Published On:Kamis, 27 Januari 2011
Posted by Unknown
Kebudayaan Hellenisme, dari Lembah Sungai Indus ke Minangkabau
Misteri soal mitos orang Minangkabau sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung dari Macedonia) tidak henti-hentinya menjadi bahan perdebatan sekaligus penelitian. Tidak ada bukti-bukti tertulis dan ranji silsilah yang dapat dijadikan rujukan. Reaksi dari para penerima cerita ini juga cenderung terbagi antar dua kutub ekstrim yaitu kutub sinisme yang nyata-nyata menolak dan antipati terhadap cerita itu bahkan sedikitpun tidak mau mendengar, bahkan malu akan cerita yang mengada ada itu, dan kutub fanatisme yang menerima secara buta dan bangga sebagai sebuah ideologi turunan.
Diluar itu semua saya menemukan di luar sana berserakan serpihan-serpihan yang tak terbantahkan memiliki kaitan dengan Kebudayaan Hellenisme, Sistem Matrilineal dan Sistem Pemerintahan Nagari yang betul-betul khas Yunani. Untuk menjawab semua itu, saya menenggelamkan diri dalam kutub ketiga yaitu kutub kritis dan peneliti. Saya akan mendengar semua sumber baik logis maupun mitos, saya akan memperluas cakupan kajian dengan tidak hanya terkurung dalam tempurung keminangkabauan. Saya memandang mitos tidak dengan cara benar atau salahnya mitos tersebut, namun dengan titik fokus kenapa mitos itu tercipta. Mitos menyimpan kunci-kunci nama tokoh, nama tempat, dan kejadian walaupun miskin informasi tarikh sejarah. Hasil budaya, sistem sosial, pranata sosial politik dan bahasa menyimpan ribuan kunci yang menarik untuk diteliti, tentu saja dengan syarat pertama tadi, yaitu : keluar dari tempurung keminangkabauan.
Dalam tulisan saya sebelumnya saya telah menyinggung soal suku-suku pertama Minangkabau yang menunjukkan asal daerah mereka dan ideologi agama yang menjadi latar belakang mereka. Saya juga sudah mengulas soal ke-identikan antara seni ukiran yang berkembang di Gandhara dengan motif ukiran Minangkabau dalam tulisan warisan ukiran dari Gandhara.
Gandhara di Lembah Sungai Indus (600 SM)
Gandhara merupakan tempat percampuran berbagai budaya dan agama setelah daerah di Lembah Sungai Indus bagian tengah ini ditaklukkan oleh Alexander Agung pada 327 SM. Budaya dan agama yang bercampur baur di Gandhara diantaranya adalah agama tradisional Yunani, Buddha, Hindu dan Zoroatrianisme.
Seluruh pengelana yang menempuh jalan darat dari timur Asia ke barat Eropa atau sebaliknya, pada masa itu, tidak punya pilihan selain melalui Gandhara (Afghanistan sekarang). Hanya lewat Jalur Sutra inilah perdagangan sutra Cina, pecah belah Alexandria, patung perunggu asal Roma, dan ukiran gading yang indah produksi India pada masa itu bisa terlaksana. Tak hanya pedagang, ribuan biksu Buddha juga ikut lalu lalang di Jalur Sutra. Mereka menemani kafilah-kafilah pembawa dagangan, sambil menyebarkan ajaran-ajaran Buddha sepanjang perjalanan. Sebuah versi sejarah menyatakan, dari wilayah Afghanistan inilah ajaran Buddha tersebar hingga ke Cina, Korea, Jepang, Tibet, Nepal, Bhutan, dan Mongolia.
Keberadaan stupa di kota Yunani Sirkap, yang dibangun oleh Demetrius sudah menunjukkan sebuah sinkretisme yang kuat atau perpaduan antara agama Yunani dan Buddha, bersama dengan agama-agama lainnya seperti Hindu dan Zoroastrianisme. Gaya bangunan adalah Yunani, yang dihias dengan pilar-pilar kolom Korintus. Kemudian di Hadda, dewa Yunani Atlas digambarkan menopang monumen Buddha yang dihias dengan pilar-pilar kolom Yunani.
Gandhara Scrolls dan Motif Ukiran MinangkabauGandhara scrolls adalah motif hiasan gulungan khas Helenistik dengan ukiran dedaunan anggur dari Hadda, Pakistan utara. Motif ini berasal dari Yunani yang dibawa oleh pengikut dan tentara-tentara Alexander Agung pada saat penaklukan dunia timur. Pada tahun 326 SM, sebelum melakukan perjalanan kembali, Alexander memerintahkan bala tentaranya untuk mendirikan 12 kuil yang sebagai ungkapan terima kasih kepada dewa-dewa Yunani, kuil-kuil itu dilengkapi dengan arca-arca dewa yang tentunya dibuat menurut gaya seni Hellas.
