Published On:Selasa, 11 September 2012
Posted by Unknown
MENYELAMI LAUTAN NAQSYABANDIYAH
MENYELAMI LAUTAN NAQSYABANDIYAH, NASKAH SYEKH MUHAMMAD SALIM SIKABU KABU : DESKRIPSI TEKS DAN KONTEKS
Foto: Satu Bagian dari Naskah Syekh Muhammad Salim Sikabu-kabu
A. NASKAH SYEKH MUHAMMAD SALIM SIKABU KABU : DESKRIPSI NASKAH
Naskah Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Muhammad Salim Sikabu kabu (selanjutnya disebut NTS) merupakan salah satu manuskrip yang berisi amalan tarekat Naqsybandiyah di antara tumpukan naskah-naskah lain dengan pembahasan yang sama. Namun keberadaannya cukup menarik mengingat NTS bukan hanya berbicara mengenai ritual namun juga memuat kajian esoteris dalam tarekat naqsyabandiyah, filosofis amalan hingga ketentuan-ketentuan yang terkait dengan hal tersebut.
NTS penulis peroleh pada tahun 2005 dari sdr. Firdaus yang diperolehnya dari ayahnya di Aur Kuning Payakumbuh. Yang empunya menyerahkan pada penulis tanpa menyebutkan asal usul naskah sebelum sampai ketangan ayahnya yang merupakan salah seorang jama’ah Naqsyabandiyah di Aur Kuning.
Secara jelas NTS tidak memiliki judul seperti yang penulis sebutkan, namun penamaan tersebut merupakan inisiatif penulis untuk menyebut NTS. Penamaan tersebut penulis ambil dari pembahasan naskah NTS yang secara keseluruhan membahas amalan tarekat naqsyabandiyah.
Pengarang NTS ialah Maulana Syekh Muhammad Salim Sikabu kabu. Kata “Sikabu kabu” menunjukkan nisbah daerah asal pengarang, yaitu daerah Sikabu kabu, wilayah Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh kota, Sumatera Barat. Beliau adalah salah seorang syekh tarekat di daerah Sikabu kabu yang riwayat hidupnya sangat kabur. Sejauh penelusuran penulis, di daerah Sikabu kabu hanya terdapat dua surau Suluk, tidak dijumpai keterangan tentang pribadi Syekh Sikabu kabu ini. Menurut Syekh Tuanku Mudo Nahrawi al Khalidi, salah seorang penasehat tarekat Naqsyabandiyah di Luak Lima Puluh, syekh Sikabu kabu ini hidup sekitar tahun 50-an, namun soal riwayat hidupnya juga tidak terungkap. Dari gelar “Maulana” yang tertulis di depan namanya memberi kesan kepada kita bahwa Syekh Sikabu kabu ini adalah syekh terkenal, punya banyak murid dan memiliki prestasi yang cemerlang dalam tarekat. Nama pengarang terdapat pada kolofon NTS yang ditulis pada pinggir blok teks :
Ditulis ini buku pada hari tanggal 10 hari bulan şafar 1350 ‘arabiyah dengan seizin muallafnya. Ditulis oleh hamba faqih melacaklah isi adanya muallafnya al-Mursyidina wa maulana wa ustażina Syaikhina Muhammad Salim sikabu-kabu adanya intahi.
Dari kolofon NTS diperoleh informasi tanggal ditulisnya NTS yaitu pada tanggal 10 safar 1350 H, tepatnya pada tahun 1929. jika sekarang bertarikh 1430, maka naskah NTS telah berusia 80 tahun. Dari kolofon juga ditemui informasi bahwa NTS merupakan salinan dari naskah yang usianya lebih tua, bisa jadi naskah yang ditulis oleh pengarang sendiri, dan pengarang berperan sebagai pengoreksi naskah.
Mengenai nama penyalin NTS terdapat pada tulisan yang mirip dengan tanda tangan di bawah kolofon. Tulisan itu terdiri dari dua kata namun penulisannya disambung, tidak lazim dalam ilmu khat, yaitu sambungan huruf “ha” dengan “mim”. Tulisan tersebut berbunyi Fakih Muncak. Gelar fakih di depan namanya mengindikasikan bahwa penyalin adalah seorang santri tingkat atas, besar kemungkinan si fakih ini murid dari pengarang.
