Headlines

Sejarah Kota Bukittinggi

Posted by Unknown | Kamis, 14 Juni 2012 | Posted in , , ,


Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota), dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam. Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Dimana kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam. Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibukota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan. Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947. Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006. Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu, yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang. Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan


Sumber   :      http://kampuangkubang.wordpress.com/

Sejarah Kota Padang

Posted by Unknown | | Posted in , , ,

Kota Padang



Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Diperkirakan kota ini pada zaman dahulu berupa sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Dalam bahasa Minang, kata Padang juga dapat bermaksud pedang. Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan daerah pesisir pantai barat Sumatera berada di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bahagian dari kedaulatan kesultanan Aceh.
Kota Padang pada masa penjajahan Belanda
Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris pada tahun 1649, kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak. Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pantai barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau, selanjutnya pada tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, hal ini diketahui dari surat regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung, yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini. Walaupun pada tanggal 7 Agustus 1669, terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC, namun dapat diredam oleh VOC. Peristiwa ini dikemudian hari diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.
Pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai kota ini akibat rentetan perang Anglo-Belanda ke-4, namun kemudian dikembalikan kepada VOC setelah ditandatanganinya perjanjian Paris tahun 1784.
François Thomas Le Même, seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius dengan kapal utama berkuatan 12 meriam, menguasai dan menjarah kota ini pada tahun 1793, keberhasilan Le Même diapresiasi oleh pemerintah Republik Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan.
Kemudian pada tahun 1795, kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris, namun pasca peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui perjanjian Traktat London yang ditandatangani tanggal 17 Maret 1824.
Pada tahun 1833, residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi di Padang, yang diperkirakan berkekuatan 8.6-8.9 skala Richter serta menimbulkan tsunami, dan sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami melanda pesisir kota Padang, dan menyebabkan kerusakan pada kawasan pantai Air Manis.
Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan kota Padang sebagi pusat pemerintahan wilayah Gouvernement Sumatra’s Westkust yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli. Selanjutnya kota ini menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) pada tanggal 1 Maret 1906.
Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada tanggal 17 Maret 1942, kota Padang telah ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka, dan disaat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia. Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya, dan setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum.
Berita kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, baru sampai ke kota Padang sekitar akhir bulan Agustus, namun pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke kota Padang melalui pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan.
Pada tanggal 9 Maret 1950, kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia yang sebelumnya merupakan negara bagian melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang nomor 225 tahun 1948, Gubernur Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan perluasan wilayah kota Padang. Pada tanggal 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui surat keputusan nomor 1/g/PD/1958, secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure pada tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian, setelah menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas wilayah kota Padang sebagai pemerintah daerah.



Sumber   :      http://kampuangkubang.wordpress.com/

Mangilang di Dalam Pondok

Posted by Unknown | | Posted in ,


 

Kerbau berkeliling sementara pekerja memeras tebu. Warga menggiling tebu untuk dijadikan gula merah masih memanfaatkan jasa kerbau karena menurut mereka lebih cepat mengilang tebu dibandingkan menggunakan mesin.
Dari sebuah pondok yang beratap rumbia tanpa dinding, tampak aktivitas  lelaki dengan kerbaunya.  Ia sibuk menjejalkan potongan-potongan tebu ke mulut mesin peras tradisional. Potongan-potongan tebu yang terjepit mesin penggilingan tebu bertenaga kerbau itu keluar cairan manis, mengalir, lalu jatuh ke dalam baskom penampungan. Uniknya, mata kerbau harus ditutup. “Kalau tidak ditutup, ia malah berhenti bekerja”,
Kerbau yang menjadi ‘motor’ penggerak mesin giling itu disebut Kabau Pangilang atau Kerbau terus berputar 360 derajat. Tanpa dihela, tanpa dicambuk. Ia mengelilingi poros mesin, hingga menimbulkan jejak melingkar.
Air sari perahan yang manis pun dituang dalam kuali besar untuk kemudian dipanaskan dalam tungku batu berbahan bakar kayu dan ampas tebu. Dan bila air tebu telah mengental coklat kemerahan, itulah saatnya menyiapkan cetakan-cetakan kayu. Pasta coklat dituangkan, dalam waktu 3 jam kepingan-kepingan gula merah mengeras nan manis dan siap dipasarkan.
Mangilang tebu, merupakan warisan keluarga turun-temurun selain bertani, mengukir, bertenun dan berdagang. Aktivitas yang banyak dilakukan oleh sebagian penduduk Pandaisikek .


Sumber  :     http://kampuangkubang.wordpress.com/

Lembah Harau

Posted by Unknown | | Posted in , ,

is

 
Dahulunya Lembah Harau adalah lautan. Apalagi berdasarkan hasil survey team geologi dari Jerman (Barat) pada tahun 1980, dikatakan bahwa batuan perbukitan yang terdapat di Lembah Harau adalah batuan Breksi dan Konglomerat. Batuan jenis ini umumnya terdapat di dasar laut.
Menurut legenda, Raja Hindustan berlayar bersama istri dan anaknya, Putri Sari Banilai. Perjalanan ini dalam rangka selamatan atas pertunangan putrinya dengan seorang pemuda Hindustan bernama Bujang Juaro. Sebelum berangkat, Sari Banilai bersumpah dengan tunangannya, apabila ia ingkar janji maka ia akan berubah menjadi batu dan apabila Bujang Juaro yang ingkar janji, maka ia akan berubah menjadi Ular.
Namun sayangnya, dalam perjalanan kapal tersebut terbawa oleh gelombang dan terdampar pada sebuah selat (tempat tersebut sekarang dinamakan Lembah Harau). Kapal tersebut tersekat oleh akar yang membelintang pada dua buah bukit hingga akhirnya rusak.
Agar tidak karam, kapal itu ditambatkan pada sebuah batu besar yang terdapat di pinggiran bukit (bukit tersebut sekarang dinamakan Bukit Jambu). Batu tempat tambatan kapal itu sekarang dinamakan Batu Tambatan Perahu.
Setelah terdampar, Raja Hindustan bersama dengan keluarganya disambut oleh Raja yang memerintah Harau pada waktu itu. Lama kelamaan, karena hubungan baik yang terjalin, Raja Hindustan ingin menikahkan putrinya dengan pemuda setempat bernama Rambun Paneh. Satu hal lagi, untuk kembali ke negeri Hindustan juga tidak memungkinkan. Ia tidak tahu sumpah yang telah diucapkan Sari Banilai dengan tunangannya, Bujang Juaro.
Tidak berapa lama kemudian, Rambun Paneh menikah dengan Sari Banilai.
Waktu terus berjalan, dan dari perkawinan itu lahirlah seorang putra. Suatu hari, sang kakek, si Raja Hindustan, membuatkan mainan untuk cucunya. Sewaktu asyik bermain, mainan tersebut jatuh ke dalam laut. Anak tersebut menangis sejadi-jadinya. Ibunya, Putri Sari Banilai tanpa pikir panjang langsung terjun ke laut untuk mengambilkan mainan tersebut. Sungguh malang, ombak datang menghempaskan dan menjempit tubuhnya pada dua batu besar. Sari Banilai sadar, bahwa ia telah ingkar janji pada tunangannya dahulu, Bujang Juaro. Dalam keadaan pasrah, ia berdoa pada Yang Maha Kuasa, supaya air laut jadi surut. Doanya dikabulkan, tidak berapa lama kemudian air laut menjadi surut. Ia juga berdoa agar peralatan rumah tangganya didekatkan padanya. Dan ia berdoa, seandainya ia membuat kesalahan ia rela dimakan sumpah menjadi batu. Tidak lama berselang, perlahan-lahan tubuh Putri Sari Banilai berubah menjadi batu.