Gandara Scrolls Motif (Gulungan Anggur dari Yunani)
Kota Kota Model Yunani dan Sistem Konfederasi Nagari di Minangkabau
Adalah suatu misteri sebelumnya ketika kita menemui bahwa di Minangkabau terdapat suatu sistem pemerintahan yang sangat asing untuk wilayah Nusantara. Kerajaan Minangkabau lebih merupakan konfederasi dari ratusan nagari, dan kedudukan raja sifatnya adalah simbol semata. Bahkan Lembaga Raja itu sendiri berbentuk suatu Triumvirat yang disebut Rajo Nan Tigo Selo dengan anggota-anggota Rajo Alam, Rajo Adat dan Rajo Ibadat. Pemerintahan sendiri dijalankan dengan bantuan dewan menteri yang disebut Basa Ampek Balai dengan anggota sejumlah 4 menteri dan sejumlah 7 lembaga negara yang disebut dengan Langgam Nan Tujuah yang berkedudukan di 7 nagari penting. Dalam kerajaan juga berlaku 2 mazhab pemerintahan yang disebut kelarasan yaitu Sistem Kelarasan Koto Piliang yang aristoktratis dan Sistem Kelarasan Bodi Caniago yang demokratis. Belakangan muncul pula Sistem Kelarasan Lareh Nan Panjang yang menggabungkan kedua mazhab yang ada sebelumnya.
Kerajaan-kerajaan Hellenistic yang berkembang disekitar lembah sungai Indus seperti Seleucid Empire, Bactria dan Gandhara mendirikan kota-kota menurut model Yunani, seperti di Ai-Khanoum di Baktria, yang hanya menunjukkan ciri-ciri khas arsitektural Hellenistic. Kota-kota ini juga diatur dengan sistem pemerintahan polis-polis ala Yunani kuno. Sistem inilah yang dibawa oleh nenek moyang orang Minangkabau yang sangat mengagumi Alexander Agung itu. Belakangan mereka menciptakan mitos bahwa mereka itulah keturunan langsung dari Alexander Agung.
Selain di Minangkabau, sistem pemerintahan berbentuk Konfederasi ini juga di temukan di Kerajaan Champa. Kerajaan Champa yang berdiri sepanjang abad ke 7 hingga tahun 1832 ini berbentuk Konfederasi Kota yang terdiri dari Indrapura, Amaravati, Vijaya, Kauthara dan Panduranga.
Sistem Matrilineal dan Jejaknya di Jalur Perdagangan India-China
Satu lagi kunci untuk mengungkap asal-usul dan diaspora nenek moyang orang Minangkabau adalah sistem kekerabatan Matrilineal yang dianut suku ini. Di sepanjang jalur perdagangan India-China sistem ini ditemukan di Kerala, Karnataka, dan Tamil Nadu di India , sebagaian wilayah Siam (Thailand), di Kerajaan Champa di Vietnam sekarang dan di wilayah Naxi di China
Kesimpulan dan Hipotesa
Dari data-data diatas terjawab sudah keheranan selama ini tentang mitos asal-usul orang Minangkabau. Klaim sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain itu bisa dipahami sebagai bentuk kekaguman nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari Gandhara di Lembah Sungai Indus terhadap sosok Alexander Agung yang mendirikan peradaban Hellenistic, peradaban perpaduan timur dan barat yang meramu unsur-unsur Yunani, Buddha, Kebudayaan Hindu India dan Kebudayaan Persia serta Zoroatrianisme.
Nenek moyang orang Minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau bernama (bergelar) Sultan Maharajo Dirajo. Dari nama tersebut sangat jelas bahwa dia berasal dari India. Dalam Tambo daerah asal ini disebut Tanah Basa atau dalam bahasa asalnya adalah Mahajanapada. Dalam rombongan tersebut ikut anggota-anggota bernama Cateri Bilang Pandai (asal India) berkasta ksatria, Harimau Campa (asal Champa), Kucing Siam (asal Siam), Kambing Hutan (asal Cambay, India) dan Anjing Mualim (asal Persia) sebagai navigator. Tiga daerah asal pengiring ini masih menganut sistem matrilineal hingga saat ini yaitu India (di Kerala, Karnataka dan Tamil Nadu), Siam/Thailand (pada beberapa daerah) dan Champa (Vietnam).
Terakhir saya kutipkan sebagian isi Tambo pada episode awal keberangkatan (eksodus dari Tanah Basa):
adopun Sutan Sikandareni rajo alam nan arih bijaksano, mancaliak anak lah mulai gadang lah masak alemu jo pangaja, timbua niaik dalam hati nak manyuruah anak pai marantau mancari alimu jo pangalaman, mako tapikialah maso itu jo apo anak nak kadilapeh balayia dilauik basa, tabayanglah sabatang kayu gadang nan tumbuah dihulu Batang Masia banamo kayu Sajatalobi, daun rimbun rantiangnyo banyak batang panjang luruih pulo, tabik pangana andak manabangnyo kadibuek pincalang (parahu) tigo buah untuak palapeh anak marantau …
(adapun Iskandar Zulkarnain, raja yang arif bijaksana, melihat anak yang mulai dewasa, sudah sempurna ilmu pengetahuan, timbullah niat dalam hati untuk menyuruh anak pergi merantau, mencari ilmu dan pengalaman. Maka terpikirlah waktu itu tentang sarana yang akan digunakan anaknya untuk berlayar di samudera. Terbayanglah sebuah pohon kayu besar yang tumbuh di hulu sungai Batang Masia bernama pohon sajatalobi, daunnya rimbun dan rantingnya banyak, batangnya panjang dan lurus pula. Terpikirlah untuk menebang pohon tersebut, untuk dibuat perahu sebanyak 3 buah, untuk melepas anak pergi merantau …)
Apakah Sungai Batang Masia yang dimaksud dalam cerita itu adalah Sungai Indus? Wallahualam bis shawab.
Sumber : http://mozaikminang.wordpress.com/
Rating: 4.5
Description: Kebudayaan Hellenisme, dari Lembah Sungai Indus ke Minangkabau
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Kebudayaan Hellenisme, dari Lembah Sungai Indus ke Minangkabau