Informasi mengenai tempat penyalinan terdapat pada akhir teks secara tersirat, yaitu :
…tetapi kami simpan akan dia sehabis-habis simpan karena picik waktu haji dan suluk ikhwan pada ini hari dan masa banyak bimbing segala masa di dalam negeri yang sah sejahtera…
Dari pernyataan diatas diperoleh keterangan bahwa tempat penyalinan naskah ini di Mekah, tersirat dari ungkapan “piciknya waktu haji” yang diperkuat dengan ungkapan “negeri yang sah sejahtera…”. Ungkapan ini juga mengindikasikan bahwa penulisan tersebut dilakukan secara tergesa mengingat waktu haji yang sempit, akibatnya banyak terdapat korup (kesalahan) dan lakuna dalam NTS. Pernyataan tersebut juga menginformasikan bahwa sewaktu penyalinan berlangsung, sedang diadakan amalan suluk. Pertanyaan lagi bagi kita, siapa sebenarnya sosok syekh Sikabu kabu, kalau beliau benar seorang pengarang NTS di Mekah dan menyulukkan jamaah di sana, berarti kedudukannya menyamai pusat tarekat di Jabal Abu Qubais ketika itu, jelas beliau syekh terkenal. Atau mungkin beliau salah seorang khalifah di Jabal Abu Qubais, badal syekh Sulaiman Zuhdi, Sulit untuk ditebak.
NTS ditulis dengan alas naskah kertas lokal (Indonesia). Terdiri dari 16 halaman, ditulis tanpa penomoran halaman. Jumlah baris pada halaman 1-7 yaitu sebanyak 23 baris, sedang pada halaman 8-16 sebanyak 15 baris ditulis dengan gaya kitab kuning lama. Ukuran naskah 21x16 cm, dengan blok teks 19,5x13,4 cm pada halaman 1-7 dan 13x10,5 pada halaman 8-16. NTS disampul dengan kertas tebal dengan gambar bunga kecoklat-coklatan yang sudah lusuh. Tinta yang digunakan dalam menulis naskah yaitu tinta biru tanpa rublikasi, namun terdapat dua ilustrasi simbolis jalan zikir dalam amalan tarekat Naqsyabandiyah. Aksara yang dipakai yaitu aksara Arab dengan jenis khat Naskhi yang tergolong rapi mudah dibaca. Bahasa yang dipakai yaitu bahasa melayu dan dibeberapa tempat menggunakan bahasa Arab dan sedikit bahasa daerah Minangkabau.
Secara umum keadaan naskah masih baik, kendati warna kertas sudah menguning karena dimakan usia. Jika dilihat dari sisi penulisan, nampak kekurangan di sana sini, akibat kesalahan penyalin ataupun ketidak ketelitiannya. Namun secara utuh NTS dapat ditransliterasikan secara utuh, sehingga dapat digambarkan konsep tarekat naqsyabandiyah yang terdapat dan tersirat dalam NTS.
Jika dilihat dari segi isi, NTS termasuk naskah yang miskin akan informasi penulisan, tidak seperti kebanyakan naskah lainnya. NTS tidak diawali dengan kata pengantar (muqaddimah) dan penutup (khatimah), namun langsung masuk kepada pembahasan inti teks yaitu pasal-pasal mengenai rahasia amalan tarekat naqsyabandiyah, itupun ditulis tidak teratur. Seperti contoh ada bagian kata yang bisa dipenggal (dipisahkan) penulisannya, sangat menyalahi kaidah karangan Arab (insya’). Maka jelas informasi yang berkaitan dengan NTS hanya bersandar kepada beberapa baris kolofon. Begitupun informasi NTS yang ditelusuri melalui oral history juga tidak mebuahkan hasil memuaskan. Maka untuk hal ini penulis mengambil jalan tengah yaitu tawaquf, menangguhkan informasi rinci terhadap NTS kepada peneliti-peneliti selanjutnya. Untuk sementara informasi ringkas dari NTS kita cukupkan dari penjelasan kolofon yang tertulis diakhir naskah.
Secara ringkas, NTS merupakan teks ringkas berbentuk narasi mengenai amalan-amalan tarekat Naqsyabandiyah al-khalidiyah, tidak sampai disitu, NTS juga membahas rahasia-rahasia yang terdapat dalam amalan tarekat naqsyabandiyah berupa aspek-aspek filosofis yang melatar belakangi ritual suluk dalam naqsyabandiyah. Pada awal teks penulis memberi penjelasan secara mendalam mengenai rahasia amalan zikir ismuż żāt, yaitu pembahasan zikir kalimah “Allah” di laţifah al-Qalb sebanyak 5000 kali. Pembahasan ini terdapat pada pasal pertama.