Sumber  :      http://kampuangkubang.wordpress.com/

Malin Kundang

Posted by Unknown | | Posted in , , ,


 

Kisah ini menceritakan tentang hukuman yang diterima oleh seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya.
Inti ceritanya adalah sebagai berikut:
Dahulu kala ada seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya bernama Malin Kundang hidup dalam keadaan yang sangat miskin. Setelah dewasa, si anak pergi merantau ke negeri orang untuk merubah hidupnya.
Setelah sekian lama dalam perantauan, si pemuda berhasil menjadi seorang saudagar yang kaya-raya dan memperisteri seorang gadis cantik yang berasal dari keturunan orang kaya juga.
Suatu ketika, si pemuda yang telah menjadi saudagar tersebut berlayar ke kampung halamannya dikarenakan suatu urusan dagang. Ketika berlabuh dan turun dari kapal layar besarnya, orang-orang kampung mengenalinya sebagai Malin Kundang yang dulu ketika pergi merantau masih dalam keadaan miskin. Orangpun memanggilkan ibunya yang sudah tua bahwa anaknya ada di pelabuhan.
Si ibu segera berangkat untuk menemui anaknya. Namun, ketika bertemu bukan kebahagian yang dia dapatkan tetapi cacian dan makian dari si Malin Kundang. Malin Kundang yang telah kaya itu merasa malu kepada orang lain, terutama kepada istrinya bahwa dia berasal dari kalangan orang miskin. Karena itu dia tidak mengakui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya. Bahkan dengan tega dia meludahi ibu kandungnya sendiri dan mengusir dari kapalnya.
Si ibu yang merasa sedih dengan kelakuan anaknya apalagi sampai tidak mengakui dia sebagai ibunya, akhirnya berdoa kepada Tuhan untuk memberi hukuman pada anaknya. Tuhan mengabulkan do’anya. Datanglah badai dan ombak besar menghantam kapal layar yang berukuran besar tersebut dan menghempaskannya ke pinggir pantai.
Si Malin Kundang yang merasa bersalah akhirnya memohon ampun pada ibunya. Tetapi semuanya sudah terlambat ketika hukuman dari Yang Maha Kuasa sudah datang.
Akhirnya Malin Kundang dikutuk menjadi batu. Sampai sekarang, anda dapat menyaksikan batu-batu berbentuk kapal ditepi Pantai Aie Manieh.

Sumber   ;      http://kampuangkubang.wordpress.com/

Sejarah Randai

Posted by Unknown | | Posted in , , , ,


 

