meneer Bauer tersebut, dan dianugerahi pula nama seorang Letnan Gubernur Jenderal Belanda itu ? Kalau memang pernah ada, bagaimana proses ‘raib’nya itu ?
Penjelasan yang logis menurut pendapat saya adalah jika kita bertolak dari elevasi bukit benteng itu yang merupakan bukit tertinggi di kawasan cikal bakal kota Bukittinggi masa itu sebagaimana yang diuraikan diatas (930an meter dpl).
Dari bukit itu (bukik Jirek) pemandangan lepas ke arah Utara yang menuju ke basis pertahanan Paderi di Bonjol, ataupun ke arah Barat (Ngarai) dan ke arah Timur. Ada kemungkinan dulunya kawasan Benteng dan kawasan Kebun Binatang merupakan satu bukit, yang kemudian sesudah masa damai keduanya dipisahkan oleh pembuatan jalan tembus Kampuang Cino yang merupakan pintu gerbang utama Bukittinggi dari arah Utara.
Ingin ‘merasakan’ posisi strategis bukit ini sebagai benteng pertahanan ? Bukalah Google Earth untuk kota Bukittinggi, putar arah Utara
Kawasan Benteng kelihatan di tengah agak ke kiri berwarna hijau. Sebelah kanan adalah Ngarai Sianok.
menjadi Selatan (Bukittinggi jadinya dilihat dari arah Utara), turunkan sudut pandang sehingga gambar menjadi 3 dimensi, lihat Bukit Jirek (Benteng) dan Kebun Binatang yang lebih tinggi dari posisi kawasan di Utara dengan gunung Merapi sebagai latar belakang. Dapatlah dirasakan bahwa semua gerakan di bagian utara Bukittinggi secara mudah akan terdeteksi dari kawasan Benteng dan Kebun Binatang ini (lihat foto 3D Google di atas).
Secara militer, kawasan Benteng dan Kebun Binatang ini merupakan benteng alam yang tidak lagi perlu dilengkapi dengan struktur kokoh sebuah benteng sebagaimana benteng-benteng Marlborough, Roterdam, Kuto Besak dan lain-lain itu.
Yang diperlukan di sini adalah parit-parit pertahanan (trench) yang mengitari bukit tersebut dan terhubung dengan daerah belakangnya yang berfungsi sebagai jalur logistik. Kelihatannya daerah sekitar Lapangan Kantin dan Belakang balok sejak awal sudah merupakan basis tentara Belanda yang datang dari arah Padang.
Parit pertahanan ini dapat dibuat beberapa tingkat sesuai dengan keperluannya. Parit-parit ini dibangun dengan mengikuti garis kontur (garis ketinggian).
Dari parit inilah serdadu Belanda secara leluasa dapat mengawasi kawasan arah Utara, Barat, dan Timur dengan sangat leluasa, dan dapat menembakkan meriam/kanon nya guna menangkal serangan dari ketiga arah ini, terutama arah Utara (serangan dari arah Barat akan dihalangi oleh dinding Ngarai Sianok yang tinggi dan terjal). Serdadu yang berlindung di parit-parit ini secara mudah dan aman pula dapat menangkal serangan jarak dekat dari arah utara ini.
Parit-parit inilah yang sampai sekarang masih terlihat secara sangat jelas, orisinil,…….. tapi luput dari perhatian para pengunjung yang masih mencari-cari sisa-sisa bangunan benteng. Tidak adanya perhatian pada parit ini juga menguntungkan, karena pada hakekatnya parit-parit ini masih dalam kondisi asli tanpa adanya upaya-upaya ‘restorasi’ (yang tidak terarah, alias ngawur) yang kadang-kadang justru merusak keaslian suatu objek sejarah.
Sejarah menunjukkan bahwa strategi perang sangat ditentukan oleh teknologi persenjataan pada setiap kurun masa. Perang pada abad ke 18 dan 19 masih merupakan peperangan yang diadakan pada suatu medan terbuka dengan kedua pasukan yang berperang berhadapan secara frontal. Medan terbuka (battlefield) yang merupakan ‘medan peperangan’ dalam arti fisik yang sebenarnya. Ini mungkin di Minang yang dikenal sebagai ‘perang basosoh’.