Kemudian dilanjutkan dengan pasal kedua mengenai rahasia-rahasia zikir laţāif pada tujuh pusat kesadaran manusia. Jumlah zikirnya sebanyak 11000, dengan perincian 5000 kali pada lathifatul Qalb, letaknya di bawah tetek sebelah kiri, kurang lebih dua jari dari rusuk; pada lathifatur Roh sebanyak 1000 kali, letaknya di bawah tetek kanan , kurang lebih dua jari ke arah dada; pada lathifatus Sirr sebanyak 1000 kali, letaknya di atas dada kiri kira-kira dua jari ke kanan; pada lathifatul khafi zikirnya sebanyak 1000 di atas dada kanan kira-kira dua jari ke arah dada; pada lathifatul akhfa zikirnya sebanyak 1000 kali letaknya di tengah-tengah dada; lathifatun Nafsin Nathiqah zikirnya sebanyak 1000 kali, letaknya di atas kening; dan pada lathifatu kulil jasad zikirnya 1000 kali di seluruh tubuh. Penunjukan terhadap zikir lathaif ini di gambarkan oleh pengarang dalam raqam yang mudah dipahami. Di samping itu, di dalam NTS juga dijelaskan rahasia-rahasia setiap lathaif.
Pembahasan NTS dilanjutkan dengan pembahasan zikir nafi isbat yaitu melafalkan kalimat lā ilāha illa Allāh dengan melengkapi beberapa syarat. Pembahasan ini terletak pada pasal kedua. Pasal ketiga membahas tentang rahasia zikir wuquf, yakni zikir diam, pembahasan ini dilanjutkan dengan pemaparan muraqabah (kosentrasi) ithlaq pada halaman berikutnya.
Pada halaman berikutnya, pengarang memaparkan pembahasan muraqabah ma’iyah dan tawajuh, menyangkut kosentrasi pikiran akan zat Allah ta’ala serta menghadapkan diri zhahir dan bathin kepada zat azza wa jalla. Pada pembahasan terakhir dipaparkan tentang zikir tahlil disertai dengan kaifiyat (metode) mengamalkannya. Pembahasan ini dilanjutkan dengan pemaparan seluk beluk suluk dan pangkat-pangkat kewalian.
NTS kemudian disudahi dengan sebuah khatimah (penutup) yang menginformasikan beberapa rujukan penting dalam mengamalkan tarekat Naqsyabandiyah dan informasi penulisan naskah. Untuk yang terakhir ditulis di luar margin teks, dengan gaya tulisan menyamping dan diakhiri dengan penulisan nama penyalin yang mirip dengan tanda tangan.
Secara sistematis isi kandungan NTS dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Pasal pertama menyatakan zikir ismuzzat dan zikir lathaif, yaitu halaman 1-7
2. Pasal kedua menyatakan zikir nafi isbat, yaitu halaman 7-8
3. Pasal ketiga menyatakan zikir wuquf, yaitu halaman 8
4. Pasal keempat menyatakan muraqabah ithlaq, halaman 8-11
5. Pasal menyatakan muraqabah ma’iyah, halaman 11-13
6. Zikir tahlil lisan dan hal ihwal suluk, halaman 13-16
B. SISI FILOSOFIS NAQŚABANDIYAH VERSI NASKAH SYEKH MUHAMMAD SALIM SIKABU KABU : STUDI TEKS DAN KONTEKS
Sebenarnya konsep-konsep filosofis dari amalan-amalan tarekat tertentu begitu sulit digambarkan secara utuh, hal ini disebabkan bahwa para sufi-tarekat lebih menekan perasaan (zuq), lebih meluapkan rasa emosional, ketimbang merealitaskan aspek rasio. Walau demikian disini penulis akan berbicara sekedarnya mengenai sisi filosofis tarekat Naqsyabandiyah versi NTS. Hal ini tentunya menyangkut teks-teks yang ada yang kemudian diungkap konteks yang terdapat di dalamnya dengan metode filologis.
Foto Kitab Izhar karangan Syekh Ahmab Khatib al-Ninangkabawi. Risalah pertama di Minangkabau yang membantah pendirian Tarikat Naqsyabandiyah
Dalam NTS lebih dominan menekankan aspek kejiwaan yang dibentuk melalui kosentrasi zikr. Kemudian di dalamnya dijelaskan pusat-pusat (titik-titik) kesadaran manusia pada 7 tempat, tertulis dalam NTS sebagai berikut :
Tanbih bermula Lathāif yang seupama itu yaitu limo dari pada alam al-khalqi dan yaitu nafsu al-hewani dan anasir yang empat itu yaitu air dan api dan angin dan tanah. Dan lima Dari pada alam al-‘amri pertama Lathāif Lathīfah al-Qalb, kedua Lathīfah al-Sir, katigo Lathīfah al-akhfa, keempat Lathīfah al-khafi, keenam Lathīfah ar-Ruh. Dan bermula asal tiap-tiap Lathīfah alam al-khalqi dan Lathīfah yang lain dari pada alam al-‘amri.