Randai dalam sejarah Minangkabau Konon kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai di Minangkabau suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang, berkelompok atau beregu, dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya.
Pemeran utama berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.
Sekarang ini Randai merupakan sesuatu yang asing bagi pemuda-pemudi Minangkabau, hal ini dikarenakan bergesernya orientasi kesenian atau kegemaran dari generasi tersebut. Randai terdapat di Pasisie dan daerah Darek (daratan).
Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. namun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara modern, seperti kelompok Dardanela dan Tonil pada awal abad ke 20.
Jadi, Randai adalah media untuk menyampaikan cerita-cerita rakyat, dan kurang tepat jika Randai disebut sebagai Teater tradisi Minangkabau walaupun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya bercerita atau dialog teater atau sandiwara.
“Sebelum randai menjadi teater berkembang saat ini, dulunya adalah tari randai. Tari randai dipelihara di perguruan silat yang mengajarkan Ulua Ambek terutama di daerah pesisir (Padang Pariaman). Tak heran tari-tari Minang kontemporer dewasa ini, ada yang pola gerak dan pola dialog seperti randai.
Fungsi Tari Randai
Sebagai hiburan masyarakat biasanya yang diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri. Untuk mempertebal rasa ketradisian juga memberi kesempurnaan terhadap adat istiadat Minangkabau itu sendiri, sarana Aspirasi dan Media Informasi.
Unsur Estetis dan Keunikan Tari Randai
Randai berasal dari perkataan merandai berarti mengarang atau melingkar suatu kawasan lapang untuk mencari sesuatu yang hilang. Terdapat pelbagai versi sebenarnya tentang asal usul randai ini. Struktur persembahan randai berkonsepkan gerak tari silat diselangi nyanyian berunsur lagu rakyat serta diiringi muzik caklempong, rebana, salung dan gong. Randai sering di persembahkan pada pesta menuai padi, upacara perkahwinan dan adat istiadat lain.
Disaksikan ratusan pasang mata, 12 muda-mudi berpakaian tradisional Minangkabau membentuk lingkaran di tengah arena. Lima pemain lain, duduk di pinggir arena. Para pemain randai (anak randai) bergerak melingkar dan sering melakukan gelombang randai secara serempak, yang bersumber pada gerakan-gerakan silat atau seni pencak silat.
“Hep… ta…,” terdengar teriakan seorang di antaranya (tukang gore), dibarengi dengan tapuak galembong (menepuk celana) yang bunyinya tingkah-meningkah. Setiap anak randai punya gaya sendiri dalam gerak dan menepuk celana yang didesain khusus-mempunyai pisak yang dalam, sehingga menghasilkan bunyi beragam waktu ditepuk, tapi serempak. “Hep…ta… Dugudung-dak-dik-dung.” Cerita yang diangkat dari kaba Kasiah Putuih Dandam Tak Sudah (Kasih Putus Dendam Tak Sudah) pun dimulai, terjadi dialog dan akting. Kemudian diikuti saluang dan dendang (nyanyian), biola, kayat, kerincingan dan calti.
Penampilan anak randai penuh pesona dan seru. Tontonan sekitar tiga jam itu sering membuat penonton (segala usia; dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga kakek-nenek) tertawa riang. Dialog jeda sejenak, anak randai kembali ber-hepta-hepti diiringi cerita yang didendangkan (gurindam) dan diiringi saluang. Cerita bergulir, mengisahkan anak gadis (Sari Banilai) menolak keinginan orangtuanya (Datuk Tumanggung Tuo) untuk dinikahkan dengan bako-kemenakan Datuk Tumanggung Tuo-bernama Malendo Alam.
Oleh mamaknya, Lelo Manjo, Sari Banilai dinikahkan dengan bekas teman sekolahnya, Rambun Sati. Dendam Datuk Tumanggung Kayo dan kemenakannya Malendo Alam pun bergejolak. Ketika Sari Banilai pindah ke Kota Medan, rumah yang ditinggalkannya dibakar oleh Malendo Alam. Keinginan ayak/mamak untuk menyelamatkan “Sako dan Pusako” lenyap sudah, karena mengikuti kehendak hawa nafsu.
Kesenian randai tak kalah hebat dan mengagumkan dengan tarian lainnya. Yang menarik dan mengagumkan, perwatakan tokoh dalam penampilan randai tidak diungkapkan melalui tata rias, tetapi disampaikan lewat dendang (gurindam). Kemudian, yang menjadi musik selain tepuk galembong, juga tepuk tangan, tepuk kaki, tepuk siku, petikan jari, hentakan kaki, dan teriakan-teriakan “hep… ta…ti… hai” oleh tukang gore, dan nyanyian atau dendang yang dilakukan oleh para pemain sambil melakukan gerakan-gerakan galembong.
Kesenian randai sebagai teater rakyat di Minangkabau cukup diminati berbagai kalangan. Ini sering ditampilkan pada acara-acara seperti pesta panen, helat perkawinan, helat batagak penghulu, dan pesta-pesta rakyat lainnya. Ia menambahkan, jika kita melihat unsur utama dalam randai, misalnya tarian randai yang disebut bagalombang, pada randai-randai yang lebih klasik pada umumnya adalah gerak silat atau pencak silat yang diolah secara kreatif, dan diiringi dengan lagu-lagu dendang yang memang banyak sekali terdapat di dalam masyarakat Minangkabau, karena merupakan bagian dari tradisi seni budaya musik seperti saluang dan dendang, atau seni tutur seperti bakaba, barabab, dan basijobang.
“Karena kebudayaan Minangkabau adalah kebudayaan yang dinamis, terbuka terhadap inovasi, maka perkembangan randai dewasa ini cukup beragam. Ada unsur-unsur gerak dan musik baru yang diadaptasi ke dalam randai, yang umumnya berasal dari lagu-lagu melayu (joget), bahkan juga dari musik dangdut. Idiom-idiom baru ini antara lain diadaptasi untuk membuat pertunjukkan randai tetap relevan dengan perkembangan masyarakat dan zamannya.
Semasa Orde Baru berkuasa kesenian randai nyaris tenggelam, setelah pemerintahan nagari digantikan oleh pemerintahan desa. Kini, dengan kembalinya ke sistem pemerintahan nagari, kesenian randai kembali tumbuh. Setiap nagari memiliki sedikitnya 10 grup randai.
Hal lain yang menarik dari tradisi randai adalah, semangat kolektif dan partisipasi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Organisasi dan manajemen pengelolaan randai bertumpu kepada semangat kebersamaan tersebut. Lingkungan masyarakat tempat randai tersebut tumbuh, merasa berkewajiban memelihara dan mengembangkannya. Tanpa dukungan mereka -termasuk finansial- tak mungkin randai bisa berkembang. Sampai kini kegiatan pertunjukan lebih bersifat sosial, kecuali ada perubahan pola organisasi pada pemilikan kelompok atau individu yang sudah mulai ada sekarang ini.
Uniknya saat randai di mainkan pemain bisa berinteraksi langsung dengan meminta syair dan pantun pilihan asalkan meletakkan uang di tengah-tengah lingkaran pemain.


By : http://kamaribedo.blogspot.com

Sebuah Rumah Gadang di Solok

Posted by Unknown | | Posted in ,

‘Rumah gadang sambilan ruang, salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau’, begitu penggalan ungkapan Minang yang sering kita dengarkan mengenai kebesaran dan kemegahan rumah gadang Minangkabau. Memang kalau kita lihat banyak foto klasik mengenai rumah gadang, ataupun beberapa di antaranya yang masih dapat kita saksikan sampai kini di darek, maka mungkin tak terlalu menyombong kalau kita katakan bahwa nenek moyang kita dulu sudah menguasai teknologi pertukangan yang cukup tinggi.


Rumah gadang jelas dibuat dengan jiwa seni yang halus dan bermutu tinggi. Setiap bagian dari rumah gadang dihiasi dengan ukiran yang memiliki nilai falsafah tertentu. Berbagai nama ukiran yang terdapat di rumah gadang – aka cino, pucuak rabuang, itiak pulang patang, dan cancadu bararak, untuk sekedar menyebut contoh – merepresentasikan falsafah hidup orang Minangkabau yang berguru kepada alam. Pembangunan rumah gadang merefleksikan sifat kegotongroyongan orang Minangkabau zaman lampau yang sangat kental, sebagaimana telah dikaji dengan mendalam oleh Marcel Vellinga dalam bukunya Constituting Unity and Difference: Vernacular Architecture in a Minangkabau Village (Leiden: KITLV Press, 2004). Sifat gotong royong orang Minangkabau itulah yang sudah memudar sekarang, berganti dengan sifat indivisualisme yang kadang-kadang melebihi orang Barat.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan foto sebuah rumah gadang Minangkabau dengan rankiang tinggi sitangka lapa di depannya. Foto ini dibuat oleh mat kodak Jean Demeni di Solok sekitar tahun 1915, seperti dapat dikesan dari judul foto ini: ‘Een fraai Menang Kabausch huis te Solok’ yang berarti ‘Sebuah rumah Minangkabau yang cantik di Solok’. Foto ini dicetak dengan teknik lichtdruk oleh Winkel Maatschappij Paul Bäumer & Co. di Padang.
Foto adalah sebuah artefak sejarah yang bisa ‘berbicara’ banyak kepada kita hari ini. Selain merekam rumah gadang, foto ini juga merekam beberapa lelaki dan perempuan yang kelihatan memakai pakaian serba putih. Barangkali bahannya sejenis ganiah atau marekan yang murah pada masa itu. Tapi lebih dari itu, ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa Gerakan Paderi (1803-1837) telah mempengaruhi cara berpakaian orang Minangkabau dan juga cara mereka memilih warna pakaian. Orang yang berpakaian warna putih cenderung diasosiasikan dengan golongan agama dan yang memakai warna hitam diasosiasikan dengan golongan parewa atau golongan adat.
Dari penampilan fisik rumah gadang, dan dari cara membangunnya, tersimpan kearifan masyarakat Minangkabau, seperti tersirat dalam pantun: ‘Rumah gadang bari bapintu / Nak tarang jalan ka dalam / Sungguah sagadang bijo labu / Bumi jo langik ado di dalam’. Kini banyak orang yang sebesar ‘balon raksasa’ (baca: sangat berkuasa), tapi di dalamnya hampa, kosong melompong, jauh dari sifat arif bijaksana, dan…bebal.

