Headlines
Published On:Senin, 31 Januari 2011
Posted by Unknown

Sejarah Minang Kabau (VII)

Ditulis oleh St. Lenggang Basa Minggu, 26 Oktober 2008 22:32

G. Sistem Kepemilikan di Minang Kabau

G.1. Harta

Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencahari

Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:

1. Harta Pusaka Tinggi
2. Harta Pusaka Rendah
3. Harta Pencaharian
4. Harta Suarang

Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.

1. Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.

Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako.

Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.

2. Harta Pusaka Rendah

Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru.

Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.

3. Harta pencaharian

Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.

4. Harta suarang

Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.

G.2. Pewarisan Harta Pusaka

Ada yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:

1. Waris Nasab atau Waris Pangkat

Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.

Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan:

Ramo-ramo sikumbang jati
Katik endah pulanga bakudo
Patah tumbuah hilang baganti
Pusako lamo baitu pulo

Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:

a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).

Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar.

Sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.

b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)

Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”, (jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan basibiran, anak buah nan bakakambangan”, (besar yang berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran, anak buah yang berkekembangan).

Sebab contoh sebuah anggota kaum pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat gelar Datuak Marajo.

Sepanjang adat yang dapat memakai gelar pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako tatap pusako baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain. Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif dari kaum tersebut.

Adat mengatakan dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau dek banalu” (kalah limau karena benalu).

2. Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).

Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:

a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).

Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku dengannya di kampung tersebut.

b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)

Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang yang dibenarkan oleh adat.

Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan, seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak gelar pusaka dari kaum.

c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).

Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum tersebut.

Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Menurut Doktor Iskandar Kemal SH., bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali adat untuk melanjutkan hak-hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru ditentukan oleh kerapatan adat nagari.

G.3. Tanah Ulayat

Tanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagai yaitu tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat, hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat adalah sebagai berikut:

1. Memberi hak untuk memungut hasil warga persekutuan atas tanah dan segala yang tumbuh diatas tanah tersebut seperti mengolah tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut.
2. Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak persekutuan. Hak perseorang tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.
3. Persekutuan atau pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan umum ini seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.
4. Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya nagari akan memanfaatkannya untuk kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat, bangunan mesjid dan lain-lain.
5. Apabila terjadi delik-delik berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat. Mamangannya mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak - tangih bapujuak, ratok bapanyaba”.
6. Orang yang berasal dari lain nagari dapat memperoleh sebidang tanah pada tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko atas dasar persetujuan terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih menjadi wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat.

Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), dengan arti kata harus dikeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari demi pembangunan nagari.

Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa dahulunya.

G.4. Pemindahan Hak

Terlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah dibuat secara tertulis.

Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:

1. Jual Beli

Menurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang, terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya.

Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum. Tidak ada yang mengurus sehingga terlantar. Ahli waris merantau dan tipis kemungkinan untuk pulang mengurus harta usaka itu. Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus harta pusaka.
Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang dirantau maupun yang dikampung.

2. Gadai

Harta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui hal sebagai berikut:

1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu
2. Rumah gadang ketirisan
3. Gadih gadang tidak bersuami
4. Mayat terbujur di tengah rumah

Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat. Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek sapikua” (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.

Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi.

Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th 1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi: “barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen”.

Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.

3. Hibah

Disamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal dari bahasa arab “hibbah” yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:

1. Hibah Laleh

Hibah laleh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan “salamo dunia takambang, salamo gagak hitam, salamo aia ilia”, (selama dunia terkembang, selama gagak hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat. Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama. Adat mengatakan “hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu”, (hibah saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).

2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)

Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan “kabau mati kubangan tingga, pusako kanan punyo”, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).

3. Hibah Pampeh

Hibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).
Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau. Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah “agiah laleh” (agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.

4. Wakaf

Wakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang menerima dan mengurus wakaf).

Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya.

Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain. (Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai)


sumber : http://www.pandaisikek.net/

Klik Bintang Untuk Voting Anda
Rating: 4.5
Description: Sejarah Minang Kabau (VII)
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Sejarah Minang Kabau (VII)


About the Author

Posted by Unknown on Senin, Januari 31, 2011. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

By Unknown on Senin, Januari 31, 2011. Filed under . Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response

0 comments for "Sejarah Minang Kabau (VII)"

Posting Komentar
Latest Posts :

Hotel

Kuliner

Wisata

Artikel Lainnya » » More on this category » Artikel Lainnya » »

Musik

Tari

Ukiran

Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » »

Top Post

Coment

Adat

Artikel Lainnya»

Budaya

Artikel Lainnya »

Sejarah

Artikel Lainnya »

Tradisi

Artikel Lainnya »

Di Likee "Yaaa.." Kalau Postingan Di sini Sangat Bermanfaat Dan Membantu bagi Anda ..

VISITORNEW POST
PageRank Checker pingoat_13.gif pagerank searchengine optimization Search Engine Genie Promotion Widget ip free counter