Dari keterangan NTS diatas nyata bahwa keberadaan jiwa manusia disertai dengan 7 pusat kesadaran, yaitu lathifatul Qalb, letaknya di bawah tetek sebelah kiri, kurang lebih dua jari dari rusuk; pada lathifatur Roh letaknya di bawah tetek kanan , kurang lebih dua jari ke arah dada; pada lathifatus Sirr kali, letaknya di atas dada kiri kira-kira dua jari ke kanan; pada lathifatul khafi di atas dada kanan kira-kira dua jari ke arah dada; pada lathifatul akhfa letaknya di tengah-tengah dada; lathifatun Nafsin Nathiqah zikirnya, letaknya di atas kening; dan pada lathifatu kulil jasad di seluruh tubuh.. Itulah pembentuk kejiwaan. Mengenai hal ini al-Farabi mengungkapkan bahwa jiwa itu bersemayam di dalam raga. Ruh bagi manusia merupakan substansi dari “alam amri” yang tidak berbentuk suatu apapun, tidak diciptakan dari materi ruh itu sendiri, tidak dapat ditentukan dengan isyarat, dan tidak mondar mandir di antara diam dan gerak.
Ketujuh titik ini menjadi objek perhatian para ahli tarekat, diterpa setiap hari dengan latihan zikir, sehingga memancarlah sinar-sinar ilahi dari hatinya. Selanjutnya dari kutipan NTS diatas di sebutkan “relasi spritual” antara latifah-latifah tersebut dengan ‘Alam Amri dan Alam Khalqi.
Selain dari teks NTS di atas, ada juga teks lain dalam NTS yang merupakan konsep filosofis dari tarekat Naqsyabandiyah. Yaitu :
…Wa ammā ar-ruh adapun ruh itu mangko ia laţifah yang dibangsakan kepada pekerjaan Tuhan yang capkan pada badan yang ditaruhkan di dalam hati yang putih dan terkadang ada ia…(?) yakni tinggal yang berderangkannya.
Dalam teks ini, penulis menegaskan antara setiap pusat kesadaran manusia (latifah) sebagai tempat perbuatan manusia. Diterangkan bahwa keberadaan hati (baca=jiwa) tergambar seperti cahaya putih yang terang benderang, sebagai konsekwensi dari bentu tajalli af’alallahu.
Dilain tempat dalam NTS juga dijelaskan konsep fana yang merupakan suatu bentuk tingkatan kebersihan jiwa, setelah fana maka baru si Sali mengalami baqa. Teks yang dimaksud ialah :
Adapun jalan an-nafsu yakni bersifat ia dengan sifat malaikat kemudian dari fana segala tubu[h] dan jisim yang tebal, mangko jadilah demikian Laţāif sifat bagi nafsu yang sunyi Amāwah (?) dan berdiri dengan dia. Dan fana segala Laţāif sebelum fana nafsu dan Baqānya dengan Baqā nafsu dan şabbitlah bagi Laţāif yang amariyah tisbah gharibiyah yakni tambah yang larang-larang adanya berjumpa dan I’tibar yang ‘Ajabiyah yakni tercengang dan heran, mangko bahwasanya Maqam Qalb itu wilayah Nabiyullah Adam ‘alaih al-salām.
Selain dari konsep fana yang ditawarkan dalam teks diatas, diperoleh pula informasi bahwa setiap pusat kesadaran (lataif) itu merupakan tempat wilayah anbiya’ nabi-nabi yang berada ia dengan cahaya yang terang benderang, kilau kemilau dengan beraneka warna.
Dalam filsafat epistemologi dijelaskan bahwa konsep fana berhubungan erat dengan konsep “keakuan”. Dikatakan bahwa realitas keakuan dalam hidup ini terikat dengan “kesediaan”, yakni keadaan berkonflik dengan objek-objek material, meskipun tidak identik dengannya. Akan tetapi, “keakuan” dicirikan dengan objek-objek yang diproyeksikan. Ciri objektivitasi inilah yang menyebabkan “keakuan” melangkah begitu jauh hingga mengojektifkan dirinya sendiri dalam pengertian yang lain.
Itulah diantara konsep-konsep filosofis yang dapat penulis hadirkan dari naskah NTS. Untuk selanjutnya kajian ini sangat membutuhkan pengalaman “rasa”, sehingga apa-apa yang tidak tertulis dalam tulisan, bisa diketahui dengan pengetahun murni (ma’rifat)
Sumber : http://surautuo.blogspot.com
Description: MENYELAMI LAUTAN NAQSYABANDIYAH
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: MENYELAMI LAUTAN NAQSYABANDIYAH