(Sumber foto: Souvenir der Padangsche Bovenlanden. Padang: Winkel Mij. v/h P. Baumer & Co,19xx).
Suryadi – Leiden, Belanda.

Berita Singgalang | Minang Saisuak Memperbaki Rumah Gadang

Posted by Unknown | | Posted in ,

Rumah Gadang Minangkabau adalah salah satu kekayaan arsitektur tradisional Indonesia yang cukup menonjol. Banyak pengembara asing yang mengunjungi Minangkabau di masa lampau takjub melihat keindahan dan kerumitan arsitektur Rumah Gadang, tidak terkecuali Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris yang sebentar menguasai Hindia Belanda itu. ‘[W]ell most built,…many of them very highly ornamented,…and coloured with red, white, and black’, katanya, sebagaimana dikutip oleh Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriachs (2008:42) yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Istitute, 2010).



Selain sandi-nya yang terbuat dari batu, hampir seluruh bagian Rumah Gadang terbuat dari kayu. Oleh karena itu pula banyak Rumah Gadang tidak dapat bertahan lama. Atapnya terbuat dari ijuk. Sejak awal abad ke-20 atap ijuk ini sudah mulai diganti dengan atap seng (sirap) dan tangga utama di depan juga sering diganti dengan tangga batu.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan foto klasik renovasi sebuah Rumah Gadang di Palembayan sekitar 1895. Kelihatan sebuah Rumah Gadang yang sudah roboh diperbaiki kembali. Beberapa orang kelihatan duduk – mamak dan kemenakan. Yang berdiri agak terpencil dengan pakaian adat yang cukup lengkap mungkin seorang mamak kepala waris.
Kehancuran Rumah Gadang tidak hanya karena lapuk di makan usia, tapi juga oleh ulah manusia Minangkabau yang sering bergolak (ideologi, fisik) yang terus bersengketa tiada pitus-putusnya. Banyak Rumah Gadang di desa-desa di darek musnah terbakar di zaman Paderi, di-sunu dengan api oleh para pengikut Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman yang radikal dan anti adat Minangkabau. Sepanjang abad ke-20 Zaman Kemadjoean dan modernisasi yang merambah Minangkabau telah membuat banyak orang Minang membangun rumah batu dan meninggalkan Rumah Gadang. Banyak Rumah Gadang menjadi lapuk ditinggalkan penghuninya yang pergi merantau (Cino). Di Zaman Bagolak (PRRI), tak sedikit Rumah Gadang yang disirami bensin oleh anak buah Jendral Ahmad Yani, serak sumerai bungo api. Dan di zaman globalisasi sekarang, api dan xenocentrism (pemujaan kepada produk asing) serta ideologi Islam radikal terus menjadi unsur pemusnah Rumah Gadang.
Dari rantau nan jauh sering saya mengimpikan mangalai di ruang tengah Rumah Gadang, tak peduli apakah ‘Surambi Papek’ atau ‘Gajah Maharam’, sambil mendengarkan bunyi saluang, bansi atau genggong. Raso ka sajuak dalam hati, raso ka sanang kiro-kiro.

(Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam).
Suryadi – Leiden, Belanda.

Tuanku Panitahan di Sungai Tarab

Posted by Unknown | | Posted in , ,

Secara geopolitik tradisional, Kerajaan Pagaruyung di masa lampau menerapkan konsep pemerintahan triumvirate ‘Rajo Tigo Selo’, yaitu ‘Rajo Alam’ yang berkedudukan di Pagaruyung, ‘Rajo Adat’ yang berkedudukan di Buo, dan ‘Rajo Ibadat’ yang berkedudukan di Sumpur Kudus.

Mereka dibantu oleh ‘Dewan Menteri’ yang beranggotakan empat orang yang disebut ‘Basa Ampek Balai’, yaitu ‘Tuan Bandaro (Tuan Titah)’ di Sungai Tarab, ‘Tuan Kadi’ di Padang Gantiang, ‘Tuan Indomo’ di Saruaso, dan ‘Tuan Gadang (Harimau Campo Koto Piliang)’ di Batipuah.
Analog dengan konsep pemerintahan Pagaruyung itu, nagari-nagari dalam lingkungan budaya Minangkabau juga ‘perintah’ oleh tiga unsur pemuka masyarakat yang dikenal dengan istilah ‘Tungku Tigo Sajarangan’ atau ‘Tali Togo Sapilin’, yaitu Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai. Sistem ini paling tidak merepresentasikan pengintegrasian Islam dan intelektual sebagai hasil pendidikan sekuler (Barat) dengan adat Minangkabau selepas revolusi agama pada paroh pertama abad ke-19 (Perang Paderi).
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan foto penerus Tuan Bandaharo di Sungai Tarab di awal abad ke-20, yaitu Yang Mulia Tuanku Menek Datuak Bandaro Putiah. Beliau memangku jabatan ini mulai 1923 sampai 1949. Foto ini berasal dari koleksi album keluarga almarhum yang disimpan di rumah gadang Panitahan di Sungai Tarab dan diolah oleh Made van de Guciano.
Menurut Made, setelah Yang Mulia Tuanku Menek Datuak Bandaro Putiah meninggal, beliau digantikan oleh Tuanku Basroel (1968-1993) yang tercatat sebagai Panitahan ke-7. Made, yang mendapat informasi dari Yan, salah seorang anak Tuanku Basroel, manambahkan bahwa sekarang jabatan ini dalam keadaan kosong. Berdasarkan informasi dari keluarga yang diterima Made, dapat diketahui bahwa jabatan Bandaro Sungai Tarab memang tidak selalu terisi; kadang-kadang jabatan itu terpaksa dibiarkan kosong karena tidak ada pemangku yang dianggap layak atau karena alasan-alasan lain.
Jika kita menapaktilasi sejarah kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia – sejak dari Aceh di Barat sampai ke Jailolo di Timur – dapat dikesan bahwa masing-masing kerajaan itu memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri yang unik, tak terkecuali Minangkabau.
Namun, bangsa Indonesia yang ‘mabuk demokrasi modern ala Barat’ ini selalu abai untuk menimba pelajaran dari khazanah budaya dan sistem politik milik nenek moyang sendiri yang mungkin mengandung nilai-nilai yang lebih rancak.