Pasukan berada dalam satu garis, dengan panji-panji pasukan, dan pasukan genderang. Belum dikenal istilah tiarap atau menembak sambil berlindung. Strategi parit dikembangkan lebih lanjut sampai dengan perang Dunia I.
Perang Paderi ditandai dengan kehadiran sejumlah kubu-kubu pertahanan, baik yang bersifat alami seperti Fort de Kock ini ataupun sejumlah kubu yang diberi parit dan perlindungan dengan menggunakan tanaman bambu sebagaimana yang banyak digunakan oleh pihak Paderi.
Jembatan Limpapeh. Dapat 'dirasakan' bahwa Kebun Binatang merupakan satu kesatuan bukit dengan kawasan Benteng.
Alangkah eloknya jika objek benteng Fort de Kock ini dipelajari dan diteliti kembali dengan menggunakan data dan informasi yang masih ada di negeri Belanda. Sangat menarik untuk mengetahui apakah sebenarnya kawasan Kebun Binatang tadinya juga termasuk Bukik Jirek juga, dengan kata lain apakah kawasan Kebun Binatang tadinya juga merupakan bagian dari Fort de Kock ? Mengingat bahwa kawasan ini sangat strategis untuk mendeteksi dan menangkal serangan dari arah Timur. Apakah kandang-kandang binatang yang terletak di berbagai ketinggian itu sebenarnya terletak pada bekas parit Fort de Kock ? Apakah benar pembangunan jalan Kampuang Cino membelah dan memisahkan kemudian kedua kawasan ini ? Apakah benar bahwa mengingat posisinya yang tertinggi, di kawasan Benteng kemudian dibagun menara air beserta taman rekreasi, dan di kawasan sebelahnya dibangun kebun binatang dan rumah adat yang difungsikan sebagai musium ?
Andai perkiraan saya ini ternyata mendekati kebenaran, alangkah baiknya jika kawasan Benteng ini dijaga keaslian dan keasriannya, terutama parit-parit pertahanan yang amat sangat bersejarah tadi, dan di bagian depan (pintu masuk) dibangun sebuah ‘Musium Perang Paderi” yang memuat informasi yang lengkap tentang perang Paderi yang ternyata sangat menyibukkan dan merepotkan pemerintah kolonial Belanda itu ; dan…..tentunya dilengkapi pula dengan informasi yang lebih jelas, benar, dan terinci, dan menarik tentang Fort de Kock itu sendiri. Ini akan merupakan suatu kesatuan yang utuh dengan keberadaan patung Tuanku Imam Bonjol di perempatan jalan dibawah Benteng ini.
Malu khan kalau generasi muda sekarang ‘tersesatkan’ dengan mengenang penampungan air sebagai sebuah benteng bersejarah….? Nggak nyambung lah yaa…..
Dengan demikian kunjungan wisata ke Benteng Fort de Kock bukan menjadi kunjungan yang membingungkan, tapi kembali punya fungsi edukatif, sebagaimana juga halnya dengan kunjungan ke musium budaya yang berada di kawasan Kebun Binatang.
Bagi anda yang pernah berkunjung ke benteng Fort de Kock ini, kenangan apa yang melekat di ingatan anda tentang lokasi yang sangat bersejarah ini….. ? Atau apa hal menarik yang dapat anda kisahkan kepada anak-anak anda yang berkunjung dengan penuh rasa ingin tahu…? Atau kunjungan hanya menjadi kunjungan bermain-main, makan rujak dan minum es di areal ‘taman’ yang terasa teduh dan sejuk itu…….Dan kemudian rame-rame membuat foto kenangan di depan menara air….
Pemerintah kota Bukittinggi…. ayo pelopori penelitian ini, dan jadikan objek wisata Benteng Fort de Kock menjadi objek wisata yang lebih cerdas dan membanggakan….Semoga