Published On:Selasa, 11 September 2012
Posted by Unknown
Harimau Nan Salapan
Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:
(a) Periode 1809 – 1821
Periode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
(b) Periode 1821 – 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.
(c) Periode 1832 – 1837
Periode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Latar Belakang
Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.
Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan tantangan.
Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang berbai’ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama yang berbai’ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Harimau Nan Salapan’.
Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi ‘imam’ atau pemimpin gerakan ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan Salapan hendak dengan segera menjalankan syari’at Islam di setiap nagari yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib mantri dan dubalang.
Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.
Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama ‘Gerakan Padri’.
Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.
Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam secara keras.
Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta ‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.
Description: Harimau Nan Salapan
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Harimau Nan Salapan