(Sumber: Made van De Guciano, fb group ‘Palanta R@ntauNet
’ (<http://www.facebook. com/#!/groups/21296781759/>;
 diakses 2 Januari 2012).
Suryadi – Leiden, Belanda

Syekh Muhammad Djamil Djambek

Posted by Unknown | | Posted in , ,

JIKA berbicara mengenai ulama dan politik di Minangkabau, maka sejarahnya sebenarnya sudah cukup panjang. Salah seorang “djago tua [dari kalangan ulama] jang meretas djalan (oprichter) dari kemadjuan di Minangkabau” – meminjam kata-kata Tamar Djaja dalam bukunya Pusaka Indonesia (1966: Jil. 2, 618) – adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek (selanjutnya: Syekh Djamil Djambek), tokoh yang kita tampilkan
dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini.

 
Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi  tahun 1860. Ayahnya bernama Muhammad Saleh gelar Datuak Maleka, Penghulu Kepala Guguak Panjang. Ibunya berasal sari Jawa. Djamil Djambek termasuk parewa di masa mudanya, bahkan konon pandai main sihir. Namun pada usia 22 tahun ia mulai mengaji Qur’an setelah mendapat nasehat-nasehat dari Tuanku Kayo Mandiangin. Setelah belajar agama di beberapa tempat, antara lain  di Koto Mambang Pariaman dan Batipuah Baruah, ia lalu pergi ke Mekah tahun 1313 H (1895/96). Di Mekah ia belajar agama kepada Haji Abdullah Ahmad, Syekh Bafadil, Syekh Serawak, Syekh Taher Djajaluddin dan Syekh Ahmad Khatib. Setelah matang dalam ilmu agama Islam, ia pun menjadi guru untuk para pendatang baru dari Hindia Belanda di Mekah. Salah seorang muridnya adalah K.H. Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah di Jawa.
Tahun 1321 H (1903/04) Syekh Djamil Djambek kembali ke Bukittinggi dan langsung terjun ke tengah masyarakat. Ia aktif berkeliling ke berbagai daerah, termasuk ke Semenanjung Malaya. Dialah ulama pertama yang memberi pengajaran dengan berpidato sambil berdiri, berbeda dengan cara biasa di mana guru duduk dan dikelilingi oleh murid-muridnya. Ia sering melakukan hal-hal kontroversial yang membuat marah ulama-ulama ortodoks. Ia menjadi seorang ahli hisab yang terpercaya hingga akhir hayatnya.
Syekh Djamil Djambek juga aktif dalam dunia pergerakan: terlibat dalam gerakan otonomi Van Indië tahun 1921, menggerakkan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) bersama Dr. H.A. Abdullah Ahmad, mendirikan perkumpulan Tsmaratul Ichwan, dan menjadi pengurus Komite Permusyawaratan Ulama Minangkabau (1928). Di Zaman Jepang ia juga aktif dalam perkumpulan Majlis Islam Tinggi Minangkabau. Di Zaman Kemerdekaan ia menjadi salah seorang pemimpin utama gerakan kaum Muslimin di Sumatra Barat dan diangkat oleh Pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Foto ini unik: terlihat Syekh Djamil Djambek memakai satu bintang penghargaan di dadanya. Belum jelas oleh saya dari mana beliau memperoleh bintang penghargaan itu. Kalau dari Pemerintah Kolonial Belanda rasanya tak mungkin, mengingat beliau dikenal anti Belanda. Barangkali bintang itu lambing organisasi tertentu seperti Muhammadiyah.
Syekh Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947 di Bukitinggi. Hadir dalam pemakamannya Wakil Presiden Muhammad Hatta dan banyak orang penting lainnya. Ulama yang kuat memberantas bid’ah dan khurafat itu dimakamkan di depan suraunya, Surau Tengah Sawah, yang lama sesudah kamatiannya tetap diminati oleh ramai pelajar dari berbagai daerah yang ingin menuntut ilmu agama Islam

. (Sumber foto: Pedoman Masjarakat, 1938). Suryadi – Leiden, Belanda.

IBRAHIM Datuak Sangguno Dirajo

Posted by Unknown | | Posted in , ,



 

IBRAHIM Datuak Sangguno Dirajo mungkin sebuah nama yang tak asing lagi bagi para pencinta kebudayaan Minangkabau. Namnya men jadi tenar berkat karya-karya tulisnya di bidang adat dan budaya Minangkabau. Dua bukunya, Kitab Tjoerai Paparan ‘Adat Lembaga ‘Alam Minangkabau (Fort de Kock: Agam, 1919) dan Moestiko ‘Adat ’Alam Minangkabau (Weltevreden: Balai Poestaka, 1920 [seri no. 277]) telah dicetak berulang kali.

Bukunya yang lain: Hikajat Tjindoer Mata (Fort de Kock: Merapi, 1923), Kitab Peratoeran Hoekoem ‘Adat Minangkabau (Fort de Kock: Lie, 1924), Kitab Soal Djawab tantangan ‘Adat Minangkabau (Beladjar ‘Adat dengan Tidak Bergoeroe) (Fort de Kock: Lie, 1927) dan Papatah Minangkabau (Fort de Kock: Merapi, 1928). Beliau menerbitkan pula satu berkala yang berjudul Koempoelan ‘Adat Minangkabau (edisi 1, 27 Mei 1935).
Ibrahim pernah berpolemik dengan Haji Rasul (Ayah Buya Hamka). Rupanya bukunya, Kitab Tjoerai Paparan, dikritik oleh Haji Rasul (Abd al-Karim b. Muhòammad Amr Allah al-Danawi) dalam bukunya, Pertimbangan ¿Adat Lembaga Orang Alam Minangkabau: Sjarah (Kenjataan) bagi Tjoerrai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau jang Dikarangkan oleìh Ankoe Datoe¹ Sanggoeno Diradjo (Fort de Kock: Lie 1921). Kala itu semangat polemik di kalangan intelektual Minangkabau dari berbagai ideologi sedang tumbuh subur. Ibrahim membalas kritikan Haji Rasul itu dengan menerbitkan bukunya, Kitab Pertjatoeran ‘Adat Lembaga ‘Alam Minangkabau; Akan Pelawan Noot E.H. Rasoel gl. H. Abdul Karim Amaroellah, Danau (Fort de Kock: Agam, 1923).
Informasi dari berbagai sumber (Abraham Ilyas, Arman Bahar, Armen Zulkarnain, Aslim Nurhasan, Nursyah Kartakusuma, dan Zalmahdi melalui milis rantau-net) menyebutkan bahwa Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo yang bersuku Kutianyie lahir di Sunggayang, Tanah Datar, tahun 1858. Ibrahim mendapat pendidikan di Government School di Batusangkar dan tamat tahun 1868. Ia pernah mondok dengan seorang dokter sehingga ia memperoleh pengetahuan medis yang dimanfaatkannya untuk menolong penduduk Batusangkar dan sekitarnya yang terjangkit penyakit cacar. Sebagai imbalan atas jasanya itu, pada tahun 1910 Ibrahim menerima penghargaan dan uang tunai sebesar 122 Gulden dari Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1870 Ibrahim diangkat menjadi jurutulis Tuan Titah di Sungai Tarab. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ibrahim untuk memperdalam pengetahuannya mengenai adat dan kebudayaan Minangkabau. Ia mengkodifikasikan adat dan kebudayaan Minangkabau yang bersifat lisan itu ke dalam bentuk tulisan. Hasilnya adalah sejumlah buku yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 1913 Ibrahim dilewakan menjadi pemuncak dalam kaumnya dengan gelar Datoek Sanggoeno Diradjo.
Foto Ibrahim yang kami tampilkan ini dibuat sekitar tahun 1923. Cukup gagah dan berwibawa kelihatannya Datuk kita ini dalam pakaian kebesarannya. Tongkatnya tentu melambangkan fungsi seorang datuak yang akan dipatungkek oleh anak-kemenakannya di siang hari dan dipasuluah di malam hari.
Ibrahim meninggal di Sungayang pada tahun 1949. Almarhum adalah salah satu contoh terbaik dari educated penghulu di Minangkabau. Atas jasa-jasanya dalam merintis pengkodifikasian adat dan budaya Minangkabau secara tertulis, pada 17 Agutus 1970 Pemda Sumatra Barat menganugerahi Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo penghargaan sebagai Pembina adat Minang kabau. Bagi para datuak di zaman kini, yang masih saja belum banyak yang suka menu lis, Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo adalah sebuah sentilan sekaligus tamsil.

(Sumber foto: Datuak Sangguno Dirajo, Hika jat Tjindoer Mata. Fort de Kock: Merapi, 1923: di muka hlm. 174). (Suryadi – Leiden, Belanda)

Alek Nagari

Posted by Unknown | | Posted in , , ,

dsc_0320x“Elok Nagari dek Penghulu. Rancak Tapian dek nan Mudo. Sumarak Rumah Gadang dek Bundo Kanduang”. Ini kalimat tuah yang menjadi semangat anak nagari Situjuah Goadang, dan sudah tentu juga nagari-nagai lain di Ranah Minang.
Hari itu Nagari Situjuah Godang sungguh ramai dari biaso. Sabtu 24 Pebruari 2007, atau tanggal 6 bulan Safar 1428 H, anak nagari Situjuah Godang baralek gadang malewakan Datuk. Alek sebenarnya sudah dimulai sejak hari Jumat, tanggal 23 Pebruari 2007 dan selesai tanggal 25 Februari 2007.

talempongg05a01bc011 

Duapuluah urang secara bersama di lewakan di Balai Adat Kanagarian Situjuah Godang. Ninik mamak, kemenakan, bundo kanduang, tumplek blek maarak calon Datuk dari Masajik di Padang Kuniang ke Balai Adat di Situjuah Godang.
Selama prosesi di Balai Adat, patatah petitih yang berisi kata petuah disampaikan bak gayung besambut, sampai akhirnya dilaksanakan sumpah untuk para kandidat Datuk.

dsc_0401 

Ada satu kalimat yang kuingat, jika Datuk melanggar sumpah dia akan termakan sumpah sehingga “….kabawah indak baurek, ka ateh indak bapucuak, ditengah-tengah digirk kumbang….”.
Hiii…. ngeri kali tu sumpah Datuk. Jika melanggar, ke bawah tidak berakar, ketas tak berpucuk, ditengah di gerogoti oleh kumbang……. Apa nggak ngeri tu sumpah…. Mau jadi apa si Datuk jika sudah melanggar sumpahnya….??!!
Pertanyaannya, jaman sekarang apa masih ada kejadian Datuk yang termakan sumpah karena ingkar dari sumpah yang diucapkan pada saat dilewakan…?? Akan bagus sekali jika ada dun sanak yang bisa bebagi cerita tentang Datuk yang termakan sumpah ini…..


Sumber  :    http://makitam.wordpress.com/

Bundo Kandung

Posted by Unknown | | Posted in , ,


091110“……..Sumarak Rumah Gadang, dek Bundo Kanduang”. Kalimat sepotong ini memang pendek, tetapi memiliki makna sangat dalam dan sangat menentukan masa depan bangsa. Kok di Nagari, yaa….. masa depan Nagari-lah……
Rumah Gadang bagi etnis Minangkabau bukanlah sekedar bangunan besar. Disamping sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang juga berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga, mengadakan upacara dan alek lain terkait dengan adat.
12 

Sebagai tempat tinggal, rumah gadang ada aturan. Perempuan bersuami mendapat bagian satu kamar. Perempuan paling muda mendapat kamar paling ujung., sementara perempuan tua dan anak-anak mendapat kamar dekat dapur. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau kaum.
Memang rumah gadang identik dengan kaum perempuan yang biasa disebut Bundo Kanduang.
Sumarak atau kalau diterjemahkan bebas sama dengan sumringah atau apa ya…. emmm… dinamis penuh gairah dan full energi positif….
Suasana seperti itu baru bisa tercipta jika pemimpin atau bundo kanduang yang punyo wewenang di rumah gadang merupakan sosok yang arif dan memiliki jiwa kepemimpinan.
Dengan sosok seperti diatas, maka dia akan penuh perhatian kepada anak kemenakan dan lahirlah anak nagari pilih tanding. Dan cerahlah masa depan Nagari.
Coba kalau Bundo kanduang yang matre, hanya pandai besolek tak mau tahu dengan keluarga dan kaumnya, sudah dapat dipastikan, buremlah rumah gadang itu. Tak sumarak lagi…… ancuuuurrr…. nagari tu….


Sumber   :      http://makitam.wordpress.com/

Mak Datuk

Posted by Unknown | | Posted in , , ,





Dulu, waktu sama-sama bekerja bersama petani di Ranah Minang, aku biasa panggil dia Sago atau Brewok, gelar yang malakek sama dia karena memang dia brewokan “Brewok tadi kama nyo?”, begitu sekali waktu aku bertanya ke kawan jika sedang kecarian dia. Kini setelah inyo jadi Wali Nagari di Nagari Situjuah Godang – Payakumbuah, panggilan alah berubah se dan inyo biaso wak panggia Mak Datuk. Parubahan caro mamanggia ini sajak inyo dilewakan jadi Datuak di bulan Pebruari tahun 2007. Kini inyo bagala Datuak Majo Indo dan ber singgasana di Rumah Gadang Payobada – Padang Kuniang.
klg-mak-datukrg-payobada 

Didampingi istri yang juga menjadi Bundo Kanduang, kini Mak Datuk Majo Indo menjadi salah satu tokoh yang dituakan di Kanagarian Situjuah Godang. Hal ini tidak terlepas dengan posisi dan amanah yang diemban sebagai Wali Nagari.
Terakhir dia bikin gebrakan, bersama masyarakat penduduk Kanagarian Situjuah Godang, tanggal 20 Januari 2009 mendirikan Bank Petani yang mereka beri nama “LKMA Limo Suku Kanagarian Situjuah Godang”. Bank ini didirikan oleh 109 pemegang saham dengan total saham 431 lembar. Tiap lembar saham dihargai Rp 50.000,- sehingga setiap keluarga di Kanagarian Situjuah Godang mampu memiliki saham bank tersebut.
Sebelum mengemban amanah sebagai Wali Nagari, Mak Datuk aktif di organisasi Serikat Petani, jadi tidak mengherankan jika sampai saat ini orientasi beliau untuk petani tak pernah lekang. Apalagi Nagari Situjuah Godang memang daerah pertanian.
dsc_0276dsc_0167cdsc_0717xdsc_9744z

Tour De Singkarak

Posted by Unknown | | Posted in ,

RANDAI MINANGKABAU, JIWA DAN APRESIASI SILAT DALAM SENI

Posted by Unknown | | Posted in , , ,


Randai adalah salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat
menjadi satu.
Fungsi Randai sendiri adalah sebagai seni pertunjukan hiburan yang didalamnya juga disampaikan pesan dan nasihat. Semua gerakan randai dituntun oleh aba-aba salah seorang di antaranya, yang disebut dengan janang.
Randai merupakan suatu teater tradisi yang bersifat kerakyatan. Sampai saat ini, Randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Menurut pembagian daerah di Minang disebut Negari.
Teater tradisi bertolak dari sastra lisan, begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut: Kaba (dapat diartikan "cerita") BAKABA artinya bercerita. Ada dua unsur pokok yang menjadi unsur Randai:
PERTAMA, unsur penceritaan, yang diceritakan adalah kaba, dan dipaparkan / disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu, yang sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu: salung, rebab, bansi, rebana, atau yang lainnya.
KEDUA, unsur laku dan gerak atau tari, yang dibawakan melalui gelombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Konon kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Tanah Datar ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam Randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.
Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. Namun dalam perkembangannya, Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela.
Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.
Kehidupan budaya masyarakat minagkabau, dapat tercermin dari pertunjukkan Randai, baik dialog yang diucapkan yang penuh dengan pantun dan syair serta prosa liris yang berupa untaian bait yang masing-masing bait umumnya terdiri dari empat baris, dua baris berisi sampiran, sedangkan dua lainnya berisi maksud yang sebenarnya. Dalam pertunjukkan Randai hal itu meskipun tidak terlalu ketat namun masih terasa bahwa mereka menyadari perlunya bait-bait tersebut untuk menjaga irama-irama pertunjukkan agar sesuai dengan gurindam dan dendang yang ada.
Karena sifatnya yang liris, yang terikat dengan jumlah suku kata dan adanya sajak, syair, pantun, maka kaba selalu didendangkan. Didalam Randai bagian-bagian cerita yang didendangkan inilah yang disebut gurindam. Gurindam dan tari yang bersumber dari gerak silat inilah yang menjadi ciri khas Randai sebagai Teater Tradisi Minang.
Referensi :

Randai. Kenali, Dekati, dan Pelajari

Posted by Unknown | | Posted in , , ,

Randai adalah salah satu permainan anak nagari di minangkabau yang hadir ditengah masyarakat dalam bentuk seni pertunjukan teater rakyat. Dari beberapa buku yang saya baca Randai yang sudah muncul dipertengahan abad 20 ini awalnya adalah bentuk permainan anak surau dalam mengisi waktu yang kosong seperti asal katanya adalah andai – andai, ditambah imbuhan bar~ menjadi barandai – andai yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah berandai – andai. merupakan bentuk ekspresi kahayalan dan keinginan para pemainnya.(A.A.Navis”alam terkembang jadi guru”,jakarta.1984,hal 275).

Kaik – bakaik sirotan sago (kait berkait si rotan sago)
Oi nan takaik diaka baha (yang terkait di akar baha)
Tabang ka langik tabarito (terbang kelangit terberita)
Jatuah ka bumi manjadi kaba (jatuh kebumi menjadi kabar)

Cerita berangkat dari kaba. Namun yang menyedihkan menurut beberapa mahsiswa di ISI (institut seni indonesia)  padangpanjang mengaku kecewa bahwa diawal tahun 2000 ini  beberapa anak randai menulis cerita randai tak lagi mencerminkan kesusastraan minangkabau, tak ada lagi kiasan. Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang tak pantas lagi seperti Loe, gue. Sebagian mereka beralasan itu adalah suatu bentuk kontemporer dengat mengangkat isu panas yang beredar dimasyrakat. Namun mereka melupakan syarat kesusastraan minangkabau. Hingga cerita tampak seperti lelucon dan tidak lagi layaknya pertunjukan yang bergengsi.
Kecendrungan intelektual harusnya tampil dalam kaba yang disampaikan cerita randai tersebut. Seperti yang pernah dilakkukan oleh si-penyair ploitikus, rustam effendy dalam cerita randainya yang diadopsinya dari kaba Sabai Nan Aluih. Selain itu juga ada cerita randai Cindua mato. Abdoel moeis mengadopsi semua bagian-bagian menarik dari kaba Cindua mato lalu menuangkanya dalam bentuk cerita randai. Menurut orang tua –tua kedua cerita tersebut menjadi cerita populer dikalangan terpelajar pada tahun 1920-an.
Lalu apa yang membuat kedua cerita randai tersebut menjadi faforit kalangan pelajar saat itu? Selain kiasan kesusastraan minangkabaunya yang indah, dalam buku “alam terkebang jadi guru” (A.A Navis1984), Abdoel Moeis mengatakan, drama Cindua mato sengaja ditulisnya agar kaum terpelajar menyadari bahwa kehidupan berdemokrasi telah berurat-berakar dalam kebudayaan kita. Begitu juga dengan drama Sabai Nan Aluih yang paling mengutamakan unsur moral ini. Rustam Effendy menghadirkan tokoh si sabai yang lemah lembut, tetapi tegas sebagai teladan. Dan tidaklah aneh jika cerita ini menjadi cerita populer dikalangan pelajar disaat perdebatan dengan “kaum kuno” sedang menjadi-jadi.
Dalam randai pesan tak hanya disampaikan dalam kiasan dialog tokoh saja. Randai yang melibatkan unsur teater, musik, tari dan silat ini membagi pemain dalam beberapa kaetegori. Yaitu terdiri oleh tokoh, pemain legaran dan pemusik.
Dilihat dari cara munculnya tokoh dalam randai terbagi dua. Yang pertama tokoh internal yaitu tokoh yang ikut bergabung dalam legaran, dan tokoh eksternal yang berada diluar gelanggang sebelum dialog bagiannya muncul.
Dalam pertunjukan randai pada durasi tertentu pandeka akan memperagakan beberapa kali adegan perkelahian silat. Perkelahian yang bukanlah untuk menujukan kekerasan atau pemenang. tapi menunjukan usaha untuk menegakkan kebenaran. Seperti dalam pepatah minang “lawan indak dicari, kok basuo pantang denai elakan”(lawan tidak dicari, tapi kalau bersua pantang dielakkan). Perlawanan biasanya dimulai oleh tokoh yang jahat kepada tohoh utama. Menang atau kalah bukan tujuan utama disini. Tokoh utama mungkin saja kalah atau sebaliknya bahkan imbang. Pada bagian ini biasanya selalu muncul tokoh yang dianggap paling berpengalaman dan disegani dalam kompleks cerita tersebut untuk menunjukan bahwa perkelahian bukanlah solusi.
Pemain legaran fungsinya adalah pembatas seting yang teridiri dari 6 orang atau lebih. Sebelum pertunjukan randai dimulai pemain legaran akan berbaris memamerkan beberapa gerakan silat dan pasambahan yang di komandoi oleh seorang Gore (pemberi komando dalam randai melalui teriakan yang ciri khas, seperti hep, ta, ti, he) diantara pemain legaran tersebut. Dalam randai lirik dendangnya tidak baku, lirik biasanya menyesuaikan tempat dan alur cerita randai itu sendiri. Irama dendang yang dibawakan sebagai pasambahan adalah dendang Dayang daini. Dan pada legaran gelombang pertama atau sebagai pengantar cerita, dendang yang dibawakan adalah dendang simarantang. Contoh lirik dendang simarantang
Balai balai basimpang tigo
Sasimpang jalan ka pacuan
Sungguah randai pamenan mato
Akhiraik usah dilopokan
Legaran berjalan hingga membentuk lingkaran cincin. Selama tokoh berdialog pemain legaran duduk diposisi lingkaran cincin tersebut lalu kembali berdiri dan bermain beberapa gerakan tari silat sambil berjalan mengikuti lingkaran searah jarum jam sebagai bentuk pergantian seting cerita. Pada saat ini gerakan pemain legaran mengiringi pemusik yang mana pada saat itu pendendang sedang mendendangkan ilustrasi cerita. Setelah dendang selesai pemain legaran selalu menutupnya dengan Tapuak galambong yaitu gerakan memukul galembong (celana kusus untuk permainan randai yang memiliki pisak datar) ­­­ dan tepuk tangan dengan motif tertentu yang sesuai dengan suasana ilustrasi cerita.
Pemusik dalam randai terdiri dari pendendang, pemain legaran dan pemain instrumen. Pemain instrumen mengiringi pendendang mendendangkan ilustrasi cerita. Namun dewasa ini pemain instrumen tak hanya sebagai pengiring dendang tetapi juga ikut mengiringi dan memberi “suasana” adegan cerita. Seperti group randai “Garak Jo Garik” yang rata-rata pemainnya adalah mahasiswa jurusan karawitan ISI padangpanjang ini menambahkan beberapa instrumen yang tidak biasa dipakai group randai lainnya seperti akordion, gendang melayu, rapa’i, rabab pasisia, kucapi, saluang, talempong, dan beberapa instrumen lainya. Peranan legaran sebagai pemusik yaitu ketika Tapuak galembong tadi. Biasanya disini akan terjadi dialog yang sangat menarik dengan pemusik instrumen seperti yang biasa diamainkan group “Garak Jo Garik” tadi, hal ini membuat suasana lebih hidup dan pesan lebih tersampaikan kepenonton.
Begitulah kayanya randai, diisela perkuliahan bapak M halim atau yang akrab disapa “Mak Lenggang” dosen ISI padangpanjang ini memperlihatkan vidio pertunjukan randai yang dimainkan oleh mahasiswa University of Hawai, maonoa, Amerika Serikat pada tahun 2005 lalu. Cerita yang dibawakan adalah cerita “Umbuik Mudo” yang ditranslet kedalam bahasa inggris. Selain ikut membantu mengajar randai dengan beberapa budayawan sumatra barat, disana beliau juga terlibat sebagai pemusik dalam pertunjukan tersebut.
Beliau mengaku kagum atas besarnya keinginan mahasiswa itu dalam memperlajari randai. Bahkan pada tahun 2000 – 2001 randai menjadi kurikulum wajib di universitas tersebut. Menurut beliau anak – anak muda minangkabau terutama kaum pelajar mestinya iri akan hal ini. Beliau juga berharap randai juga menjadi kurikulum wajib bagi sekolah – sekolah di sumatra barat bahakan di seluruh indonesia.

Sumber   :    http://bujangkatapel.wordpress.com/
Oleh     : albert rahman putra
mahasiswa ISI padangpanjang

Meriahnya Pesta Pernikahan Adat Minang

Posted by Unknown | | Posted in ,



Rangkaian Pesta Pernikahan Adat Minang selalu diwarnai dengan suasana meriah baik karena aneka warna yang cukup mencolok misalnya merah kombinasi emas, aneka kesenian pepatah petitih (pantun) diiringi tari maupun musik dan lagu Minang. Selain itu, tidak saja Pengantin dan Kedua Orang Tua, seluruh Panitia, MC, Penari, Penyanyi dan seluruh Petugas Lainnya tampil dalam busana khas Minang. Tak ketinggalan foto2 dengan teman yang datang.

Special Thanks to Mas Arie and Mbak Putri
Graha Indrapura - Surabaya - 7 Nopember 2009
Sumber : http://pengantinku.blogspot.com/



MusicPlaylist
Music Playlist at MixPod.com

Pelaminan Minang

Posted by Unknown | | Posted in

Pelaminan minang asli dari Padang, Sumatera Barat.













Sumbe   :    http://cvmodelman.blogspot.com/

MusicPlaylist
Music Playlist at MixPod.com

Tari Piring , 5th Surabaya Fashion Parade

Posted by Unknown | | Posted in ,



Suguhan Tari Piring oleh Sanggar Siti Nurbaya dalam rangka "5th Surabaya Fashion Parade" di Tunjungan Plaza, Surabaya.

Sumber : http://pengantinku.blogspot.com/
Latest Posts :

Hotel

Kuliner

Wisata

Artikel Lainnya » » More on this category » Artikel Lainnya » »

Musik

Tari

Ukiran

Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » » Artikel Lainnya » »

Top Post

Coment

Adat

Artikel Lainnya»

Budaya

Artikel Lainnya »

Sejarah

Artikel Lainnya »

Tradisi

Artikel Lainnya »

Di Likee "Yaaa.." Kalau Postingan Di sini Sangat Bermanfaat Dan Membantu bagi Anda ..